Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 ACICD - In The Middle of The Night with Adriel
Ruby sudah berada di kontrakannya. Wanita itu mengenakan pakaian tidur, lalu mengambil botol kecil dari nakas. Dengan gerakan tenang, dia mengetuk dua pil khusus ke telapak tangannya, obat yang selalu dia minum tiap malam, pemberian ibu angkatnya. Tanpa ragu, Ruby menelannya dengan satu teguk air, menutup botol, lalu berjalan pelan menuju ranjang.
Kasur berkeresut ketika Ruby naik. Dia menarik selimut sampai ke dada, lututnya ditekuk tinggi dan dirapatkan. Tangannya terlipat, memeluk tubuhnya sendiri. Kepala Ruby bersandar ke dinding di belakang tempat tidur, pandangannya menerawang.
Malam seharusnya sunyi dan tenang, tapi pikirannya tidak.
Kenapa… wajah Adriel terus muncul?
Pria itu seseorang yang seharusnya tidak berarti apa-apa di hidup Ruby. Namun setiap Ruby memejamkan mata, dia kembali melihat tatapan mata CEO narsis dan nyebelin itu. Dingin, tajam dan entah kenapa… membuat hati kecilnya bergetar.
"Ruby kenapa kamu malah mikirin dia lagi," gumamnya lirih, bibirnya mengeras. Wanita cantik itu memejamkan mata lebih kuat, mencoba menenggelamkan bayangan Adriel. Tapi semakin dia menolak, semakin jelas sosok pria itu muncul.
Dia bahkan teringat ketika wajah mereka berdekatan dan bibir mereka hampir menyatu.
Ah. Menyebalkan!
Ruby tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
Dia lalu menurunkan diri untuk berbaring sambil menarik selimut menutupi wajahnya, seolah bisa mengurung perasaan yang tak seharusnya tumbuh di dalam seorang assassin seperti dirinya.
Tapi, kenapa Adriel justru menjadi satu-satunya yang tidak bisa dia hilangkan dari kepalanya…?
"Aaahhhhhh!!!"
"Sadar Ruby!"
"Dia nyebut kamu wanita penggoda!"
***
Di kamar utama apartemen yang luas namun terasa sunyi, hanya remang lampu samping yang menyinari siluet tubuh seorang pria. Ya, itu Adriel. Dia mengenakan kaos hitam pas badan yang menempel di garis otot bahunya dan celana panjang santai warna abu gelap.
Dia berdiri diam dengan napas berat. Tatapannya terpaku pada lukisan besar yang menggantung di dinding seberang tempat tidur. Potret Drasha mendiang istrinya.
Cahaya hangat dari lampu menyorot wajah Adriel yang tegas, membuat bayangan rahang dan lehernya tampak semakin kuat. Namun matanya… berbeda.
Ada rindu yang dia simpan rapat-rapat. Ada penyesalan yang tidak pernah dia bagi dengan siapa pun.
"Drasha…"
Jari-jarinya terangkat sedikit di samping tubuh, seolah hendak menyentuh permukaan lukisan itu.
"I miss you…" Bola mata Adriel berkaca-kaca saat mengucapkannya.
Dia kemudian menghela napas tipis dan menunduk.
Lantas bayangan wajah Ruby Rose yang sangat mirip dengan Drasha melintas di pikiran Adriel. Tidak cuma itu, bayangan ketika wajah mereka hanya berjarak beberapa inci dan bibir mereka yang hampir merapat terbingkai di kepalanya.
Sial.
Adriel menggertakkan gigi sembari kepalan tangannya membentuk tinju yang erat. Dia benci pikirannya yang dikuasai oleh Ruby Rose.
Adriel sudah mengikrarkan janji bahwa dia hanya akan mencintai Drasha seorang.
"Adriel… fokus…" gumamnya dengan napas berat. Dia mengangkat pandangannya, kembali menatap potret Drasha.
"Petunjuk baru mengenai penembakan Drasha sudah ada, fokus… fokus… Adriel."
"Ruby Rose… dia hanya wanita licik yang berusaha menggoda kamu," ucap Adriel tegas pada dirinya sendiri.
***
Pukul 2 AM.
Bel pintu kontrakan berbunyi. Dentingannya tidak berhenti.
Ruby membuka matanya pelan dan mengangkat tubuhnya malas, lalu turun dari kasur. Dia mengenakan sandal rumah, lalu melangkah sambil meraih cardigan tipis.
Bel berbunyi lebih mendesak.
Siapa yang datang malam-malam begini?
Ruby menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian, lalu membuka pintu sedikit demi sedikit.
Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung menegang. Di sana, di bawah lampu lorong yang temaram, berdiri seorang CEO dengan setelan masih rapi meski wajahnya jelas menunjukkan dia tidak datang untuk urusan kantor. Itu Adriel.
"I miss you…" kata pria tersebut.
Sebelum Ruby sempat mengeluarkan satu kata, Adriel melangkah masuk, menutup pintu dengan satu tangan. Dalam gerakan cepat yang membuat Ruby terperanjat ke dinding, Adriel meraup bibirnya.
Ruby terpaku beberapa detik, antara terkejut, bingung dan tidak tahu apakah dia harus mendorongnya atau menarik napas dulu untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Tidak. Dia sudah cukup dewasa untuk memahami kalau bibirnya sedang digerayangi oleh pria itu.
Bibir Adriel begitu agresif mengisap, memaksa bibir Ruby terbuka sehingga lidah pria itu bisa menyusup ke dalam.
"Emphht…"
Ruby merasakan sekujur tubuhnya bergetar aneh, menjalar dari ujung kaki sampai tengkuknya. Dia menutup matanya dan membalas lumatan bibir Adriel.
Ini pertama kalinya bagi Ruby tapi dia seakan sudah pro melakukan hal ini hanya dalam beberapa detik. Dia mengalunkan tangan ke tengkuk Adriel. Sementara pria itu menarik pinggangnya merapat sampai tubuh mereka tidak ada jaraknya lagi.
Suara decakan memenuhi ruangan, napas berat mereka bercampur. Debaran jantung mereka saling menyahut.
Tangan Ruby perlahan turun membuka kancing jas, lalu menanggalkannya ke lantai. Tidak berhenti di situ, Dia melonggarkan dasi Adriel dan menariknya lepas.
Adriel tidak tinggal diam, tangannya juga meraih cardigan tipis Ruby dan membuangnya sembarangan, menyisakan tanktop tali spageti di tubuh wanita itu.
Bermenit-menit kemudian, Adriel mengangkat kedua paha Ruby untuk menggendong tubuh yang seolah tak ada bobotnya itu. Lantas, Adriel berjalan pelan menuju sofa di tengah ruangan. Ciuman mereka tidak berhenti, bibir mereka terus saling memagut.
Ruby bingung. Dia benci Adriel tapi tubuhnya tidak bisa menolak semua sentuhan pria itu.
Dia bahkan tidak mencoba menghindar ketika Adriel membaringkannya di sofa dan dikunkung oleh pria itu.
Bibir mereka terpisah sejenak. Saling memandang dengan tatapan penuh gairah.
Ruby mengangkat tangannya menyentuh rahang tegas Adriel, ibu jarinya mengusap lembut di sana.
Selanjutnya, Adriel menurunkan wajahnya untuk meraih bibir Ruby lagi. Dilumatnya benda mungil itu dengan ganas sampai membuat Ruby mendesah tipis.
Tangan Ruby kemudian berpindah ke back Adriel yang lebar. Meski dilapisi kemeja, Ruby masih bisa merasakan lekukan-lekukan otot yang terbentuk indah di sana.
Sembari bibir mereka berpagutan, tangan Adriel menyingkap tanktop Ruby sampai leher, memperlihatkan tonjolan kembar yang terpampang indah dengan pucuk merah muda segar di sana.
"Ahh…" Ruby mendongak dengan mata terpejam begitu merasakan salah satu boba kembarnya dipijat lembut oleh tangan besar Adriel. Dan satunya lagi dilahap oleh pria itu.
Astaga. Apa ini?
Ruby benci Adriel. Dia benci CEO narsis dan nyebelin yang menyebutnya wanita penggoda ini. Tetapi, Ruby begitu menikmatinya, setiap sentuhan Adriel.
"I miss you…" Lagi-lagi Adriel menyebut kalimat rindu tersebut.
Ruby bingung, tapi perasaan itu lebih didominasi oleh getaran dahsyat di sekujur tubuhnya. Dia mendesah begitu merasakan tangan Adriel menyelinap masuk ke dalam benda segitiganya, menyentuh area inti tubuh wanita itu.
Ruby menggigit bibirnya untuk menahan suara jeritan tipis yang mau lolos karena jari-jari tangan Adriel di bawah sana menggosok dengan cara yang tidak bisa Ruby jelaskan dengan seuntai kata apapun.
"Ahhh…"
"Engh…"
Dan –
TRRRT!!!
TRRRT!!!
TRRRT!!!
Alarm meraung tanpa belas kasih, memotong momen panas keduanya seperti gunting merobek kertas.
Ruby mengerjap bingung. Kenapa alarm bunyi dini hari begini? pikirnya linglung.
Dia menoleh ke arah sumber suara.
Lalu –
Brukk!!!
Tubuhnya langsung terguling dan jatuh dari kasur.
"Argh!"
Punggung Ruby menghantam lantai dingin, sedangkan alarm di atas nakas masih berteriak seperti tidak punya hati. Cahaya matahari menembus sela-sela tirai, menampar kenyataan ke wajah Ruby.
"Astaga…" napasnya terputus, wajahnya panas. "Kenapa aku mimpi kayak gitu!"
Dengan cepat Ruby bangkit, menyambar hape di atas nakas dan menekan tombol hingga suara alarm berhenti.
Detik berikutnya, Ruby membelalak melihat jam.
"NOOOOO! AKU TELAT!"
Tidak pernah sekalipun dalam hidup Ruby dia mengalami yang namanya terlambat. Sebagai assassin, dia sudah terlatih sejak remaja untuk disiplin. Tapi karena … mimpi itu. Tidak! Ruby tidak mau mengingatnya!