Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Benang Rambut yang Berdenyut
Tangan itu perlahan-lahan mulai menarik tubuh Aris masuk ke dalam tumpukan kain yang sedang berdenyut kencang seperti jantung raksasa yang haus akan darah. Aris Mardian merasakan ujung-ujung jarum yang menyusun tangan raksasa tersebut mulai menembus kulit punggungnya, menciptakan sensasi dingin yang sangat menusuk hingga ke tulang. Ia mencoba mencakar tanah, namun jemarinya hanya menemukan helai-helai rambut hitam yang terus keluar dari pori-pori tanah yang mulai merekah.
"Sekar! Jangan biarkan benda ini membawaku masuk lebih dalam!" teriak Aris dengan suara yang nyaris habis karena cekikan benang.
"Aku datang Aris! Bertahanlah sekuat tenaga, jangan biarkan matamu terpejam!" sahut Sekar Wangi sambil menghujamkan pisau bedahnya ke pergelangan tangan jarum tersebut.
Pisau bedah Sekar mengeluarkan suara denting logam yang sangat nyaring, namun tidak mampu menggores susunan jarum yang sangat padat itu. Aris melihat benang rambut yang tumbuh di lengannya kini mulai merayap naik, melilit lehernya dengan irama denyutan yang mengikuti detak jantungnya sendiri. Setiap kali jantung Aris berdetak, benang rambut itu semakin mengencang, seolah-olah sedang menjahit saluran napasnya agar tertutup selamanya.
"Rambut ini... rasanya hidup, Sekar! Ada sesuatu yang sedang merayap di bawah kulit leherku!" rintih Aris dengan mata yang mulai memerah.
"Itu bukan sekadar rambut, Aris, itu adalah parasit sukma yang mencari inang baru untuk menghidupkan kembali penjahit kuno!" jerit Sekar dengan penuh kengerian.
Sekar menyadari bahwa serangan fisik tidak akan berguna melawan keajaiban hitam yang sedang memangsa temannya tersebut. Sebagai seorang ahli pengobatan herbal, ia segera mengambil bungkusan getah pohon jarak yang sudah dicampur dengan serbuk belerang murni. Ia mengoleskan cairan kental itu ke telapak tangannya sendiri, lalu menempelkannya tepat di atas benang rambut yang sedang berdenyut di leher Aris.
"Berikan aku ruang untuk bernapas, Sekar, rasanya paru-paruku mulai terisi oleh serat kain!" ucap Aris sambil terbatuk, mengeluarkan gumpalan benang basah dari mulutnya.
"Telan cairan ini, Aris! Ini akan membakar benang-benang itu dari dalam tubuhmu!" perintah Sekar sambil menuangkan ramuan pahit ke dalam mulut Aris.
Aris merasakan sensasi terbakar yang luar biasa di dalam tenggorokannya, seolah-olah ia baru saja menelan bara api yang sedang membara. Benang-benang rambut yang melilit lehernya mulai mengecil dan layu, mengeluarkan asap hitam yang berbau seperti bangkai binatang yang membusuk. Namun, tangan raksasa dari jarum itu justru semakin marah dan menarik tubuh Aris dengan sentakan yang sangat keras hingga kakinya terangkat dari tanah.
"Dia ingin membawaku ke pusat gulungan kain itu, Sekar! Di sana ada lubang yang penuh dengan mata manusia!" teriak Aris sambil menunjuk ke arah gundukan kain yang bergetar.
"Aku tidak akan membiarkanmu menjadi tumbal bagi mesin jahit terkutuk itu!" balas Sekar sambil menarik kaki Aris dengan sisa kekuatannya.
Aris mencoba menggunakan pengetahuannya sebagai perancang bangunan untuk melihat titik tumpu dari tangan raksasa yang menahannya. Ia menyadari bahwa tangan itu tidak memiliki sendi yang nyata, melainkan hanya disatukan oleh tegangan benang merah yang sangat tipis di bagian pangkalnya. Jika ia bisa memutus benang pengikat utama tersebut, maka seluruh susunan jarum itu akan runtuh dan kehilangan kekuatannya untuk mencengkeram.
"Sekar, cari benang merah di sela-sela pergelangan tangan jarum ini! Itu adalah kunci dari seluruh kekuatannya!" seru Aris dengan sisa tenaga yang ada.
"Aku melihatnya, Aris! Benang itu tersembunyi di bawah tumpukan jarum yang berkarat!" jawab Sekar sambil mencoba menggapai celah logam tersebut.
Sekar menggunakan gunting perak miliknya untuk memotong benang merah yang tampak berdenyut dengan cahaya remang-remang tersebut. Begitu benang itu putus, suara jeritan ribuan wanita terdengar meledak dari dalam gundukan kain, memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Tangan raksasa itu hancur berantakan, menjatuhkan ribuan jarum tajam yang menancap di tanah di sekeliling tubuh Aris seperti pagar besi yang mematikan.
"Cepat bangun Aris, kita harus pergi sebelum jarum-jarum ini mulai bergerak kembali!" ajak Sekar sambil membantu Aris berdiri tegak.
"Lihat lenganku, Sekar, benang-benang rambut itu memang berhenti tumbuh, tapi mereka meninggalkan bekas luka yang sangat dalam," bisik Aris sambil menatap kulitnya yang kini berpola jahitan hitam.
Aris melihat pola jahitan di lengannya itu membentuk sebuah simbol yang sangat ia kenal, yaitu denah rahasia ruang bawah tanah desa Sukomati. Ia menyadari bahwa kutukan ini tidak sedang mencoba membunuhnya, melainkan sedang menggunakan tubuhnya sebagai peta hidup untuk menunjukkan jalan menuju sesuatu yang lebih besar. Dari balik gundukan kain yang hancur, muncul sebuah gulungan mori tua yang perlahan-lahan terbuka dan menyingkap sebuah jeritan yang tertahan.
"Suara apa itu, Aris? Kedengarannya seperti seseorang yang sedang dikubur hidup-hidup di bawah kaki kita," tanya Sekar dengan wajah yang semakin pucat.
"Itu adalah suara dari dalam gulungan kain yang baru saja terbuka, Sekar, ada seseorang yang terjebak di dalamnya selama puluhan tahun," jawab Aris sambil melangkah ragu mendekati gulungan tersebut.
Aris menyentuh ujung kain mori yang dingin itu, dan seketika ia ditarik masuk ke dalam sebuah penglihatan masa lalu yang sangat kelam. Ia melihat seorang wanita dengan bibir yang terjahit rapi sedang meronta-ronta di dalam gulungan kain yang sedang ditimbun tanah oleh warga desa. Saat wajah wanita itu terlihat jelas, Aris tersentak karena wajah itu sangat mirip dengan wajah Sekar Wangi yang sedang berdiri di sampingnya.
Saat wajah wanita itu terlihat jelas, Aris tersentak karena wajah itu sangat mirip dengan wajah Sekar Wangi yang sedang berdiri di sampingnya.