NovelToon NovelToon
Terpaksa Menikah Dengan Kakak Mantan

Terpaksa Menikah Dengan Kakak Mantan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Pengantin Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:92.2k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Ghina

Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.

Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!

Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.

“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”



Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Calon Dede Bayi

Suasana ruang IGD begitu senyap. Hanya suara detak mesin monitor dan tetesan infus yang terdengar pelan.

Shanum terbaring diam. Matanya mengarah ke langit-langit, tapi pikirannya ke mana-mana. Saat itu, Ervan duduk di samping tempat tidur, masih menatapnya dengan ekspresi cemas. Namun Shanum sama sekali tak menoleh padanya.

“Shanum,” panggil Ervan pelan.

Gadis itu mengerjap, lalu akhirnya menoleh—dengan mata merah dan pandangan dingin yang menusuk.

“Bapak puas sekarang?” Suaranya nyaris bergetar menahan amarah.

Ervan menelan ludah. “Saya—”

“Shanum hampir kehilangan anak, Pak!” bentak Shanum tiba-tiba. “Kalau tadi Shanum keguguran, Bapak cuma akan bilang, ‘Syukurlah selesai juga masalah ini,’ kan?”

“Shanum, jangan begitu ....”

Shanum tertawa miris, lalu menggeleng cepat. “Jangan? Shanum cuma marah karena Shanum hampir kehilangan calon bayi yang bahkan belum sempat Shanum beri nama. Dan itu karena Anda dorong Shanum, Anda bentak Shanum, Anda—”

Ia terdiam sejenak, memejamkan mata, menahan napas. Tubuhnya masih lemah. Tapi emosinya memuncak, tak bisa dibendung lagi.

“Shanum ini manusia, Pak. Shanum bukan boneka yang bisa Anda suruh diam, Anda tarik, Anda hempaskan sesuka hati.”

Ervan tak bisa menjawab. Matanya menunduk, jemarinya mengepal di atas lutut.

Gadis itu menatapnya lekat-lekat. “Bapak pikir Shanum nggak sakit hati saat Anda bilang Shanum nggak boleh dekat pria mana pun, padahal Anda sendiri sudah jelas mengusir Shanum dari hidupmu? Anda lupa isi surat perjanjian yang dibuat? Anda sendiri yang bilang kita bebas, tidak saling mengusik kehidupan masing-masing, tapi mengapa juga Anda kekang Shanum.”

Keheningan menyelimuti mereka. Lalu, suara pintu diketuk perlahan. Seorang perawat masuk dan memberi tahu bahwa dokter kandungan sudah siap untuk pemeriksaan lanjutan.

Beberapa menit kemudian, Ervan membantu mendorong kursi roda Shanum menuju ruang USG. Mereka tidak saling bicara sepanjang jalan.

Di dalam ruangan, lampu diredupkan. Layar monitor menyala, dan suara detak lembut terdengar samar saat alat USG menyentuh perut Shanum yang diolesi gel bening.

“Ini ... calon dede bayinya sudah masuk lima minggu, Mbak. Kantung janin terlihat jelas, dan detak jantung mulai terbentuk,” jelas Dokter Karina dengan senyum tenang.

Shanum menatap layar tanpa berkedip. Matanya basah. Sebentuk bayangan kecil tampak di layar—makhluk mungil yang bahkan belum berbentuk manusia utuh, tapi begitu nyata.

Sementara itu, Ervan berdiri kaku di samping ranjang. Matanya tak bisa lepas dari layar.

Itu ... calon bayi itu.

Bayi yang tumbuh dari tubuh Shanum.

Bayi dari adiknya sendiri.

Dan saat itu, hatinya berdesir. Ada sesuatu yang menohok dadanya. Seolah baru sekarang ia melihat kenyataan yang selama ini ia tolak mentah-mentah.

Teringat kembali ucapan Mama Diba tempo hari: "Kamu ajak dia menggugurkannya. Bayi itu bukan tanggung jawabmu. Kamu masih punya masa depan. Dan, Mama tidak mau memiliki cucu dari anak sopir dan perempuan murahan itu.”

Kata-kata itu kini menggema di kepalanya seperti mimpi buruk.

Ervan menatap layar itu lebih lama. Bayangan kantung janin yang berdenyut lembut itu membuat tenggorokannya tercekat. Bagaimana mungkin seseorang tega ingin menghentikan kehidupan sekecil dan semurni itu?

Dan seketika, tubuhnya bergidik membayangkan: Bagaimana kalau tadi Shanum benar-benar keguguran?

Rasa ngilu menusuk dadanya.

Shanum melirik ke arahnya sejenak. Tatapannya masih dingin, tapi kini ada luka yang lebih dalam terpancar dari sana.

“Bapak lihat?” bisiknya lirih. “Bapak masih mau pura-pura tidak peduli?”

Ervan tak sanggup menjawab.

Di balik topeng ketenangannya, hatinya kini benar-benar kacau.

 “Shanum rela dan sudah menerima tidak dianggap sebagai istri karena memang Shanum yang meminta dinikahi, jadi ... tolong jangan sakiti calon anak Shanum!”

***

Masih di ruang praktik, beberapa saat setelah pemeriksaan selesai ....

Dokter Karina melepas sarung tangan dan menyeka tangannya dengan tenang sebelum berbalik menatap pasangan muda di depannya.

“Saya menyarankan agar Mbak Shanum dirawat inap setidaknya beberapa hari ke depan. Kondisinya belum stabil, dan kami harus memastikan tidak ada kontraksi lanjutan atau ancaman lainnya terhadap janin. Kami akan pasang infus nutrisi dan pantau detak janin tiap beberapa jam,” ucapnya.

Shanum yang masih berbaring di ranjang memejamkan mata, sementara Ervan yang berdiri di sampingnya langsung mengangguk.

“Baik, Dok. Saya setuju," jawabnya cepat, lebih seperti refleks daripada keputusan yang telah dipikirkan matang-matang.

Dokter Karina mencatat sesuatu di berkas medis. “Saya akan minta perawat memindahkan Mbak Shanum ke ruang rawat VIP agar lebih nyaman, sesuai permintaan Bapak. Mohon ditunggu sebentar, Pak.”

***

Tak lama, perawat datang bersama kursi roda, dan dengan hati-hati mereka membawa Shanum ke lantai atas. Ervan berjalan di belakang, diam membisu. Wajahnya kaku, pikirannya penuh gejolak yang tak kunjung reda.

Ruang rawat VIP berada di lantai tujuh. Setelah Shanum dipindahkan ke ranjang yang lebih nyaman dan alat-alat dipasang kembali, perawat keluar, meninggalkan mereka berdua dalam kesunyian. Shanum sudah terlelap, wajahnya lelah, namun lebih tenang setelah pemeriksaan.

Ervan berdiri di dekat jendela, menatap keluar. Langit sore mulai tampak, menyisakan cahaya redup yang menempel di gedung-gedung tinggi Jakarta.

Lalu, suara langkah kaki terdengar dari arah koridor.

“Ervan?”

Ervan menoleh. Suara yang sangat ia kenal itu menggema di ambang pintu.

“Papa,” gumamnya, nyaris tak percaya.

Sosok pria paruh baya itu berdiri di depan pintu kamar, mengenakan jas rapi dengan rambut yang mulai memutih di pelipis. Ekspresinya kaget sekaligus waspada. Ia melangkah masuk beberapa langkah, pandangannya menembus dada Ervan.

“Papa tadi menjenguk rekan bisnis di kamar sebelah. Dan melihat kamu masuk ke ruangan ini. Apa yang terjadi? Shanum kenapa?” tanyanya, suara beratnya terdengar penuh tekanan.

Ervan menelan ludah. Punggungnya menegang.

“Hampir keguguran,” jawabnya lirih.

“Apa?” Wajah Papa Wijatnako langsung berubah. Ia melangkah cepat ke arah Ervan. “Kamu bilang apa barusan?”

“Shanum tadi sempat mengalami nyeri perut hebat, tapi sudah ditangani. Dokter bilang masih bisa diselamatkan,” ucap Ervan, nadanya semakin pelan.

Hening sejenak.

Lalu, suara tamparan keras meletup di udara.

Plak!

Ervan terhuyung ke samping. Sisi wajahnya memerah akibat tamparan telak itu. Ia tidak melawan. Bahkan tidak menatap balik. Hanya menunduk.

“Keparat!” suara Papa Wijatnako bergetar. “Jangan bilang pada Papa ini ada kaitannya dengan permintaan mamamu!”

Ervan menggigit bibir, matanya mulai memerah. Tapi ia tetap diam.

“Kamu pikir Papa tidak tahu? Mama tidak menyukai Shanum! Dan Papa tahu ... Papa tahu, Ervan. Dia memintamu untuk menjauhkan gadis itu. Menggugurkan kandungan itu, ya?” Nada suara Papa Wijatnako semakin naik, nyaris menjadi raungan.

“Papa ... tolong jangan bicara terlalu keras. Shanum sedang—”

“Diam! Jangan sok peduli sekarang!” potong Papa Wijatnako tajam.

Bersambung .... ✍️

1
Reni
ya ealahhh itu tunangan depan mata ngapain lirik2 istri yg lagi kerja takut gait pria lain yg lebih berduit
Reni
Ealah nummm sungguh tunjukin num kamu bisa tanpa mereka
Mulaini
Ervan kenapa ragu untuk pergi makan malam dengan calon istri mu si Meidina dan benar tuh kata Shanum selamat menikmati makan malam.
Devy
good
anggraeni utami
bagus
gemar baca
kan...kan...sakit to hatinya,tapi egonya kegedean sih...
Kusii Yaati
kok aq jadi gregeten sendiri sama Ervan /Angry/
Yati Siauce
bpknya ervan aj baik..kok emak ama bpknya shanum gak baik
hasatsk
Ervan Bimbang pada 2 pilihan apakah tetap bersama shanum di RS atau menepati janji makan malam dengan meidina.....
Rubiyanti
masih ada yg baik pada shanum
Titi Liana
menarik
Ila Lee
akhirnya jatuh juga air mata ku Thor sedih Hami tampa perhatian suami di buang keluarga sendiri😭😭😭😭😭😭
anonim
bagus ceritanya
anonim
pak Wijatnako mau bawa maid ke rumah sakit untuk nemeni Shanum bahaya tidak tuh....jangan sampai maidnya mamanya Ervan yang sudah didoktrin untuk mencelakai Shanum
Suriani Paturusi
lanjuttt....😊
K4RL4
lanjut mommy...😊
K4RL4
papa mertua idaman. msh ad yg sayang sama kamu, shanum.
Wiek Soen
semoga saja shanum selalu mendapatkan perlindungan dari papa wijatnoko
Tuti Chandra
bahagia selalu buat shanum .semoga shanum selalu dlm lindunganya dan dijauh kan dr orang yg niat jahat padanya.
Tuti Chandra
papa mertua yg punya hati yg mulia ngga seperti adiba yg busuk hatinya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!