Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Terluka
Tubuhnya terhempas ke belakang, matanya terbelalak, bibirnya mengeluarkan darah segar. Dalam sekejap, kakinya kehilangan tenaga, tubuhnya lunglai jatuh.
“LIDYAAAA!!” teriak Arjuna, panik. Ia berlari, menangkap tubuh adik iparnya sebelum menyentuh lantai.
Suasana restoran mendadak membeku. Para pengunjung menjerit, sebagian menutup mulut, sebagian lagi berlari keluar.
“Lidya! Bertahan!” Suara Arjuna bergetar, kedua tangannya mengguncang pelan tubuh gadis itu. “Tolong buka mata kamu, Lidya … dengar suara Kakak … jangan penjamkan matamu. Sadarlah, Lidya!”
Namun Lidya hanya mampu mengerang pelan. Darah terus mengalir dari sudut bibirnya. Tangannya yang lemah sempat terangkat, seolah ingin menggenggam baju Arjuna, namun jatuh begitu saja.
Arjuna merasa seluruh dunianya runtuh.
“Apa yang sudah kamu lakukan?!” Arjuna menoleh dengan mata merah penuh amarah ke arah Tommy. “Dasar bajingan tak punya hati!”
Tommy terdiam, wajahnya pucat. Ia tidak pernah bermaksud mengenai Lidya. Untuk pertama kalinya, ekspresi percaya dirinya hilang, berganti ketakutan. Namun itu tidak membuat Arjuna berhenti menatapnya dengan kebencian murni.
“Cepat hubungi ambulans!” teriak salah satu staf hotel.
Beberapa waiter bergegas mengeluarkan ponsel, sementara yang lain mendekat, mencoba membantu. Namun Arjuna menepis.
“Tidak usah! Bantu saya bawa dia sekarang juga!” Suaranya pecah, nyaris seperti raungan.
Dengan penuh hati-hati, Arjuna mengangkat tubuh Lidya yang hampir tak sadarkan diri. Darah membasahi kemeja putihnya, tapi ia tidak peduli. Pandangannya hanya tertuju pada wajah pucat adik iparnya itu.
“Lidya, tolong bertahan … aku mohon … jangan bikin aku tambah kacau,” bisiknya lirih, matanya berkaca-kaca.
***
Beberapa staf segera membimbing Arjuna menuju mobil hotel yang sudah disiapkan. Dalam perjalanan keluar, semua mata menatap dengan ngeri, sebagian merekam dengan ponsel, sebagian lagi hanya terpaku.
Di belakang, Tommy masih berdiri terpaku. Tangan gemetar, wajah kaku, seakan baru menyadari betapa fatal tindakannya.
Saat pintu mobil ditutup, Arjuna menoleh sekilas, matanya menyalakan api dendam yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Tommy … kalau sampai Lidya kenapa-kenapa.” Suaranya serak, penuh sumpah serapah yang tertahan. “Aku pastikan kamu menyesal lahir ke dunia ini.”
Mobil pun melesat pergi, meninggalkan Tommy yang termangu di tengah kekacauan restoran.
***
Siang itu, sirine mobil hotel yang melaju kencang memecah kesunyian jalanan. Di dalam mobil, Arjuna terus mengguncang tubuh Lidya yang semakin lemah. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah, rasa bersalah dan panik bercampur jadi satu.
“Lidya, buka mata kamu … tolong dengar suara aku. Kamu kuat, kamu selalu kuat, jangan kalah sekarang.”
Namun tubuh itu tetap lemah dalam gendongannya.
Dan di dalam hati Arjuna, terpatri satu kenyataan pahit: ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri—maupun Tommy—jika Lidya sampai terluka parah.
***
“Cepat, segera siapkan ruang observasi!” Suara dokter jaga terdengar lantang begitu Lidya dibopong masuk ke ruang IGD dengan wajah pucat dan darah masih menetes dari sudut bibirnya.
Perawat segera mendorong brankar, sementara Arjuna berjalan di samping dengan wajah penuh kepanikan.
“Dok, tolong ... tolong selamatkan adik saya. Apa pun lakukan, saya mohon!” Suara Arjuna parau, hampir bergetar.
“Tenang, Pak. Kami sedang berusaha. Silakan tunggu di luar sebentar,” sahut salah satu perawat sambil menahan bahu Arjuna tampak tak sabar.
“Saya ... saya tidak bisa diam di luar. Saya harus lihat keadaannya!” Arjuna bersikeras, matanya merah menahan emosi dan rasa bersalah.
Dokter akhirnya menoleh sebentar. “Baik, asal tidak mengganggu, Anda boleh ikut. Tapi jangan panik, ya. Kami harus fokus.”
Arjuna mengangguk cepat, lalu berdiri tak jauh dari brankar tempat Lidya diperiksa.
Beberapa menit berlalu, terdengar suara stetoskop, instruksi perawat, dan bunyi alat medis. Dokter akhirnya menoleh pada Arjuna.
“Pak, setelah pemeriksaan awal, pasien mengalami trauma di bagian punggung. Ada pendarahan akibat benturan keras, tapi syukurlah tidak mengenai organ vital. Kami sarankan untuk observasi selama beberapa jam ke depan. Kondisinya stabil, hanya pingsan karena benturan dan kelelahan.”
Arjuna menarik napas panjang, menunduk, lalu menekan pelipisnya. “Syukurlah.”
“Apakah saya boleh menemaninya di ruang observasi?” tanya Arjuna cepat.
“Boleh. Tapi ingat, pasien masih belum sadar. Jangan membuatnya stres saat nanti terbangun,” jelas dokter.
Arjuna mengangguk lagi. “Terima kasih, Dok. Saya janji.”
***
Suasana jauh lebih tenang. Hanya ada suara mesin monitor yang menunjukkan detak jantung Lidya. Tubuh gadis itu tampak lemah, berbaring dengan selang infus menempel di tangan.
Arjuna duduk di kursi tepat di samping brankar. Matanya terus menatap wajah Lidya. Jemarinya sempat terangkat, seakan ingin menyentuh tangan Lidya, tapi ia urungkan.
“Huft.” Arjuna menghela napas berat. “Kalau saja aku tidak terbawa emosi tadi ... kalau saja aku bisa menahan diri,” gumamnya lirih.
Tak lama kemudian, Lidya mulai menggerakkan jemarinya. Kelopak matanya perlahan terbuka, cahaya lampu membuatnya sedikit menyipitkan mata.
“Lidya ... Lidya, kamu sadar?” Arjuna langsung berdiri, wajahnya tegang. “Apa yang kamu rasakan? Masih sakit di bagian punggung?”
Lidya mengerjap, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, menghindari sorot mata kakak iparnya. Wajahnya dingin.
Arjuna cemas. “Aku panggil dokter sekarang. Tunggu sebentar.” Ia segera menekan tombol panggil di samping ranjang.
Tak lama, dokter dan dua perawat masuk. “Oh, pasien sudah sadar. Bagaimana perasaannya?”
Lidya membuka bibirnya pelan. “Punggung saya ... terasa sakit, Dok. Seperti ditusuk. Kepala saya juga pusing.”
Dokter mengangguk, mencatat. “Wajar, karena benturan cukup keras. Kami akan cek ulang tekanan darah dan kondisi syarafnya.”
Perawat sigap memeriksa ulang. Arjuna menatap lekat, ingin sekali ikut berbicara, namun Lidya sama sekali tidak menoleh padanya.
Dokter kembali menatap pasien. “Apakah ada keluhan lain, Mbak?”
“Mual sedikit ... tapi selebihnya, saya baik-baik saja.” Lidya berusaha terdengar tegar, meski wajahnya masih pucat.
Arjuna akhirnya tak tahan. “Dok, dia tadi sempat keluar darah dari mulut. Itu ... berbahaya, kan?”
Lidya menoleh cepat, menatap Arjuna dengan sorot kesal. “Aku yang ditanya dokter, Kak. Biarkan aku yang menjawab.”
Arjuna terdiam, matanya mengerjap. Dokter melirik singkat, lalu berusaha menjaga suasana.
“Keluar darah sedikit akibat benturan, Pak. Tapi tidak berbahaya. Kami akan tetap pantau. Jangan khawatir.”
“Terima kasih, Dok,” jawab Lidya singkat, tanpa menoleh ke Arjuna.
Dokter mengangguk, lalu meninggalkan ruangan setelah memberi instruksi pada perawat.
Kini, hanya tersisa mereka berdua. Keheningan menusuk, hanya suara monitor yang terdengar.
Arjuna mencoba membuka suara. “Lidya ... aku—”
“Tolong jangan bicara denganku,” potong Lidya cepat, masih menatap langit-langit, bukan ke arahnya.
Arjuna mendesah, tangannya mengepal di pangkuan. “Aku tahu kamu marah. Dan kamu berhak marah. Tapi ... aku sungguh menyesal.”
Lidya memejamkan mata, menahan air mata yang hampir jatuh. “Menyesal? Menyesal karena aku terluka? Atau menyesal karena kamu gagal mengendalikan emosi, sampai menyeret aku ke dalam masalahmu dengan orang lain?”
Bersambung ... ✍️
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄
cemburu yee 🤭