Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7.
"Selamat datang dan selamat bergabung kami ucapkan kepada dokter Zaliva Andira, semoga kita semua bisa menjadi tim yang selalu solid dan saling menghargai satu sama lain serta senantiasa bekerja dengan setulus hati." Balas salah seorang dokter senior di ruangan IGD, mewakili Tim nakes yang lainnya.
Setelah sesi perkenalan selesai, tim nakes di ruangan tersebut lantas kembali melanjutkan tugas masing-masing, begitu pula dengan Za yang mulai ikut melaksanakan tugas pertamanya, memeriksa seorang pasien yang baru saja tiba di ruangan IGD.
Sejak pagi hingga waktu makan siang tiba, Za masih sibuk memeriksa kondisi pasiennya. Hari ini ruangan IGD cukup ramai dengan kedatangan pasien, dan kebanyakan dari kalangan anak-anak dan ibu hamil yang mengalami ngidam parah sampai harus dilarikan ke ruang IGD.
Zaliva jadi berpikir, mungkinkah nanti ia pun akan merasakan hal yang sama jika mengiyakan syarat dari Mahardika, mengandung seorang anak untuk suaminya itu. Kodrat seorang perempuan memang tak mudah, sebelum melahirkan, menyusui dan merawat anak, terlebih dahulu kita harus merasakan yang namanya mengidam dan tak jarang wanita hamil yang merasakan mengidam kondisinya memprihatikan, contohnya pasien yang baru saja ditangani oleh Za, selama hamil hingga usia kandungannya memasuki Minggu ke delapan ibu hamil tersebut kehilangan selera makan yang cukup signifikan sehingga harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.
Za baru istirahat makan siang pada pukul satu siang, bergantian dengan rekan dokter yang lainnya. Za istirahat makan siang bersama salah seorang perawat yang juga bertugas di ruangan yang sama dengannya.
"Dokter Za mau makan siang dengan menu apa?." Tanya perawat bername tag Hilda tersebut.
"Apa saja sus, yang penting bisa bikin kenyang." balas Za.
Hilda langsung tersenyum mendengar jawaban Zaliva. "Air pun bikin kenyang loh dok." seloroh Hilda.
"Itu sih bukannya bikin kenyang sus, yang ada malah bikin perut kembung." balas Za hingga pada akhirnya keduanya pun tertawa bersama. Hilda hampir seusia dengan Za, hanya saja Hilda belum menikah. Hampir semua rekannya baik dan ramah pada Za, namun dari semua Hilda lah yang paling ramah. Buktinya, baru sehari bergabung di ruangan tersebut Za sudah cukup dekat dengan Hilda.
Tak lama setelah membuat pesanan, ibu kantin tiba guna menyajikan dua mangkuk bakso dihadapan Za dan Hilda. Siang ini kedua wanita itu memilih bakso sebagai menu makan siang mereka.
"Makasih Bu." ucap Za pada ibu kantin yang baru saja menyajikan pesanan di meja.
"Sama-sama, dok." tentunya jas putih yang dikenakan Za memudahkan ibu kantin mengenali profesinya, walaupun baru hari ini ia mulai bekerja.
"Itu pak Dirut RS, namanya Dokter Hendrik Sp. OT. rumah sakit ini milik keluarga beliau makanya di usia muda beliau sudah menjabat sebagai Dirut RS ini." tanpa di tanya, Hilda menjelaskan tentang sosok pria yang melintas bersama beberapa dokter spesialis lainnya, sedang melakukan peninjauan ke setiap ruangan di rumah sakit tersebut, termasuk salah satu bangsal yang tak begitu jauh dari area kantin. kegiatan tersebut rutin dilakukan setiap sebulan sekali oleh dokter Hendrik selaku Dirut RS.
Za hanya mengangguk saja, ia sama sekali tidak berniat mengakui jika faktanya ia mengenal sosok Dirut RS. Za tak mau dianggap bisa bekerja di rumah sakit tersebut hanya karena mengenal sosok Dirut RS atau semacamnya, bukan karena berkompeten.
"Beliau memang ganteng, tapi sayangnya sudah menikah." sambung Hilda dengan wajah dibuat tak bersemangat, hingga Za pun tersenyum melihatnya.
"Tapi masih kalah ganteng sih sama sahabat baik beliau, tuan Mahardika." Bakso di dalam mulut Za nyaris menyembur keluar mendengar Hilda menyebut nama suaminya.
"Minum dulu, dok!." Hilda menyodorkan segelas air dihadapan Zaliva ketika melihat gadis itu tersedak. "Pelan-pelan makannya, dok."
"Maaf."
"Nggak papa, dok....Oh iya, dokter Za tahu nggak, tuan Mahardika itu udah ganteng, berkarisma, mapan pula...Agh....kalau kata anak zaman sekarang sih, pesona tuan Mahardika mampu menggetarkan rahim para wanita."
"Uhuk....uhuk.....uhuk...." Kali ini Za tersedak sampai terbatuk akibat mendengar Hilda terus berceloteh tentang sosok yang sangat dikenalnya.
"Maaf Dok, sepertinya aku terlalu banyak berceloteh." Sadar diri akhirnya Hilda berhenti berceloteh dan lanjut menghabiskan sisa bakso di hadapannya.
"Enggak juga." balas Za setelah batuknya mulai reda. Di bibir Za mengatakan tidak tapi dalam hati gadis itu menggerutu tak jelas. Setampan itukah Mahardika di mata para gadis di luar sana, begitu kira-kira pertanyaan yang terlintas dihati Za kini.
Sore harinya, tepatnya pukul lima sore Mahardika tiba di rumah sakit untuk menjemput Za, namun istrinya itu tak kunjung menghampiri mobilnya hingga Mahardika pun beranjak turun dari mobilnya guna mencari keberadaan Zaliva di dalam gedung rumah sakit. Berdasarkan informasi yang di sampaikan oleh Hendrik pagi tadi, Za di tugaskan di ruang IGD, dengan begitu Mahardika langsung menuju ruangan tersebut.
Sudah beberapa saat berdiri di depan ruangan IGD namun Za tak kunjung keluar dari ruangan tersebut, hingga Mahardika berinisiatif untuk menanyakan keberadaan istrinya itu kepada seorang perawat yang baru saja keluar dari ruangan.
"Permisi..." Mahardika bertanya dengan nada serta wajah datarnya, tetapi yang ditanya sudah nampak tersenyum simpul. Pria yang beberapa jam lalu diceritakan olehnya kini menunjukkan batang hidungnya didepan mata, bagaimana Hilda tak bahagia.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan." Hilda semakin melebarkan senyumnya.
"Apa anda melihat dokter Zaliva Andira?." wanita berpakaian perawat tersebut baru saja keluar dari ruangan IGD pasti perawat tersebut mengenal Za, begitu pikir Mahardika.
"Dokter Zaliva sudah pulang sejak setengah jam yang lalu, tuan."
"Setengah jam yang lalu?."cicit Mahardika.
"Benar tuan." Hilda kembali membenarkan.
Tanpa berpamitan Mahardika segera berlalu dengan langkah lebarnya kembali ke mobil.
"Sebentar....!." gumam Hilda sepeninggal Mahardika. gadis itu seperti menyadari sesuatu. "Apa dokter Za kenal sama si tuan ganteng?." Hilda jadi bertanya-tanya.
Setibanya di rumah Mahardika segera mencari keberadaan Za.
"Za... Zaliva...." seru Mahardika seraya mengayunkan langkah memasuki pintu utama.
"Istri kamu baru saja kembali ke kamar. Lagian kamu ini kenapa sih sampai teriak-teriak begitu?." tegur mama Riri.
Mahardika langsung berlalu menuju kamarnya.
"Ceklek." pintu kamar terbuka. Zaliva yang sedang duduk di sofa kamar sembari memainkan ponselnya langsung menoleh ke arah pintu, di mana saat ini Mahardika tengah berdiri menatap padanya.
Mahardika langsung menghela napas lega melihat keberadaan istrinya, tadinya ia pikir Za ingin kabur lagi darinya.
"Maaf mas, tadi aku pulangnya naik taksi online, terus ponselku keburu kehabisan baterai makanya nggak sempat mengabari mas." beritahu Za ketika menyadari gurat cemas di wajah Mahardika.
Mahardika mengangguk paham dihadapan Za, namun dalam hati berkata lain. "Sabar Dika....! Kau tidak boleh terburu-buru, biarkan sampai istrimu menyerahkan dirinya padamu!." Mahardika tak mau lagi gegabah dalam bertindak hingga akhirnya akan disesalinya nanti.
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...