Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Kedamaian
Riana berlari tanpa arah, air mata membasahi pipinya, membuatnya sulit melihat jalan di depan. Ia merasa sesak, seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, yang ia tahu hanyalah ia harus menjauh dari Bima dan Sinta, menjauh dari kebohongan dan pengkhianatan. Kakinya membawanya ke sebuah taman yang sepi, taman kecil dengan bangku-bangku kayu yang sudah usang dan pepohonan rindang yang menaungi. Dulu, ia sering menghabiskan waktu di sini untuk membaca buku, mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk kota. Sekarang, taman ini menjadi saksi bisu kehancuran hatinya. Ia duduk di salah satu bangku taman, memeluk dirinya sendiri erat-erat, dan menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang selama ini ia pendam.
Setelah beberapa saat, air matanya mulai mengering, dan ia merasa sedikit tenang. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan mencari nama Luna di daftar kontaknya. Luna adalah sahabatnya sejak kecil, teman sepermainan, teman berbagi suka dan duka. Luna selalu ada untuknya, tanpa syarat, tanpa menghakimi. Ia tahu, hanya Luna yang bisa ia andalkan saat ini.
"Luna, aku butuh kamu," kata Riana dengan suara serak, nyaris tak terdengar, saat Luna mengangkat telepon. "Bisakah aku datang ke rumahmu? Aku... aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi."
"Riana, ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanya Luna dengan nada khawatir yang membuat hati Riana semakin teriris.
"Tidak, aku tidak baik-baik saja," jawab Riana, air matanya kembali mengalir deras. "Aku akan menceritakan semuanya padamu nanti. Bisakah aku datang sekarang? Aku mohon."
"Tentu saja, datanglah," kata Luna dengan nada lembut dan penuh pengertian. "Aku akan menunggumu. Hati-hati di jalan."
Riana segera pergi ke rumah Luna, dengan taksi yang ia pesan melalui aplikasi. Selama perjalanan, ia terus menangis, tidak peduli dengan tatapan aneh dari sopir taksi. Ia merasa seperti orang yang paling malang di dunia.
Saat ia tiba di rumah Luna, Luna langsung membukakan pintu dan memeluknya erat. Riana menangis lagi di pelukan Luna, meluapkan semua kesedihan dan kekecewaannya, seolah Luna adalah wadah yang bisa menampung semua rasa sakitnya.
Setelah Riana merasa sedikit tenang, Luna membawanya masuk ke dalam rumah dan menyuguhkannya teh hangat. Mereka duduk di sofa, berhadapan, dalam diam. Luna menunggu Riana untuk berbicara, tanpa memaksa atau mendesak.
Akhirnya, Riana mulai bercerita, dengan suara bergetar dan air mata yang terus mengalir. Ia menceritakan semua yang terjadi di apartemen baru, tentang Bima, Sinta, dan pengkhianatan yang menghancurkan hatinya. Luna mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela atau menghakimi, hanya memberikan tatapan penuh kasih dan pengertian.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa, Luna," kata Riana setelah selesai bercerita, suaranya parau dan penuh keputusasaan. "Aku merasa bodoh karena telah mempercayai Bima. Aku merasa hancur dan sendirian. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Luna meraih tangan Riana dan menggenggamnya erat. "Aku mengerti perasaanmu, Riana," kata Luna lembut, tetapi dengan nada yang tegas. "Tapi kamu tidak bodoh. Kamu hanya mencintai seseorang dengan tulus, dan itu bukanlah kesalahan. Jangan salahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Riana, menatap Luna dengan tatapan kosong, seolah kehilangan arah dalam hidupnya.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Riana, menatap Luna dengan tatapan kosong, seolah kehilangan arah dalam hidupnya. Matanya memerah dan bengkak karena terlalu banyak menangis, dan bibirnya bergetar menahan isak yang masih ingin keluar. Ia merasa seluruh dunianya runtuh dalam sekejap, dan ia tidak tahu bagaimana caranya membangunnya kembali.
Luna menghela napas lembut, meraih tangan Riana yang dingin, dan menggenggamnya erat. "Riana, aku tahu ini sangat berat, bahkan mungkin yang terberat yang pernah kamu alami. Tapi dengarkan aku, kamu harus kuat. Jangan biarkan mereka, Bima atau Sinta, menghancurkanmu. Mereka tidak pantas mendapatkan air matamu. Sekarang, yang terpenting adalah kamu fokus pada dirimu sendiri. Jaga dirimu baik-baik. Istirahat yang cukup, makan makanan bergizi, dan lakukan hal-hal yang membuatmu bahagia, meskipun hanya sedikit. Untuk sementara waktu, hindari Bima. Jangan terima teleponnya, jangan balas pesannya. Beri dirimu waktu untuk memproses semua ini, untuk merasakan semua emosi yang kamu rasakan, tanpa harus merasa bersalah atau tertekan."
Riana mengangguk lemah, air matanya kembali menetes. Kata-kata Luna menenangkannya, memberikan sedikit harapan di tengah kegelapan yang melingkupinya, tetapi ia masih merasa hancur di dalam. "Aku tidak tahu bagaimana caranya, Luna. Aku merasa seperti kehilangan segalanya. Kepercayaanku, harga diriku, bahkan masa depanku."
"Kamu tidak kehilangan segalanya," kata Luna dengan tegas, suaranya penuh keyakinan. "Kamu masih memiliki dirimu sendiri, Riana. Kamu masih memiliki hatimu yang baik, pikiranmu yang cerdas, dan semangatmu yang kuat. Kamu juga memiliki keluargamu yang menyayangimu tanpa syarat, dan teman-temanmu yang selalu ada untukmu, termasuk aku. Kamu hanya perlu waktu untuk menyadari itu, untuk mengingat siapa dirimu sebenarnya, sebelum Bima datang dan mengubah hidupmu."
Saat Luna berbicara, ponsel Riana yang tergeletak di meja berdering nyaring. Nama Bima terpampang jelas di layar, dengan foto dirinya yang sedang tersenyum lebar. Riana menatap Luna dengan tatapan bimbang, seolah meminta izin untuk mengangkat telepon itu.
"Jangan diangkat," kata Luna tegas, tanpa ragu sedikit pun. "Kamu tidak perlu berbicara dengannya sekarang, Riana. Dia sudah cukup menyakitimu. Biarkan dia menunggu, biarkan dia merasakan apa yang kamu rasakan. Sekarang, yang penting adalah kamu, kebahagiaanmu, dan kedamaianmu."
Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan mematikannya. Ia tidak ingin mendengar suara Bima, ia tidak ingin mendengar penjelasannya, ia tidak ingin terpengaruh oleh rayuannya. Ia hanya ingin melupakan semua yang terjadi, meskipun hanya untuk sesaat.
"Bagaimana kalau kita melakukan sesuatu yang menyenangkan?" usul Luna, mencoba mengalihkan perhatian Riana. "Kita bisa pergi ke spa untuk memanjakan diri, menonton film komedi untuk menghilangkan stres, atau makan malam di restoran Italia favoritmu untuk memanjakan lidah."
Riana tersenyum tipis, mencoba memaksakan diri untuk merasa senang. "Kedengarannya menyenangkan, Luna, tapi aku tidak yakin aku sanggup. Aku merasa terlalu lelah dan sedih untuk melakukan apa pun."
"Tentu saja kamu sanggup," kata Luna sambil menarik Riana berdiri dari sofa. "Ayo, kita bersiap-siap. Kita akan bersenang-senang malam ini, meskipun hanya sedikit. Anggap saja ini sebagai langkah awal untuk memulihkan dirimu sendiri."
Luna membawa Riana ke spa favorit mereka, sebuah tempat mewah dengan suasana yang tenang dan menenangkan. Mereka menikmati pijat relaksasi yang menghilangkan semua ketegangan di tubuh mereka, perawatan wajah yang membuat kulit mereka bersinar, dan berendam di jacuzzi air hangat yang membuat pikiran mereka rileks. Riana merasa sedikit lebih baik setelahnya,
meskipun kesedihan masih mengendap di hatinya."
meskipun kesedihan masih membayangi pikirannya."
meskipun kesedihan masih terasa begitu nyata.
***********