novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Terbangun dari Bawah Retakan
Getaran itu semakin kuat.
Debu turun dari reruntuhan di sekitar mereka, butiran rapuh yang jatuh seperti hujan kecil. Arel merasakan tanah di bawah telapak tangannya berdenyut pelan seperti jantung yang terbangun dari tidur panjang. Suara samar dari kedalaman bumi terdengar seperti rintihan atau gemuruh peringatan.
Liora menegakkan tubuh, menarik Arel agar berdiri. “Kita harus pergi sekarang.”
Kael mundur dengan alat pemindai yang kini berkedip-kedip tak stabil. “Ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan. Ini bukan energi biasa. Bukan makhluk biasa.”
Arel masih linglung, kepalanya seperti tercekik oleh dua suara yang berselisih dalam pikirannya suara ayahnya… dan suara lain yang lebih gelap, yang menggaung dari dimensi entah apa.
“Suara itu…” Arel mengusap wajahnya yang berkeringat. “Ia bilang… bangunkan dia.”
Liora menatapnya. “Arel, kita tidak tahu siapa ‘dia’ itu. Bisa jadi musuh.”
Kael mengangguk cepat, kembali mengamati grafik alatnya. “Dari besarnya energi yang kurekam tadi… sepertinya itu sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kita hadapi sebelumnya.”
Tanah berguncang lagi lebih kuat, seakan bumi tengah mengerang.
Retakan lama yang sudah tertutup mulai bercahaya merah dari sela-sela bebatuan. Cahaya itu merayap naik melalui celah-celah kecil, seperti akar cahaya yang menembus permukaan.
Kael memundurkan badan. “Ini buruk. Ini sangat buruk.”
Liora mencabut belati listriknya dari sarungnya. Suara letupan kecil terdengar saat energinya aktif. “Kita harus menutup area ini sebelum sesuatu keluar.”
Namun Arel justru melangkah mendekati retakan itu, seolah ada tangan tak terlihat yang memanggilnya.
“Arel!” Liora menarik lengannya. “Jangan dekat-dekat!”
“Tunggu…” Arel menatap cahaya merah itu. “Ini bukan energi makhluk dimensi gelap. Atau setidaknya… bukan seperti yang menyerangku tadi.”
Kael mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Arel menepis tangan Liora perlahan lalu berlutut di tepi retakan. Ia memejamkan mata dan meletakkan telapak tangan di tanah.
Getaran itu terasa jelas berdenyut stabil seperti pola tertentu.
Matanya perlahan terbuka. “Ini ritme… ritme sinyal. Mirip pola komunikasi masa lalu.”
Liora tampak bingung. “Komunikasi dari… siapa?”
Arel tak menjawab.
Ia menelan ludah lalu berkata pelan, seolah takut pada jawabannya sendiri.
“Ayahku.”
Liora langsung menariknya menjauh dengan paksa. “Cukup!!”
Arel kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang, tetapi tatapan Liora yang marah justru membuatnya menahan napas.
“Dengar aku, Arel,” kata Liora dengan suara yang bergetar, bukan oleh amarah, tetapi ketakutan. “Suara ayahmu tadi bisa saja benar. Tapi ini” ia menunjuk retakan yang berdenyut merah “ bukan sesuatu yang bisa kita dekati seenaknya. Ini bisa membunuhmu.”
Kael ikut maju. “Dan tidak ada bukti seratus persen bahwa sinyal ini berasal dari ayahmu.”
Arel memejamkan mata.
Ya, mereka benar.
Tapi hatinya…
Hatinya terasa seperti dirobek dua arah.
Ia telah menghabiskan bertahun-tahun mencari jejak ayahnya. Dan kini, suara itu terdengar begitu nyata… begitu dekat… begitu seperti yang ia ingat.
Dan jika ayahnya benar-benar terjebak di dalam…
Ia tidak bisa meninggalkannya.
“Aku tidak bermaksud ceroboh,” Arel berkata dengan suara berat. “Tapi kalian tidak mengerti. Kalau suara itu benar-benar ayahku… kalau ia masih hidup… aku tidak bisa.”
Liora menggeleng cepat. “Arel. Ini bukan hanya tentang ayahmu. Ini tentang kita semua.”
Ia memegang pundaknya.
“Aku tidak mau kehilanganmu. Bukan seperti ini.”
Arel terdiam.
Ada getaran kecil di dadanya campuran rasa bersalah dan lega. Mata Liora basah, dan itu membuat Arel ingin menghapus segalanya yang menyakitinya.
Namun belum sempat Arel menjawab…
Getaran di tanah bertambah kuat.
Sebuah celah besar terbuka tepat di tengah bekas retakan lama.
Cahaya merah menyembur ke langit dahsyat, membutakan.
Kael terpental mundur, Liora menahan Arel agar tidak terjatuh.
“Apa yang keluar kali ini!?” Kael berteriak sambil mengangkat lengannya menutupi mata.
Cahaya itu membentuk pusaran.
Udara menjadi berat, panas, dan seolah ditarik masuk ke dalam celah.
Lalu…
Sesuatu bergerak dari dalam.
Arel menatap tanpa berkedip.
Dari cahaya itu, muncul siluet besar sangat besar, jauh lebih besar daripada Api Hitam. Namun bukan api, bukan bayangan, bukan makhluk gelap.
Sosok itu seperti manusia… tapi bukan manusia.
Ia berdiri perlahan dari kedalaman, tubuhnya berlapis cahaya merah dan garis-garis bercahaya yang membentuk simbol-simbol kuno. Setiap langkahnya meninggalkan bekas merah pada tanah yang membara.
Liora mundur tiga langkah, wajahnya pucat. “Apa itu…?”
Kael sudah tidak bisa bicara. Mulutnya terbuka tanpa suara.
Arel maju setengah langkah tanpa sadar.
Sosok itu mengangkat wajahnya.
Dan mata merah-nya menatap Arel.
Tapi itu bukan mata makhluk gelap.
Itu adalah mata yang dipenuhi… kesadaran.
Kesadaran yang sudah sangat lama terkubur.
“Arel…”
Suaranya terdengar seperti bisikan di tengah badai kuno, berat, namun… hangat.
Arel terhenti.
Suara itu…
Itu bukan suara ayahnya.
Tapi suara itu mengenal namanya.
Suara itu… memanggilnya dengan cara yang tidak asing.
“Siapa… kau?” Arel berbisik.
Sosok besar itu mengangkat satu tangan, dan tanah retak semakin terbuka.
“Aku… adalah penjaga terakhir dari dimensi awal,” katanya. “Dan kau… Arel… adalah kunci yang tersisa.”
Liora menahan napas.
Kael tersandung mundur.
Arel mematung, berdiri sendirian di hadapan sosok kolosal itu.
“Kunci apa…?” tanya Arel, suaranya bergetar.
Sosok itu membungkuk sedikit, mata merahnya bersinar lebih terang.
“Kunci untuk membangunkan dia.”
Arel membeku.
Liora buru-buru menarik senjata, gemetar. “Siapa ‘dia’!?”
Sosok itu menoleh sekilas, seakan melihat Liora tetapi menganggapnya tidak penting.
“Dia yang tertidur di bawah dunia ini.”
“Dia yang menciptakan dimensi-dimensi kalian.”
“Dia yang bisa menghancurkan atau menyatukan semuanya.”
Kael menelan ludah. “Maksudmu… entitas utama? Yang lebih tua dari dimensi api, air, dan kegelapan?”
“Ya.”
Arel mendadak merasa dingin, lebih dingin daripada apa pun yang pernah ia rasakan di dimensi gelap.
Sosok itu menatapnya lagi.
“Dan hanya kau yang bisa membangunkannya. Karena ayahmu… telah menyegel bagian dari dirinya ke dalam tubuhmu.”
Arel tersentak.
“Aku… apa…?”
Liora memekik. “Tidak! Itu tidak mungkin! Arel tidak pernah.”
“Benih itu ditanam ketika kau masih anak-anak, Arel,” lanjut sosok merah itu. “Ayahmu tahu bahwa suatu hari dunia ini akan runtuh. Dan ia menyiapkan penggantinya.”
Arel menggeleng keras. “Tidak… Tidak! Ayahku tidak akan.”
Namun suaranya hilang begitu saja ketika sosok itu melangkah ke depan.
“Ayahmu melakukannya untuk melindungimu. Tapi kini… waktumu hampir tiba.”
Ia mengangkat tangannya.
Cahaya di sekeliling mereka berkumpul menjadi pusaran yang berderit keras, seperti energi sedang memanggil sesuatu dari jauh.
“Kau harus datang bersamaku, Arel. Atau dunia akan hancur tanpa pembangkitnya.”
Arel mematung. Liora meraih tangannya.
“Jangan dengarkan dia,” bisiknya penuh ketakutan. “Arel… jangan tinggalkan kami.”
Arel menatap Liora.
Tatapan itu… adalah satu-satunya hal yang menahannya dari jatuh ke lubang tanpa dasar.
“Aku… aku tidak bisa pergi begitu saja,” kata Arel kepada sosok itu. “Aku tidak tahu apa pun tentang kekuatan itu. Dan aku tidak percaya.”
Sosok itu mengangkat tangannya lagi, kali ini lebih cepat.
Energi merah membentuk rantai cahaya di udara, menjulur menuju Arel.
Liora berdiri di antara mereka.
“TIDAK!” teriaknya.
Rantai energi itu memantul dari belati listrik Liora, namun kekuatan pantulannya membuat tubuh Liora terpental jauh, terbanting keras ke tanah.
“LIORA!!” Arel berteriak.
Kael berlari ke arahnya, panik. “Liora!!”
Arel menatap sosok merah itu dengan mata berapi emosi.
“Jangan sentuh dia!!”
Namun sosok itu hanya berkata pelan…
“Tidak ada waktu tersisa, Arel.”
Cahaya merah berputar, membentuk lingkaran sihir raksasa yang menelan bumi.
Semua di sekitar mereka bergetar langit, tanah, udara.
Sosok itu mengulurkan tangan.
“Arel… ikutlah denganku.”
Sebelum Arel sempat menjawab.
Lingkaran energi itu meledak.
Dan dunia di sekeliling mereka lenyap dalam cahaya merah.