"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Kecewa Seorang Ibu
Petualangan belanja Marco Ramirez dan kedua buah hatinya berlanjut ke impian setiap anak kecil, toko mainan. Setelah menaklukkan butik pakaian, Marco dengan percaya diri membawa mereka membeli mainan.
Rakael yang paling bersemangat. Begitu kakinya menginjak lantai toko mainan, matanya berbinar terang, seolah baru saja menemukan harta karun bajak laut. Ia berlari kecil dari satu rak ke rak lain, tangan mungilnya menunjuk-nunjuk dengan heboh.
"Wah! Wah! Ini cangat kelen!" seru Rakael sambil memeluk sebuah truk pemadam kebakaran berukuran besar yang dilengkapi sirene dan tangga otomatis. Ia mendongak menatap Marco dengan tatapan memohon yang sulit ditolak.
"Laka mau catu lagi boleh? Laka mau beli tluk ini, tapi kalau nda ada olangnya gimana tluknya bica jalan kan? Maca tluk hantu? Celam dong. Boleh ndaaaa beli cupilnya cekali-kali?" tanya Rakael dengan logika khas anak-anak yang membuat Marco terkekeh.
Marco tersenyum lebar, ia mulai terbiasa dengan bahasa cadel putranya. "Boleh, Son. Ambil apapun yang Laka mau. Mau truknya, supirnya, bahkan orang pemadamnya sekalian, ambil saja."
"Lakael, Lakaeeeel," koreksi Rakael dengan nada protes, seolah Marco baru saja melakukan kesalahan besar dalam penyebutan nama.
Mora yang berdiri di belakang mereka memutar bola matanya malas. "Namanya Rakael dan Vier, Tuan. Bukan Laka," ucap Mora, merasa perlu meluruskan kek0ny0lan itu.
Marco menoleh sekilas, senyum jahil terukir di bibirnya. "Aku tahu, Mora. Aku hanya meledeknya saja. Aku suka melihat pipinya menggembung kalau protes. Yasudah, Rakael, my baby boy ... ambil apapun yang kamu inginkan."
Rakael tersenyum lebar, giginya yang rapi terpampang jelas. "Ciap!" serunya sebelum melesat kembali ke dalam lorong mainan.
Marco tersenyum melihat antusiasme anak itu. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat mainan yang tadi sempat dipegang Rakael, mainan-mainan sederhana yang mungkin selama ini hanya bisa ia impikan dari balik etalase. Hati Marco mencelos. Seharusnya, sebagai penerusnya, Rakael bisa memiliki mainan apapun yang ia mau sejak lahir.
Perhatian Marco kemudian beralih pada putrinya, Vier. Gadis kecil itu berdiri diam di depan rak boneka beruang raksasa. Kening Marco berkerut dalam. Ia pikir Vier sedang memilih boneka mana yang paling lucu. Namun saat ia mendekat, ia menyadari bahwa putrinya hanya memandangi boneka-boneka itu dengan tatapan kosong, sulit diartikan.
Dengan rasa penasaran, Marco menghampirinya dan mengelus lembut rambut hitam Vier.
"Ambil mainan yang Vier suka, Sayang. Jangan ragu," ucap Marco lembut.
Vier menggeleng pelan, matanya tak lepas dari label harga yang tergantung di telinga boneka beruang itu. "Harganya sangat mahal," gumam Vier lirih, seolah sedang meneliti nilai investasi sebuah saham daripada mainan. "Itu sama dengan belanja dapur Nenek selama dua minggu."
Hati Marco tert0h0k. Anak sekecil ini sudah memikirkan beban ekonomi? Ia menghela napas pelan, menahan rasa sesak di d4danya.
"Kamu suka yang ini?" Marco meraih boneka beruang berpita merah muda itu tanpa ragu. Tanpa menunggu jawaban Vier, ia memasukkannya ke dalam troli yang sudah penuh.
Lalu, mata Marco tertuju pada sebuah kotak besar bergambar meja rias anak-anak lengkap dengan cermin dan peralatan make-up mainan.
"Ini bagus untukmu," ucap Marco antusias. "Kamu bisa berdandan seperti putri raja. Bukankah anak perempuan menyukainya?"
Vier menatap kotak itu dengan tatapan ngeri, seolah Marco baru saja menyodorkan kepala monster. "Itu mengerikan," bisiknya.
Marco mel0ng0. "Mengerikan apanya? Ini warna pink, ada glitternya. Cantik, kan?"
Vier menggeleng tegas. Ia tidak tertarik menjadi putri raja yang hanya duduk manis mematut diri di depan cermin. Matanya kemudian beralih ke rak di seberang, tempat kotak-kotak Lego arsitektur tersusun rapi. Mata Vier berbinar saat melihat satu set Lego yang jika disusun akan membentuk Menara Eiffel.
Vier menatap ke arah Mora, meminta persetujuan. Setelah mendapat anggukan kecil dari ibunya, ia menunjuk kotak itu pada Marco.
"Aku mau ini saja ... boleh?"
Marco mendekati mainan yang ditunjuk putrinya. Ia mengambil kotak besar itu, mengamati jumlah kepingannya yang mencapai ribuan pieces. Otaknya berpikir keras.
"Ini bukan mainan anak seusiamu, Vier. Ini level expert. Sangat sulit dan butuh kesabaran ekstra," komentar Marco jujur.
"Mommy akan membantu," ucap Vier cepat, tatapannya penuh harap. "Aku suka menyusun sesuatu."
Marco mengangguk dan tersenyum bangga. Ternyata putrinya mewarisi kecerdasannya dan ketekunannya. "Baiklah. Pilihan yang bagus." Marco meletakkan kembali mainan meja rias mengerikan itu dan menggantinya dengan Lego Menara Eiffel di dalam troli.
Sementara itu, Mora berdiri agak jauh, menatap troli yang sudah menggunung dengan perasaan campur aduk. Ada rasa sedih dan iri yang menyelinap di hatinya. Biasanya, kedua anaknya harus menabung berbulan-bulan hanya untuk membeli satu mainan kecil. Mereka harus menunggu, bersabar, dan seringkali kecewa karena uangnya terpakai untuk kebutuhan mendesak lain.
Bekerja di luar negeri memang memberikannya gaji dolar, namun biaya hidup sebagai single parent dengan dua anak dan satu ibu di kota besar juga tidak main-main. Mora selalu merasa kurang.
"Apa aku sudah gagal menjadi orang tua untuk kedua anakku?" batin Mora perih. "Rasanya, aku gak bisa memberikan kelayakan materi untuk mereka seperti yang dilakukan pria itu dalam waktu satu jam saja."
Air mata mendesak ingin keluar. Mora menghela napas pelan, berusaha menahan emosinya. Ia memilih keluar dari toko mainan itu, meninggalkan tawa bahagia anak-anaknya yang kini terdengar asing di telinganya.
Marco melihat kepergian Mora. Ia memberikan kartu kredit black card-nya pada Jack.
"Bayar semuanya, Jack. Antarkan anak-anak ke mobil setelah selesai," perintah Marco.
"Baik, Tuan."
duh duh aduh bang Toyib kenapa kau tak pulang² 🎤🤣
📣🎤🕺💃