Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : MENIKAH SECEPATNYA
Erlangga tidak segera melepaskanku. Dia membiarkan keheningan menyelimuti kami selama beberapa saat, hanya deru napasnya yang perlahan mulai teratur di ceruk leherku. Dengan gerakan yang tak terduga, dia mulai membasuh tubuhku. Tangannya yang tadi begitu brutal, kini bergerak sangat halus seolah aku adalah porselen retak yang mudah hancur.
Dia menyiramkan air hangat ke bahuku, membersihkan sisa-sisa pergulatan kami dengan telaten. Tak ada kata-kata. Hanya ada tatapan intens yang sesekali dia tujukan padaku, tatapan yang sulit kuartikan antara kepemilikan dan kepuasan.
Setelah selesai, dia bangkit lebih dulu dan mengambil handuk besar. Tanpa meminta izin, dia membungkus tubuhku yang lemas. Aku hanya diam, tenagaku telah terkuras habis hingga untuk berdiri pun rasanya mustahil.
Erlangga kemudian menyusupkan lengannya di bawah lutut dan punggungku. Dia menggendongku keluar dari kamar mandi yang lembap. Aku menyandarkan kepala di dadanya yang bidang, mendengar detak jantungnya yang masih sedikit cepat. Ironis, kenyamanan ini terasa begitu menyesakkan di tengah statusku sebagai tawanannya.
Dia membawaku kembali ke kamar, lalu merebahkanku di atas ranjang yang sudah tertata rapi. Gerakannya sangat pelan saat menyelimutiku. Dia duduk di tepi ranjang, membelai pipiku dengan punggung jarinya, seolah-olah semua kekejaman di bathtub tadi tidak pernah terjadi.
Erlangga membantuku berpakaian dengan gerakan yang sangat telaten, seolah aku adalah boneka porselen yang bisa pecah kapan saja. Aku hanya diam, membiarkan jemarinya mengancingkan bajuku satu per satu. Pikiranku kalut. Pria ini adalah teka-teki yang mengerikan; sebentar ia menjadi monster yang brutal, namun sedetik kemudian ia bertransformasi menjadi pria paling lembut yang pernah kutemui.
"Istirahatlah," ucapnya rendah, nadanya nyaris seperti perhatian yang tulus. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke mana pun hari ini." kemudian Erlangga keluar dari kamar ku.
Aku menatap pantulan diriku di cermin. Apakah kelembutan ini untukku? Ataukah karena wajahku yang begitu mirip dengan Sarah, mantan kekasihnya yang tewas itu? Mungkin di matanya, aku hanyalah wadah untuk menghidupkan kembali kenangan yang telah mati.
Tak lama setelah Erlangga berangkat, Bi Sumi masuk membawakan nampan sarapan.
"Makan sedikit ya, Non," bujuknya.
Aku menggeleng, rasa mual dan sesak masih memenuhi dadaku. Namun, Bi Sumi tidak menyerah. Ia duduk di sampingku dan mulai menyuapiku dengan sabar, seolah mengerti bahwa saat ini aku tidak memiliki kekuatan bahkan untuk memegang sendok.
"Sedikit saja, demi kesehatan Non Ashilla," bisiknya lembut.
Baru saja suapan terakhir masuk, pintu lift terbuka. Bu Martha dan Pak Danu melangkah masuk ke kamar. Saat melihatku, langkah mereka terhenti seketika. Bu Martha menutup mulutnya, matanya membelalak menatap lebam di lenganku dan sudut bibirku yang pecah.
Wajah Pak Danu mengeras, tangannya mengepal kuat hingga gemetar. "Erlangga..." geramnya rendah. "Baru semalam dia berjanji padaku tidak akan menyakitimu lagi. Dia benar-benar melanggar janjinya!"
Kemarahan besar terpancar dari raut wajah orang tua itu. Mereka merasa dikhianati oleh putra mereka sendiri. Bu Martha duduk di sampingku, memeluk bahuku yang gemetar dengan penuh rasa iba.
"Cukup, pa. Erlangga sudah kehilangan akal sehatnya," ucap Bu Martha tegas pada suaminya. Ia kemudian menatapku dalam-dalam. "Ashilla, kami tidak akan membiarkanmu menjadi sasaran kegilaannya tanpa perlindungan. Kami akan meresmikan hubungan ini. Kalian akan menikah secepatnya."
Pak Danu mengangguk setuju, matanya berkilat penuh tekad. "Hanya dengan status istri, Erlangga tidak bisa lagi memperlakukanmu sembarangan. Kami akan memaksanya tunduk pada aturan keluarga. Pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuk mengikatnya agar dia berhenti bertindak seperti monster."
Aku terpaku. Pernikahan yang mereka rencanakan terasa seperti pelindung sekaligus belenggu baru. Aku terperangkap di antara kemarahan orang tuanya dan obsesi gila putra mereka.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,