NovelToon NovelToon
Menjadi Ibu Sambung

Menjadi Ibu Sambung

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / Cintamanis / Duda / Ibu Pengganti / Pengasuh / Pernikahan rahasia / Tamat
Popularitas:40.9k
Nilai: 5
Nama Author: CovieVy

Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.

Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.

#cintaromantis #anakrahasia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Sapaan Cinta

Benar kata mereka. Aku tak pantas menjadi apa pun di sini, termasuk istri."

Naila masih duduk di ayunan, memeluk lutut, ia mengawang menatap tanah, tapi pikirannya terus berkelana pada semua yang telah terjadi.

Udara sore mulai dingin, dan langit tampak mulai berubah warna. Tak ada gerakan berarti di sana.

Ia menarik napas panjang, menahan tangis. “Kenapa harus aku sih yang ada di tengah semua ini…”

Tanpa ia sadari, dari balik jendela ruang kerja lantai dua, seseorang tengah berdiri diam. Semenjak kehadiran Naila, ia memilih tidur dan menjadikan itu kamar pribadinya.

Tangannya menyibak sedikit tirai, cukup untuk melihat ke arah halaman belakang. Martin memandangi Naila tanpa suara, tapi sorot matanya tak lagi datar. Ada sesuatu di sana—semacam kegelisahan yang tak bisa ia tunjukkan.

Di sana, dengan jelas tampak bahu Naila sedikit bergetar, bagaimana gadis itu mengusap air matanya dengan lengan panjang baju yang ia kenakan. Bagaimana ia tetap duduk diam di sana, seolah enggan kembali ke dalam rumah.

Martin tak bergerak dari tempatnya. Sekilas, ia terlihat seperti sedang menimbang sesuatu—antara turun menenangkan atau tetap pada prinsip untuk tak terlalu mencampuri urusan masing-masing.

Beberapa menit kemudian, pintu kaca belakang dibuka perlahan. Tapi bukan Martin yang muncul, melainkan Rindu yang baru bangun dari tidur siangnya. Bocah itu menyeret boneka kesayangannya, lalu glingsutan menyandarkan kepala pada paha sang ibu sambung.

“Mama, lagi pain? Kenapa Mama sendili?”

Naila buru-buru tersenyum dan menghapus sisa air mata. “Soalnya anak-anak mama lagi pada bobo. Jadi mama ga punya temen main deh. Udah bangun, ya?”

“Iya. Tadi Lindu mimpi main sama Mama. Mama jangan sedih, lagi ya. Lindu kan uda bangun. Ayo kita main lagi.”

Naila mengangguk dan memeluk bocah itu dengan erat. “Baik lah, tapi gadis kecil Mama mandi dulu ya. Sebentar lagi mau malem."

Dari lantai dua, Martin masih memperhatikan. Kali ini sorot matanya berbeda. Ada sesuatu dalam pelukan itu—ada kehangatan yang sampai di dalam hatinya meski ia sendiri tak terlibat.

Ia akhirnya melepaskan tirai dan duduk kembali di kursinya, membuka buku kerjanya yang tadi sempat terabaikan. Tapi pena di tangannya tak kunjung menulis.

****************

Keesokan pagi, di mana Naila sedang bersiap untuk pergi ke kampus, tampak kedua bocah masih lelap di dalam selimut ranjang indah itu.

Tok

Tok

Tok

Tapi, Naila belum siap dengan kerudungnya. Ketika ia masih melangkah mengejar penutup kepala, pintu itu telah terbuka dan keduanya mematung saling bertatapan.

Naila menyadari bahwa dirinya belum mengenakan hijap pun memegang kepala. "Ah, jilbabku ...." Ia segera menyambar dan menutup kepalanya dengan asal.

Martin mengernyitkan kening melihat reaksi gadis itu. "Kenapa? Apa kamu masih merasa aku tak berhak untuk melihatmu seperti ini?"

Naila baru tersadar dan menutup wajahnya dengan tangan. Ia tertawa geli di balik kerudung. "Ah, maaf, Pak. Aku selalu lupa," ucapnya di balik tawa yang tak bisa dia tahan.

Martin melihat tawa lepas itu dalam diamnya, tanpa ia sadari wajah kaku yang selalu diberikan perlahan mencair dan bibirnya terulas senyum tipis.

"Ya, aku paham," ucapnya kalem.

"Ada apa, Pak?" Naila baru menyadari Martin telah rapi bersiap untuk bekerja.

"Hmmm, apa aku boleh meminta sesuatu?"

Naila memperbaiki dan memasang kerudung dengan rapi. "Meminta apa, Pak?"

"Hmm, apakah tak ada sapaan lain untukku? Bukan kah, aku suamimu? Aku rasa panggilan itu terasa ...."

Naila yang baru saja selesai memasang kerudung memutar kepalanya menatap Martin heran. Perlahan ia mulai memahami apa yang dimaksud Martin.

"Ah, hmmm ... Lalu, Bapak mau dipanggil apa?"

Martin menundukkan wajahnya sejenak, seolah berpikir, lalu menatap Naila dengan sorot mata yang lebih lembut, meski ia masih terlihat kaku.

"Aku tidak tahu," katanya pelan. "Tapi... apa mau memanggilku dengan ‘Mas’? Atau... terserah kamu saja, asal jangan terlalu formal. Karena hubungan kita bukan dalam pekerjaan lagi."

Naila mengerjap bingung, lalu tertawa kecil, kali ini lebih ditahan. "Mas?" ulangnya sambil sedikit memiringkan kepala, mencoba membayangkan bagaimana rasanya memanggil pria ini dengan sapaan yang cukup asing di lidahnya.

"Kenapa? Terdengar aneh, ya?" Martin ikut menanggapi, dengan senyum tipis di wajah kakunya.

"Nggak aneh sih, cuma... aku tak terbiasa. Tapi, baiklah... Mas."

Martin mengangguk sekali, lalu membalikkan badan hendak pergi, ia kembali memutar badan teringat tujuan utamanya mencari Naila.

"Apa kamu mau kuantar ke kampus. Sekalian aku akan berangkat ke klinik."

Naila yang sedang merapikan ujung kerudungnya kembali menoleh. Tatapannya sempat memantul ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan sepuluh menit lagi sebelum busway yang biasanya ia naiki menuju kampus.

"Ah, nggak usah repot-repot, Pak—eh, Mas. Aku bisa naik busway seperti biasa, kok."

Martin mengangkat alis. "Busway biasanya tidak berhenti tepat waktu, kan? Lagi pula, aku rindu dengan kampus itu. Sudah lama aku tak ke sana semenjak menyelesaikan spesialis kandungan. Lagian, anggap saja ini... sebagai proses penyesuaian..."

“Penyesuaian?” Naila mengerutkan dahi, separuh ingin tertawa.

“Iya. Penyesuaian biar kita tak canggung lagi... Aku rasa, kita perlu belajar saling mengenal rutinitas masing-masing.”

'Wah, apa ini tak berbahaya ya?' Naila berkecamuk dalam dada, tidak setuju dengan usul Martin.

"Ah, kamu tak perlu berlaku selayaknya istri di luar sana. Kamu boleh tetap jadi dirimu sendiri. Aku pun tak akan berlaku seperti suami pada umumnya kepadamu. Jadi, kamu jangan khawatir karena aku telah berjanji padam."

Naila kembali terkekeh saat Martin seolah membaca kekhawatirannya. “Baiklah, Mas,” ucapnya akhirnya, kembali menahan senyum.

Martin sedikit mengangguk, lalu melangkah meninggalkan kamar. Tapi sebelum benar-benar menghilang, ia sempat menoleh kembali. “Ayo sarapan dulu, setelah itu aku antar."

****************

Di dalam mobil, Naila duduk diam sambil menatap jendela. Martin mengemudi dengan tenang, sesekali menjelaskan lokasi-lokasi penting yang dulu selalu ia datangi. Akan tetapi lebih banyak hening berteman rasa canggung setiap Martin menggeser persneling.

Saat mobil berhenti di depan gedung perkuliahan, Naila membuka pintu perlahan.

“Mas, terima kasih udah nganter,” ucapnya, sambil menatap ke arahnya. Ia tak tahu bagaimana caranya.

Namun, akhirnya ia memberanikan diri mengulurkan tangan. Tentu saja membuat Martin menatapnya dengan heran.

"Tadi malam, aku membaca kiat menjadi istri soleha. Hmmm, ada satu yang bisa kulakukan mulai hari ini," ucapnya dengan rona merah di pipinya.

Martin tersenyum memahami maksud yang diucapkan Naila. Dan ia menyambut uluran tangan Naila. Wajah Naila semakin semu menahan malu yang tiba-tiba muncul. Untuk pertama kali ia mencium tangan suaminya meski bagai robot yang tak bisa bergerak dengan leluasa.

Tanpa ia tahu, Martin pun mengulas senyuman dan satu tangannya seakan refleks ingin mengusap kepala Naila. Tapi, tangan itu hanya mengusap angin karena Naila keburu mengangkat kepala dan melepas genggaman tangannya.

"Aku kuliah dulu, Mas." Naila dengan cepat hendak menutup pintu.

“Naila.”

“Iya, Mas?”

Martin menatap lurus tepat ke dua netra gadis muda yang kini jadi wanita halalnya. Beberapa waktu pun kembali berlalu tanpa suara karena Martin belum juga mengatakan satu patah kata pun.

"Apa, Mas?"

"Ee-hmmm ... Tidak jadi. Nanti kamu hati-hati di kampus."

Naila membalas dengan anggukan cepat dan senyuman canggung, kali ini benar-benar menutup pintu. Naila memutar tubuh menepuk kedua pipinya. Tanpa ia ketahui, Martin telah menurunkan kaca jendela.

"Aduh, aku kenapa ya? Kok rasanya panas begini ya?" Ia mengipasi diri dengan jemari di kedua tangannya.

"Hayolooooh, kamu kenapa, Nai? Siapa yang nganter kamu? Kok lama kali nutup pintunya?"

1
MomyWa
waaahh, udah tamat aja thor? pdhl pnasaran sm marvel dan azwa
MomyWa
nyeselnya setelah naila terlihat cantik 🤣
MomyWa
cemburu nih yeee
FieAme
semangat selalu thor. gpp gagal..gagal itu awal dari keberhasilan.ssmangat selalu untuk berkarya
Safira Aurora
semangat ya thor. semoga membawa rezeki cerita yang baru.
Eva Karmita
semangat otor semoga di karya yg baru bisa menghasilkan rejeki yang berlimpah aamiin 🤲🤲
Syahril Maiza
semangat terus untuk berkarya yah
Syahril Maiza
semoga karya author berikutnya bisa menghasilkan thor
Cookies
menarik ceritanya
SoVay: terima kasih kakak, sudab bantu rate cerita kami 🙏
total 1 replies
Syahril Maiza
aroma penyelesaian paksa thor
Syahril Maiza
walaaaahh, udah jualan mereka
Syahril Maiza
kok bingung /Facepalm/
Syahril Maiza
akhirnya Naila pulang kampung
Syahril Maiza
tone ceritanya kayaknya dipercepat ya
Syahril Maiza
Alhamdulillah, turut lega
Syahril Maiza
semangat semua tim medis
Syahril Maiza
duh, kasihan sekali 😭
arielskys
aku turut berduka thor, emang regulasi ini kabarnya bikin banyak author gugur. semangat ya. semogayang berikut bisa mendapat rezeki
arielskys
lah? tamat aja thor? waalaaaaaahhhh
arielskys
enak kali kalau suami punya segala
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!