Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
“Cahaya apa kita langsung chat saja yah untuk menanyakan siapa pria ganteng itu?” Tanyanya Elyna yang menatap kepergian Adinda.
“Besok saja entar Adinda mengira kita menguntitnya lagi,”sanggahnya Cahaya.
“Tapi, kok gue kepikiran yah bagaimana kalau lelaki itu sugar Daddynya Adinda lagi?” duganya Elyna.
“Hush sembarang saja! Itu tidak mungkin Adinda mau jadi ani-aninya Om-om. Apalagi pria yang barusan Kita lihat itu ganteng dan masih muda,” Cahaya menyanggah ucapan temannya.
"Kalau aku jadi istri simpanannya gue ridho,"celetuknya Maya teman kelasnya yang kebetulan ikut bersama mereka.
"Dasar ngehalu Lo kegedean sob!" oloknya Elyna.
Ketiganya kemudian meninggalkan parkiran dengan pikiran yang berbeda-beda.
*************
Sedangkan di dalam sebuah mobil mewah dua pasangan suami istri saling terdiam. Baruna sedih sekaligus kecewa karena setiap kali Adinda berbicara, keduanya seperti ada jurang pemisah. Adinda bersikap formal ketika mereka hanya berdua saja, padahal mereka sudah cukup dekat dan akrab.
Tetapi, kejadian beberapa hari yang lalu membuat hubungan mereka kembali renggang. Adinda bersikap seperti orang lain padanya tidak sehangat dan sehumble dulu.
Baruna mengemudikan mobilnya dan hendak menghentikannya ketika melihat ada restoran, tapi Adinda buru-buru mencegahnya.
“Tidak usah repot-repot menghentikan mobilnya, saya sudah tidak lapar kok,” cegahnya Adinda.
Baruna sungguh terheran-heran melihat sikapnya Adinda kali ini.
“Kalau gitu kita langsung pulang saja yah kamu pasti capek butuh istirahat,"
“Om bisa enggak Saya meminta tolong kepada Om?”
Adinda menatap ke arah luar jendela mobilnya meskipun kaca jendela mobil itu tertutup rapat.
Baruna menautkan kedua alisnya, “Minta tolong!” Tanyanya Baruna.
“Iya, tolong berhenti untuk menjemput dan mengantar saya lagi apalagi sok perhatian padaku! Saya masih sanggup untuk pulang pergi ke kampus. Saya tidak ingin menjadi beban Om,” ujarnya Adinda yang tidak berani menatap langsung wajah suaminya.
Baruna seketika menghentikan laju kendaraannya dan menepikan ke pinggir jalan agar lebih aman karena sepertinya pembicaraan mereka bakal serius dan panjang.
“Apa salah yah kalau seorang suami melakukan kewajibannya mengantar jemput istrinya sendiri? Bahkan perhatian kepada istri sendiri itu bukan kesalahan.”
Baruna masih berusaha untuk tenang dan tidak terprovokasi oleh ucapannya Adinda yang masih labil dari segi pemikirannya.
“Om tidak pernah merasakan kamu adalah sebuah beban dalam hidupnya Om. Apakah yang Om lakukan ini membuat kamu terganggu?”
Adinda melirik sekilas ke arah suaminya itu kemudian kembali menatap ke arah luar seperti yang sedari tadi dia lakukan.
“Kalau Kamu merasa terganggu dan keberatan dengan apa yang Om lakukan? Maaf, sayangnya Om tidak bakalan berhenti dan menyerah untuk melakukannya! Karena Om adalah suamimu!" Tegasnya Baruna.
Adinda mengepalkan tangannya, “Apa sebenarnya maksudnya Om!? Apa!? Kenapa Om ngotot banget melakukannya padaku! Kita ini menikah hanya karena permintaan Nadhira saja! Ingat kita itu menikah bukan karena cinta!”
Adinda menjeda ucapannya dan berusaha untuk mengontrol dirinya dan emosinya yang tiba-tiba saja datang menyelimuti hati dan pikirannya.
“Pernikahan kita ini hanya sekedar status saja! Jadi please saya mohon jangan bersikap seolah-olah Om ini melakukan segalanya karena sayang padaku!” Adinda sedikit meninggikan volume suaranya.
Baruna tertohok mendengar semua uneg-uneg yang diucapkan oleh Adinda padanya. Baruna tak bergeming sedikitpun mendengar perkataan dari istrinya.
Lidahnya tiba-tiba keluh seketika karena dia tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun karena dia juga masih bimbang, ragu dan bingung dengan apa yang dia rasakan saat ini.
Hatinya masih gamang dan tidak menentu tapi disatu sisi dia cemburu, marah dan uring-uringan melihat kedekatan istri kecilnya dengan pria lain
“Saya sudah bersyukur dan berterima kasih banget kepada Om karena sudah memenuhi kebutuhanku, bahkan semua yang saya butuhkan dan inginkan Om penuhi tapi, saya memohon dengan sangat cukup sampai disitu saja jangan bertindak seolah-olah kita ini pasangan suami istri normal seperti di luaran sana!” tegas Adinda.
Adinda pun merasakan keanehan dalam sikapnya, dia tidak habis pikir kenapa dia melow dan baper itu ketika Baruna memperlakukannya dengan sangat istimewa sebulan lalu.
Tetapi, ucapan Baruna yang dulu pernah mengatakan kalau dia melakukannya karena tidak ingin ditinggalkan oleh Adinda seperti yang dilakukan oleh mendiang istrinya almarhumah Kanaya bukan karena sayang atau cinta yang tulus padanya.
Adinda menyeka air matanya yang lolos tanpa persetujuan darinya, ia diam-diam menangis.
“Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi padaku? Apa benar posisi bang Azriel sudah tergantikan oleh Om Baruna?” monolog Adinda.
Baruna terdiam dan mengcosplay patung Roro Jonggrang yang sungguh malang nasibnya dikutuk oleh Bandung Bondowoso.
Adinda tersenyum mengejek ke arah suaminya,” Om tidak bisa kan menjawab semua yang saya katakan. Benar dugaanku kalau Om hanya kasihan! Hanya iba padaku tidak lebih!"
Adinda mengambil tasnya kemudian keluar dari mobil SUV suaminya dan buru-buru menghentikan sebuah mobil angkutan umum.
Baruna bahkan hanya melihat kepergian istrinya tanpa berusaha untuk mencegahnya.
Dia mengusap wajahnya dengan gusar,” apa yang terjadi padaku sebenarnya!? Kenapa aku bingung dengan apa yang sebenarnya aku rasakan!?”
Baruna marah dan kesal pada dirinya sendiri yang kebingungan dengan apa dia rasakan.
“Arghh!!”
Baruna memukuli setir mobilnya berulang kali kemudian menyentuhkan keningnya ke atas kemudi mobilnya.
Baruna tidak ingin mencari keberadaan ataupun informasi tentang keberadaan istri kecilnya. Dia ingin menenangkan dirinya dan juga perasaannya serta memberikan ruang bagi Adinda untuk berfikir tenang.
Baruna juga tidak mengirimkan pesan chat, hanya saja dia stalking sosmed istrinya agar dia bisa mengetahui perkembangan istrinya. Karena dia cukup malu dan segan untuk mengirim chat atau menelpon Adinda.
Adinda menghela nafasnya dengan perlahan,” Ternyata benar kita memang harus cari pasangan yang sama-sama butuh, sama-sama takut kehilangan, sama-sama cinta dan sama-sama sayang.”
Adinda mengusap cairan bening yang berhasil lolos membasahi pipinya. Adinda duduk di depan warung di sekitar sekolah tempat pertama kalinya bertemu dengan anak sambungnya.
“Berjuang bersama mendapatkan effort dan juga feedback yang setara. Yang bisa saling mengerti dan saling menghargai satu sama lainnya. Tapi aku tidak mungkin mendapatkannya pada diri suamiku karena, Om Baruna menikahiku karena alasan keselamatan Nadhira,”
Adinda pulang ke rumah suaminya ketika menjelang magrib, dia melihat mobil suaminya sudah terparkir di dalam carport mobil berjejer dengan beberapa koleksi mobil pribadi suaminya.
“Kok pulangnya sendirian Non?” Tanyanya Pak Kadir.
“Banyak tugas yang aku harus selesaikan Pak jadi terpaksa pulang terlambat, Aku ke dalam dulu Pak,” ujarnya Adinda yang berjalan gontai menuju kamarnya.
Pak Kadir hanya tersenyum melihat kepergian nyonya mudanya itu tapi, Adinda selalu melarang orang-orang untuk memanggilnya sebagai nyonya muda karena baginya lebih nyaman disapa nona saja.
Adinda berjalan ke arah dalam kamarnya,dia menyimpan tasnya di atas meja nakas kemudian kembali berjalan ke arah luar tanpa melihat keadaan kamarnya.
“Bi Asih apa masih ada makanan?” Tanyanya Adinda yang melihat bi Asih membereskan beberapa peralatan memasaknya.
“Sepertinya sudah habis Non Muda, maafkan bibi lupa kalau Non Adinda belum pulang,” sesalnya bi Asih.
Adinda tersenyum simpul,” oh tidak apa-apa Bi Asih, aku yang salah karena pulangnya agak telat dari biasanya.”
“Maafkan bibi sekali lagi yah, soalnya tadi sore teman-temannya Non Nadhira banyak yang datang, jadi gara-gara itu padahal bibi tidak sempat masak banyak soalnya,” jelasnya Bi Asih.
“Oh tidak apa-apa kok Bi, silahkan beristirahat aku saja yang akan matikan lampu dapurnya,” usulnya Adinda.
Bi Asih segera meninggalkan dapur karena Adinda sendiri yang memintanya. Adinda memeriksa lemari esnya dan isinya hampir terisi penuh dengan bahan makanan mentah.
“Ini kulkas apa isi AlfaBeta yang berpindah ke sini yah”? gumamnya Adinda.
Adinda tersenyum melihat ada sayur kol, sawi hijau, telur, sosis, bakso, daun bawang.
“Kayaknya bikin mie instan dengan campuran sayuran plus telur bakso pasti enak apalagi cuaca malam ini cukup dingin,” cicitnya.
Adinda melihat ada dua bungkus mie instan di dalam laci lemari dapurnya. Dia mencepol rambutnya dengan asal. Adinda memang tidak memakai hijabnya jika hanya suaminya yang berada di dalam rumahnya.
Bisma memiliki rumah sendiri dan hanya terkadang berkunjung jika memang moodnya ingin datang, sedangkan pak Kadir dia dan istrinya bi Lia tinggal di bagian paviliun belakang khusus untuk art. Termasuk Bi Asih, bi Retno dan Pak Jaelani.
Adinda menghirup aroma wangi dari mie instan paket komplit yang sudah di dia tuang dalam mangkok.
Adinda membersihkan terlebih dahulu sayurannya, kemudian memotong-motong sosis dan baksonya.
“Alhamdulillah airnya sudah mendidih saatnya masukan sayuran terus bakso, sosis dan terakhir telur sama daun bawang, apa ada jeruk nipis di kulkas,” cicitnya Adinda.
Dia kembali berjalan ke arah kulkasnya untuk mencari cabe rawit dan jeruk nipis karena tidak akan lengkap tanpa cabe dan jeruk.
Adinda hendak menyendok makanannya tapi ada tangan seseorang yang menggantikannya.
Adinda hanya plonga plongo melihat orang itu yang langsung menyeruput mie instan yang seharusnya dia yang nikmati.
Hingga orang itu batuk-batuk karena kepedesan sekaligus kepanasan oleh kuahnya.
“Makanya jadi orang jangan main rebut milik orang lain! Kena karma juga kan! Ini namanya karma is real!" Sarkasnya Adinda.