Jian Feng, seorang anak haram dari keluarga bejat, dipaksa menikahi Lin Xue, gadis cantik namun cacat dan sekarat.
Dipertemukan oleh takdir pahit dan dibuang oleh keluarga mereka sendiri, Jian Feng menemukan satu-satunya alasan untuk hidup: menyelamatkan Lin Xue. Ketika penyakit istrinya memburuk, Jian Feng, yang menyimpan bakat terpendam, harus bangkit dalam kultivasi. Ia berjanji: akan menemukan obat, atau ia akan menuntut darah dari setiap orang yang telah membuang mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23- Suara dari Kejauhan
Kegelapan itu dingin, namun anehnya terasa sangat nyaman. Tidak ada rasa sakit dari tulang yang patah, tidak ada rasa terbakar dari dantian yang retak, dan tidak ada suara tawa gila dari Feng.
Jian Feng merasa tubuhnya melayang turun ke dalam samudra hitam tanpa dasar.
"Ah... begini rasanya mati," batin Jian Feng. "Tenang sekali. Aku tidak perlu lagi memikirkan uang, tidak perlu memikirkan balas dendam, tidak perlu memikirkan orang tua sampah itu..."
Ia memejamkan mata mentalnya, siap untuk membiarkan kesadarannya memudar sepenuhnya. Ia sudah sangat lelah. Perjuangan hidupnya yang penuh kebencian rasanya sudah cukup sampai di sini.
Namun, di tengah keheningan abadi itu, sebuah suara kecil terdengar.
"...Feng..."
Jian Feng mengerutkan kening dalam kegelapan. "Suara apa itu? Ganggu saja."
"...Jian Feng... bangun..."
Suara itu semakin jelas. Suara seorang gadis. Suara yang cempreng, terkadang menyebalkan, tapi entah kenapa terasa sangat akrab. Suara yang selalu bertanya tentang makanan, tentang dunia luar, dan selalu mengomel padanya.
"Berisik sekali," keluh Jian Feng. "Biarkan aku tidur."
"Hiks... hiks... Jangan tinggalkan aku... Aku takut sendirian..."
Tangisan itu. Suara tangisan itu menusuk ketenangan Jian Feng seperti jarum.
Ingatan Jian Feng tersentak. "Sendirian? Siapa yang sendirian? Ah... Gadis bodoh itu. Lin Xue."
Bayangan wajah Lin Xue yang pucat dan ketakutan muncul di benaknya. Jika Jian Feng mati di sini, di tengah hutan antah berantah ini, apa yang akan terjadi pada Lin Xue? Dia lumpuh. Dia sakit-sakitan. Dia tidak bisa bertahan hidup satu malam pun sendirian di hutan ini. Hewan buas akan memakannya, atau dia akan mati kedinginan.
"Sialan..." Jian Feng mengumpat dalam hatinya. "Bahkan untuk mati pun aku tidak bisa tenang karena dia."
Rasa tanggung jawab yang lebih besar dari keinginan untuk mati menariknya kembali. Ia tidak bisa membiarkan "tanggung jawab"-nya mati kiasan begitu saja.
"Bangun, Jian Feng! Bangun, dasar bodoh!" teriaknya pada dirinya sendiri.
DI DUNIA NYATA:
"Jian Feng! Bangunlah! Hiks... hiks..."
Lin Xue mengguncang bahu Jian Feng yang kaku. Darah di wajah suaminya sudah mulai mengering, membuat penampilannya semakin mengerikan. Lin Xue merasa putus asa. Ia sudah berteriak dan menangis sampai suaranya serak.
Tiba-tiba, jari tangan Jian Feng berkedut.
Lin Xue terkesiap. "Jian Feng?"
Perlahan, sangat perlahan, mata Jian Feng terbuka. Pandangannya kosong sejenak, menatap langit malam yang berbintang, sebelum akhirnya fokus kembali dan mendarat pada wajah Lin Xue yang basah oleh air mata dan darah.
"Ugh..." Erangan lolos dari bibir Jian Feng. Rasa sakit yang tadi hilang kini kembali menghantamnya seribu kali lipat. Seluruh tubuhnya berteriak kesakitan.
"Jian Feng! Kau sadar! Kau hidup!" Lin Xue langsung memeluk leher Jian Feng, menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya yang penuh luka.
"Aduh! Sshhh!" Jian Feng meringis hebat. "Jangan... tekan... dadaku... Tulang rusukku... patah semua, Bodoh."
Lin Xue panik dan melepaskan pelukannya. "M-maaf! Aku... aku terlalu senang."
Jian Feng mencoba mengatur napasnya yang pendek-pendek. Ia menatap Lin Xue dengan mata sayunya. "Kenapa kau... berisik sekali? Aku sedang tidur enak... tapi suara tangisanmu... merusak mimpiku."
Lin Xue menghapus air matanya dengan punggung tangan, meninggalkan noda darah di pipinya. "Habisnya... kau tidak bangun-bangun! Aku pikir kau sudah..." Suaranya tercekat lagi.
Jian Feng terdiam sejenak. Ia mencoba menggerakkan tangannya untuk menyentuh kepala Lin Xue, tapi tangannya terlalu lemah.
"Tadi..." Jian Feng berbicara dengan suara parau, keningnya berkerut mengingat-ingat "Sebelum aku pingsan... rasanya aku mendengar kau mengatakan sesuatu. Sesuatu yang penting."
Jantung Lin Xue berdegup kencang. Wajahnya yang pucat tiba-tiba memerah padam. Dia mendengarnya? Dia mendengar aku bilang 'Aku mencintaimu'?
"A-apa? Memangnya aku bilang apa?" Lin Xue pura-pura bodoh, matanya bergerak gelisah.
"Entahlah," gumam Jian Feng, matanya kembali terlihat bingung "Telingaku berdengung keras waktu itu. Sepertinya kau berteriak sesuatu... Apa kau bilang kau lapar lagi?"
Lin Xue menghela napas lega, sekaligus sedikit kecewa. Tapi rasa malunya lebih besar. "I-iya! Benar! Aku bilang aku lapar! Makanya jangan mati, siapa yang akan memberiku makan kalau kau mati!" Lin Xue berbohong dengan cepat.
Jian Feng mendengus pelan, sebuah senyum tipis yang meremehkan muncul di bibirnya "Dasar wanita rakus... Suamimu sedang sekarat... malah memikirkan makan."
"Biarin!" seru Lin Xue, tapi kali ini ia tersenyum di sela isak tangisnya.
Jian Feng mencoba duduk tegak, tapi gagal. Ia kembali bersandar pada batu besar itu
"Dengar, Lin Xue. Kita belum aman. Hutan ini berbahaya. Dan tubuhku... hancur total. Aku tidak bisa menggunakan Qi untuk sementara waktu."
Nadanya berubah serius. "Malam ini, kita harus bertahan di sini. Kau... kau harus membantuku."
Lin Xue mengangguk mantap, matanya kini memancarkan tekad. "Katakan apa yang harus aku lakukan. Aku akan menjadi tangan dan membantumu."
Jian Feng menatap gadis yang dulu hanya bisa diam di gendongannya itu. Sekarang, gadis itu terlihat lebih kuat.
"Ambilkan air... dan periksa apakah ada tanaman obat di sekitar sini. Tapi jangan lebih dari jarak lima langkah dari tempat ini. Mengerti?"
Jian Feng memejamkan matanya lagi, bukan untuk mati, tapi untuk memulihkan tenaga. Ia tidak tahu bahwa gadis yang sibuk merobek kain bajunya untuk dijadikan perban itu menyimpan perasaan yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa lapar.
Dan untuk saat ini, ketidaktahuan itu menyelamatkan Jian Feng dari rasa canggung yang mungkin belum siap ia hadapi.