Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang Budak?
Setelah perjalanan panjang selama empat hari, akhirnya Mei bersama ibu dan kedua kakaknya tiba di sebuah kota kecil yang tenang. Mereka memilih untuk beristirahat di penginapan sederhana di desa Ki.
Mei turun lebih dulu dari kereta kuda, membantu ibunya, lalu berkata lembut, “Ibu, kita istirahat di sini saja, besok baru kita lanjutkan lagi perjalanan kitai. Mei'er akan urus kamarnya.”
Rong mengangguk pelan, wajahnya tampak lelah tapi tenang setelah kejadian beberapa hari yang lalu. “Baiklah, Mei’er. Tempat ini sudah cukup nyaman.”
Mei segera berbicara dengan pemilik penginapan dan memesan tiga kamar, satu untuk ibunya, satu untuk dirinya sendiri, dan satu lagi untuk Wei dan Dao. Setelah semuanya beres, mereka naik ke lantai dua dan menuju kamar masing-masing.
Begitu pintu kamarnya tertutup, Mei menarik napas panjang dan segera duduk bersila di atas tempat tidur kayu itu. Matanya terpejam, lalu dalam sekejap tubuhnya menghilang masuk ke dalam ruang ajaib miliknya.
Begitu membuka mata di ruang ajaib itu, Mei tercengang. Ruang itu benar-benar berubah drastis.
Dulu hanya ada pondok kecil dan kolam spiritual sederhana tapi kini di hadapannya berdiri sebuah mansion megah dengan arsitektur ala zaman modern, berdinding putih berkilau dengan jendela kaca besar. Di sekitarnya terbentang taman luas yang penuh tanaman spiritual.
Air kolam spiritualnya kini menjadi sungai kecil yang mengalir, memantulkan cahaya biru dari langit.
“Ini apa yang terjadi?” gumam Mei dengan takjub.
Mailong, penjaga ruang ajaib yang selalu setia, muncul dari udara dan menunduk hormat.
“Selamat, Nona. Ini adalah hadiah dari langit karena Anda telah menembus ke ranah Jenderal Perang tingkat lima.”
Mei memutar tubuh, menatap mansion itu dari atas ke bawah.
“Tapi kenapa bangunannya seperti rumah di masa modern? Tidak seperti gaya dunia ini.”
Mailong tersenyum senang. “Ruang ini menyesuaikan dengan keinginan hati dan memori terdalam pemiliknya. Karena jiwa Nona pernah hidup di masa modern, maka ruang ini berubah mengikuti ingatan dan selera Anda.”
Mei menatap mansion itu dengan perasaan campur aduk. “Jadi ruang ini adalah bayangan dari diriku sendiri.”
Mailong mengangguk pelan. “Benar, Nona. Dan lihatlah kolam spiritual Anda kini menjadi sungai, perkebunan pun semakin meluas. Semua tanaman di sini tumbuh lebih cepat karena energi spiritual meningkat pesat.”
Mei berjalan menyusuri jalan batu menuju mansion itu. Begitu memasuki pintu utama, matanya langsung tertuju pada interior yang mewah dan rapi, lantai marmer putih, lampu kristal, dan aroma lembut dari dupa spiritual memenuhi udara.
Dia membuka satu per satu pintu di sepanjang lorong. Beberapa ruangan adalah kamar tidur, ruang baca, dapur, ruang meditasi. Dan ruang medis milik Mei yang awalnya hanya sebatas ruangan saja, kini bergabung dan ruangan itu ada di dalam mansion.
Mei kembali berjalan, ketika ia membuka sebuah pintu besar di sisi timur, matanya membulat lebar.
“Ini ruang racun?”
Ruangan itu penuh rak tinggi berisi botol dan tabung kaca. Setiap botol diberi label, “Racun Kabut Hitam”, “Tetesan Iblis”, “Serbuk Pelumpuh Jiwa”, dan lainnya. Di sisi kanan, ada pula lemari berisi penawar racun dengan warna-warni lembut.
Mailong mengangguk. “Ruang ini hadiah tambahan dari langit, karena Nona sangat cerdas dan ahli dalam racun. Semua formula racun langka kini bisa Nona pelajari.”
Mei tersenyum puas. “Bagus. Dengan ini, aku bisa menciptakan racun dan penawar sesuai kebutuhanku.”
Ia lalu mengambil beberapa botol, meneliti warnanya, mengamati dengan mata spiritualnya. Jam demi jam berlalu, ia tenggelam dalam eksperimen menguji reaksi racun, mencatat efeknya, hingga akhirnya menyusun beberapa kombinasi baru.
Tba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari arah dunia luar.
Tok!
Tok!
Tok!
Mailong menatapnya, “Nona, sepertinya seseorang memanggil Anda dari luar.”
Mei berdiri dan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. “Baiklah, waktunya kembali.”
Dalam sekejap, tubuhnya menghilang dari ruang ajaib dan muncul kembali di kamar penginapan. Ia melangkah ke pintu dan membukanya.
Di depan pintu berdiri Dao, kakak keduanya, dengan wajah sedikit kelelahan namun tersenyum.
“Mei’er, ayo makan siang. Ibu sudah menunggumu di bawah.”
Mei tersenyum lembut, matanya hangat menatap sang kakak.
“Baik, kak. Aku segera turun.”
Dao mengangguk dan berjalan lebih dulu, lalu Mei mengikuti sang kakak dari belakang.
*
*
Setelah makan siang di salah satu kedai sederhana, Mei, Wei, dan Dao berjalan santai menyusuri jalan utama desa Ki. Udara siang itu terasa panas, terlihat langit cerah.
Desa Ki tampak ramai, banyak pendatang berkumpul di sana. Mereka datang dari berbagai daerah untuk mendaftar ke Akademi Kekaisaran yang akan dibuka lima hari lagi. Di sepanjang jalan, para pedagang menawarkan barang, anak-anak berlarian sambil tertawa riang.
Mei tersenyum lembut. “Rasanya menyenangkan melihat semua orang bahagia begini,” katanya pelan.
Wei menatap sekeliling. “Ya, suasananya jauh lebih hidup dibanding desa Pao.”
Dao mengangguk, menatap sebuah papan besar yang menempel di dekat balai desa. “Lihat, itu pengumuman akademi. Tak heran banyak orang datang lebih awal.”
Mereka terus berjalan, hingga tiba-tiba terdengar suara bentakan keras di ujung jalan.
“Dasar tidak tahu diri! Kau pikir bisa lari dariku, hah?!” teriak seorang pria paruh baya.
Suara cambuk terdengar menyakitkan, membuat orang-orang meringis melihatnya.
Mei menoleh spontan, di depan, tampak kerumunan kecil. Seorang pria lusuh dan berantakan berlutut di tanah, tubuhnya penuh luka dan debu. Seorang wanita paruh baya berdiri di samping pria yang memegang cambuk, wajahnya sinis dan kejam.
Orang-orang hanya menatap, tapi tak ada satu pun yang berani mendekat.
Wei berbisik pelan, “Kasihan sekali pemuda itu.”
Dao mengangguk, namun belum sempat melangkah, mereka terkejut karena Mei tiba-tiba berlari ke arah kerumunan.
“Mei! Tunggu!” seru Wei, tapi adiknya tak berhenti.
Saat cambuk kembali terayun, Mei melangkah cepat dan berdiri di depan pemuda itu. Cambuk itu mengenai bahunya sendiri.
Rasa perih menyengat, tapi ia tidak mundur.
Pria paruh baya itu melotot. “Kau siapa?! Menjauh kalau tidak ingin kena cambuk juga!”
Mei membalikkan badan, menatap tajam pria itu. Matanya dingin dengan suara datar. “Apakah ini cara kalian memperlakukan seseorang?”
Wanita paruh baya di samping pria itu mendengus. “Tidak usah ikut campur, nona kecil. Dia hanya budak yang tidak tahu tempatnya.”
Mei menatap ke arah pemuda yang kini menunduk. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor, tapi matanya menyimpan sesuatu.
Wei dan Dao akhirnya tiba di sisi Mei. Wei berbisik cemas, “Mei, jangan asal terlibat urusan orang lain.”
Namun Mei tetap berdiri tegak, tidak menjawab ucapan sang kakak. “Kalau dia seorang budak,” katanya tenang, “berapa harganya?”
Pasangan suami istri itu saling pandang, kaget dengan pertanyaan itu.
Pria itu menjawab dengan nada menantang, “Dua koin emas.”
Mei membuka kantongnya, mengambil lima koin emas, lalu melemparkannya ke tangan pria itu. “Ambil ini. Lima koin emas, lebih dari cukup. Mulai sekarang, dia bukan budak siapa pun. Dia bebas.”
Suara desisan terdengar dari orang-orang sekitar. Semua memandang Mei dengan heran.
Wanita paruh baya itu menatap uang itu, kemudian tertawa sinis. “Hmph, bodoh sekali. Membayar mahal untuk sampah seperti dia. Semoga kau tidak menyesal nanti.” Tapi ia tetap meraih koin itu dan pergi bersama suaminya.
Begitu mereka menjauh, Mei berjongkok di depan pemuda itu. “Bisakah kamu berdiri?” tanyanya lembut.
Pemuda itu hanya menatapnya lama. Tatapannya tajam tapi juga kosong, seolah tak percaya apa yang baru terjadi. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan.
Mei mengulurkan tangan. “Ayo, sekarang kamu bebas. Tapi sebelum itu, biarkan aku mengobatimu.”
Pemuda itu terdiam sesaat, lalu perlahan menerima uluran tangan Mei. Jemarinya gemetar, namun genggamannya terasa hangat dan nyata.