"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Perjamuan Darah Para Bangsawan
Pria bangsawan itu kemudian menjentikkan jarinya dan seketika itu juga dinding rambut di belakang Baskara terbuka serta memperlihatkan sosok wanita yang sangat mirip dengan ibunya sedang dirantai di atas sebuah tumpukan bara api yang sangat panas. Baskara merasakan dunianya seolah berhenti berputar saat melihat penderitaan wanita itu yang terus mengeluarkan rintihan lirih secara terus-menerus.
Hawa panas dari bara api tersebut mulai membakar ujung sepatu bot milik Baskara hingga aroma karet terbakar memenuhi seluruh ruangan yang sangat luas dan sunyi itu. Ia mencoba berlari maju namun kakinya seolah tertancap kuat pada lantai yang terbuat dari jalinan rambut manusia yang terus bergerak melilit pergelangan kakinya secara berulang-ulang.
"Ibu! Aku akan segera mengeluarkanmu dari tempat jahanam ini!" teriak Baskara dengan suara yang pecah karena rasa haru sekaligus kemarahan yang meluap.
Pria bangsawan berpakaian jawa kuno itu tertawa hingga dadanya berguncang hebat dan mengeluarkan bunyi retakan tulang yang sangat nyaring di telinga Baskara. Ia menyesap kembali cairan merah dari gelas emasnya sambil menatap Baskara dengan pandangan merendahkan seolah Baskara hanyalah seekor serangga kecil yang sedang meronta-ronta secara berulang-ulang.
"Silakan saja jika kamu ingin merobek rantai gaib itu dengan tangan kosongmu yang sangat lemah tersebut," tantang sang bangsawan dengan nada yang sangat tajam.
Baskara meraba saku celananya dan menemukan kunci dari kuku manusia yang diberikan oleh Arini sebelum wanita itu menghembuskan napas terakhirnya di puncak gunung. Ia menyadari bahwa kunci itu mulai bergetar hebat dan memancarkan suhu dingin yang mampu melawan hawa panas dari bara api di depan matanya secara terus-menerus.
Baskara menggunakan seluruh sisa kekuatannya untuk menarik kakinya dari lilitan rambut yang mulai masuk ke dalam pori-pori kulitnya dengan sangat menyakitkan. Ia berhasil melepaskan diri namun sebagian kulit pergelangan kakinya tertinggal pada jalinan rambut yang kini mulai menghisap darahnya dengan penuh kerakusan secara berulang-ulang.
"Kunci itu tidak akan berguna jika kamu tidak memberikan persembahan yang setimpal kepada para penghuni meja perjamuan ini!" ucap sang bangsawan sambil menunjuk ke arah piring-piring perak.
Baskara menoleh dan melihat bahwa di atas meja perjamuan itu terdapat potongan jari-jari manusia yang masih bergerak dan mengeluarkan darah segar secara terus-menerus. Ia merasa mual yang luar biasa namun ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya di depan mahluk yang sangat licik dan sangat kejam ini secara berulang-ulang.
"Apa yang kamu inginkan dariku agar aku bisa membawa ibuku pergi dari sini?" tanya Baskara sambil menggenggam kunci kuku itu erat-erat.
Bangsawan lelembut itu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Baskara dengan gerakan yang sangat anggun namun meninggalkan jejak lendir berwarna hitam di atas lantai rambut. Ia menyentuh dada Baskara dengan ujung jari telunjuknya yang sangat panjang dan memiliki kuku yang sudah mengeras seperti logam baja secara terus-menerus.
"Aku menginginkan mata kananmu sebagai pengganti permata mata gagak hitam yang telah kamu hancurkan dengan sangat lancang," jawab sang bangsawan dengan senyum yang mengerikan.
Baskara terdiam sejenak sambil menatap wajah ibunya yang kini mulai meneteskan air mata darah karena tidak tega melihat putranya harus menderita secara berulang-ulang. Ia teringat akan tugas utamanya sebagai anggota tim penyelamat yang harus siap mengorbankan apa pun demi menyelamatkan nyawa orang yang sangat berharga secara terus-menerus.
"Jika itu adalah satu-satunya cara, maka ambillah mataku dan biarkan ibuku bebas sekarang juga!" seru Baskara dengan penuh ketegasan.
Sang bangsawan segera mengayunkan tangannya untuk mencongkel mata Baskara namun sebuah ledakan cahaya biru muncul dari kunci kuku yang dipegang oleh pemuda itu. Kunci kuku itu berubah menjadi belati pendek yang sangat bercahaya dan mampu memotong ujung jari sang bangsawan hingga putus dan jatuh ke lantai secara berulang-ulang.
Mahluk itu menjerit kesakitan karena darah hitamnya mulai membakar rambut-rambut di lantai hingga menciptakan lubang besar yang sangat dalam dan sangat gelap. Baskara tidak membuang waktu dan segera melompat ke arah tumpukan bara api sambil menghujamkan belati kuku itu ke arah rantai yang membelenggu ibunya secara terus-menerus.
"Baskara, jangan sentuh rantai itu dengan tangan telanjangmu!" teriak wanita yang mirip ibunya tersebut dengan suara yang sangat panik.
Seketika itu juga, rantai besi itu berubah menjadi ribuan ular kobra hitam yang mulai melilit lengan Baskara dan menyuntikkan racun panas ke dalam pembuluh darahnya secara berulang-ulang. Baskara mengerang kesakitan namun ia tidak melepaskan belatinya hingga akhirnya rantai itu hancur berkeping-keping dan mengeluarkan suara ledakan gaib secara terus-menerus.
Ibu Baskara jatuh ke dalam pelukan putranya namun anehnya tubuh wanita itu terasa sangat ringan seperti tumpukan bulu burung yang tidak memiliki daging. Baskara melihat wajah ibunya dari dekat dan menyadari bahwa wanita ini tidak memiliki bola mata melainkan hanya lubang hitam yang dipenuhi oleh ribuan ulat putih secara berulang-ulang.
"Terima kasih sudah menjemputku, putraku, sekarang mari kita pergi menuju pasar jiwa tempat ayahmu sedang menunggu," bisik wanita itu dengan suara yang sangat asing.
Baskara merasa ada yang salah namun ia tidak memiliki pilihan selain berlari keluar dari ruangan perjamuan yang kini mulai runtuh tertimbun oleh tanah merah. Mereka berlari menembus dinding rambut yang mulai terbakar hebat hingga akhirnya mereka sampai di sebuah gerbang yang terbuat dari ribuan cermin yang saling berhadapan secara terus-menerus.
Di dalam pantulan cermin tersebut, Baskara melihat dirinya sendiri sedang berjalan bersama sesosok mahluk yang punggungnya dipenuhi oleh duri-duri tajam dan sangat besar. Ia menoleh ke arah ibunya namun wanita itu masih tampak normal di matanya meskipun bayangan di cermin menunjukkan hal yang sangat berbeda secara berulang-ulang.
"Jangan melihat ke arah cermin itu, mereka hanya ingin menyesatkan pikiranmu agar kamu meninggalkan aku sendirian lagi!" perintah wanita yang mengaku sebagai ibunya tersebut.
Baskara terus berlari mengikuti tarikan tangan wanita itu hingga mereka sampai di sebuah jembatan gantung yang talinya terbuat dari usus manusia yang sudah mengering. Di bawah jembatan itu terdapat jurang yang sangat dalam dan dipenuhi oleh suara rintihan ribuan jiwa yang sedang meminta pertolongan secara terus-menerus.
Tiba-tiba, dari arah belakang muncul Arini yang tubuhnya sudah hancur namun ia masih mampu memegang sebuah busur panah yang ujungnya membara secara berulang-ulang. Arini melepaskan anak panahnya tepat ke arah punggung wanita yang sedang menggandeng tangan Baskara hingga wanita itu menjerit sangat melengking secara terus-menerus.
"Dia bukan ibumu, Baskara! Dia adalah ratu pengumpul jiwa yang sedang menyamar untuk membawamu masuk ke dalam pasar kematian!" teriak Arini dengan sisa tenaganya.
Baskara terkejut dan melihat wanita itu kini berubah wujud menjadi mahluk raksasa dengan ribuan tangan yang mulai mencengkeram jembatan gantung hingga terputus. Baskara jatuh ke dalam jurang kegelapan sambil mencoba meraih tangan Arini yang juga ikut terjatuh bersamanya karena tarikan gravitasi Alas Mayit yang sangat kuat secara berulang-ulang.
Mereka jatuh semakin dalam hingga akhirnya mereka mendarat di atas sebuah gerobak kayu yang ditarik oleh sekumpulan kerbau tanpa kepala di tengah keramaian pasar.