Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#29
[Hari Keberangkatan]
Pagi itu udara masih sejuk, embun menempel di dedaunan, dan sinar matahari menembus lembut tirai jendela rumah keluarga Pak Ali. Suasana rumah cukup ramai, Bu Diah tampak sibuk menyiapkan sarapan sederhana, sementara Pak Ali sudah rapi dengan pakaian sederhananya yang biasa ia kenakan sehari-hari untuk menjaga toko.
Di dalam kamarnya, Naysila berdiri di depan cermin. Tangannya gemetar saat merapikan jilbab yang membingkai wajahnya. Hatinya diliputi perasaan campur aduk, antara cemas, gugup, dan sedikit berdebar karena tahu pagi ini Alden akan menjemputnya.
"Bismillah…" bisiknya pelan sambil menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Semoga perjalanan kami lancar dan gak akan terjadi hal-hal buruk antara aku dan Mas Alden. Jangan sampai momen pesta Aura jadi kacau gara-gara kami. Aku harus belajar gak egois kalau di tempat orang."
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu kamarnya terdengar. Suara Bu Diah menyusul memanggil, "Nay, sudah siap, Nak? Al sebentar lagi datang. Jangan sampai dia menunggu terlalu lama."
"Iya, Bu… sebentar lagi."
Naysila gegas merapikan penampilannya sekali lagi, memastikan penampilannya sempurna walaupun sederhana.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar berhenti di depan pagar rumah. Naysila spontan menoleh ke arah jendela. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat sosok Alden keluar dari mobil dengan kemeja hitam dan celana hitam. Wajahnya terlihat tegas namun menyimpan kelelahan.
"Nay, ayo keluar! Jangan buat dia menunggu!" ucap Pak Ali dari ruang tamu.
"Iya, Pak!"
Dengan langkah pelan, Naysila keluar membawa koper kecil. Ia diantar oleh kedua orang tuanya keluar dari rumah.
Alden yang sejak tadi berdiri di depan pagar menoleh ketika pintu rumah terbuka dan Naysila keluar bersama orang tuanya. Tatapan mereka bertemu sepersekian detik, hanya sebentar, namun cukup membuat keduanya salah tingkah.
Naysila dan orang tuanya datang menghampiri Alden, wanita itu langsung menunduk menghindari tatapan mata suaminya.
"Assalamu’alaikum," sapa Alden sopan sembari menyalami kedua mertuanya dengan takzim.
"Wa’alaikumussalam," jawab Pak Ali, kemudian menepuk bahu Alden. "Jaga anak Bapak baik-baik, Al. Dia sudah mau pergi ikut denganmu, tolong jangan buat dia sedih selama jauh dari kami."
Alden mengangguk, wajahnya menegang namun matanya berbinar. "Insya Allah, Pak. Saya pastikan Naysila gak akan sedih selama bersama saya, meskipun itu artinya saya harus menjauh."
Mendengar itu, Naysila menelan ludah susah payah. Kata-kata Alden seolah menegaskan bahwa dirinya siap menjauh demi membuat Naysila bahagia.
"Bapak percaya padamu, Nak."
"Terima kasih sudah mengizinkan Naysila pergi bersama kami, Pak," ucap Alden.
"Sama-sama," jawab Pak Ali. "Selama dia masih istrimu, kami tidak memiliki hak untuk melarangnya."
Bu Diah tersenyum lembut pada Naysila yang sejak tadi menunduk. Ia lalu berbisik pelan di telinganya, "Ingat pesan Ibu, Nak. Jangan terlalu keras pada hatimu sendiri. Biarkan semuanya mengalir secara alami. Jangan pula terlalu keras padanya, karena dia berhak mendapatkan kesempatan kedua."
Naysila hanya mengangguk tanpa suara, lalu melangkah bersama koper kecilnya. Alden segera sigap mengambil koper itu dari tangannya. "Biar aku bawa," katanya singkat.
Naysila dan Alden pun pamitan pada Bu Diah dan Pak Ali. Mereka berjalan menuju mobil diiringi keheningan yang aneh. Sesekali, Alden mencuri pandang ke arah Naysila yang berjalan di sampingnya. Wajahnya yang teduh membuat Alden semakin sulit menahan perasaan yang bergejolak.
Setelah koper dimasukkan ke bagasi, Alden membuka pintu mobil. "Silakan, Nay."
Naysila masuk perlahan, tanpa banyak bicara dan duduk di kursi samping kemudi. Alden menutup pintu dengan hati-hati, lalu berjalan ke sisi pengemudi. Ia masuk dan duduk bersebelahan dengan istrinya. Rasa canggung pun mulai terasa memenuhi ruangan sempit itu.
Saat mesin mobil dinyalakan, keduanya terjebak dalam diam. Hanya suara radio yang pelan terdengar sebagai pengisi ruang kosong. Namun di balik diam itu, hati mereka sama-sama gaduh.
Perjalanan ke bandara baru saja dimulai, dan perjalanan mereka berdua pun, mungkin, akan menemukan jalannya kembali.
Mobil melaju pelan meninggalkan halaman rumah keluarga Pak Ali. Jalanan pagi itu cukup lengang, hanya sesekali terdengar deru kendaraan lain yang melintas.
Di dalam mobil, suasana terasa begitu kaku. Alden fokus menatap jalanan di depannya, kedua tangannya menggenggam erat kemudi. Sesekali ia melirik kaca spion, memastikan perjalanan tetap aman. Sementara itu, Naysila duduk diam di kursinya, menatap keluar jendela dengan wajah tenang, meski hatinya berdebar keras.
Beberapa kali Alden ingin membuka suara, sekadar menanyakan hal-hal ringan, apakah Naysila sudah sarapan, atau apakah ia nyaman dengan perjalanan ini. Namun setiap kali bibirnya terbuka, kata-kata itu urung keluar. Seakan ada dinding tak kasat mata yang menahan.
Begitu pula dengan Naysila. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu, meski hanya "terima kasih" karena Alden sudah menjemputnya. Tapi lidahnya kelu, gengsinya masih terlalu tinggi. Yang ia lakukan hanyalah menghela napas perlahan, lalu kembali menatap pemandangan luar jendela.
Radio mobil masih menyala, memutar lagu-lagu mellow yang justru semakin menambah rasa canggung. Tak ada yang berani menurunkannya, tak ada pula yang menambah volume. Semuanya dibiarkan begitu saja, seakan menjadi pengisi ruang hampa di antara mereka.
Waktu seakan berjalan lambat. Setiap detik dalam perjalanan terasa panjang. Sesekali tatapan mereka nyaris bertemu lewat pantulan kaca, namun buru-buru dialihkan.
*
[Bandara – Pagi Hari]
Mobil yang dikendarai Alden akhirnya berhenti di depan area drop-off bandara. Ia mematikan mesin, lalu menoleh sebentar ke arah Naysila. Namun, lagi-lagi tidak ada kata yang keluar. Hanya tatapan sekilas, cepat, sebelum akhirnya ia segera turun dan berjalan ke bagasi untuk mengambil koper.
Naysila menyusul keluar. Udara pagi bercampur hiruk pikuk suara roda koper, pengumuman dari pengeras suara, serta orang-orang yang lalu-lalang membuat suasana begitu ramai. Namun di antara keramaian itu, Naysila justru merasa semakin canggung.
"Al… Nay…" terdengar suara lembut memanggil.
Naysila menoleh, dan mendapati Bu Tamara serta Pak Haldy sudah berdiri menunggu mereka tidak jauh dari pintu masuk terminal. Keduanya tampak rapi, senyum hangat terukir di wajah mereka.
Mereka memang berangkat lebih dulu dengan mobil Pak Haldy, sehingga sudah sampai lebih awal di bandara.
Bu Tamara melambaikan tangan, wajahnya sumringah melihat keduanya datang bersama. "Syukurlah, kalian sampai juga. Ayo ke sini."
Alden menarik koper Naysila mendekat, sementara Naysila berjalan di sampingnya dengan langkah pelan. Tatapan orang tuanya sempat membuat pipinya memanas, seolah ada harapan yang tersirat dari sorot mata mereka.
Sesampainya di depan mereka, Naysila mencium punggung tangan keduanya dengan penuh hormat.
Bu Tamara langsung memeluk Naysila dengan penuh antusias. "Nay, terima kasih ya sudah mau ikut. Ibu benar-benar senang."
Naysila menunduk sedikit, mencoba tersenyum walau canggung. "Iya, Bu…" jawabnya lirih.
Pak Haldy menepuk bahu Alden, tatapannya penuh arti. "Bagus. Sekarang kita sama-sama menuju ruang tunggu. Tiket sudah Ayah urus."
Alden mengangguk, "Baik, Yah."
Mereka pun melangkah masuk ke dalam bandara. Alden berjalan di depan sambil menarik koper, sementara Naysila berjalan di samping Bu Tamara yang sesekali menggenggam tangannya, seolah memberi kekuatan dan menunjukkan bahwa dirinya sangat menyayangi wanita itu.
Di sisi lain, Pak Haldy menatap punggung putranya. Dalam hati ia berharap perjalanan ke Medan ini tidak hanya sekadar menghadiri pesta keluarga, melainkan juga menjadi awal baru bagi Alden dan Naysila.
*
[Di Dalam Pesawat]
Suasana kabin pagi itu cukup ramai. Para penumpang sibuk menata barang bawaan dan mencari tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiket. Alden berjalan lebih dulu, memimpin dengan tiket di tangan, sementara Naysila mengikutinya dengan langkah hati-hati.
"Di sini, Nay," ucap Alden pelan sambil menunjuk dua kursi bersebelahan di dekat jendela.
Naysila mengangguk singkat. Alden membantu mengangkat tas tangan kecilnya ke bagasi kabin, kemudian duduk di kursi bagian lorong, membiarkan Naysila menempati kursi dekat jendela.
Tak lama, Bu Tamara dan Pak Haldy menyusul, tempat duduk mereka tepat di belakang Alden dan Naysila. Begitu melihat anak dan menantunya duduk berdampingan, keduanya saling bertukar senyum penuh arti. Bu Tamara bahkan sempat berbisik pada suaminya, "Mudah-mudahan perjalanan ini jadi awal yang baik, Yah."
Pak Haldy hanya mengangguk, senyumnya tipis namun penuh harapan.
"Sepertinya, kita harus menjadikan momen ini untuk menjalankan misi kita, Yah," ujar Bu Tamara setengah berbisik.
"Misi apa, Bu?" tanya Pak Haldy, tampak bingung.
Bu Tamara mendekatkan mulutnya ke telinga sang suami dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia bisikkan, tapi Pak Haldy perlahan tersenyum lalu mengangguk seolah setuju dengan rencana istrinya.
Sementara itu, di kursi mereka, Alden dan Naysila kembali terjebak dalam diam. Suara pramugari yang memberikan instruksi keselamatan hanya menjadi latar belakang.
Naysila berusaha menatap lurus ke depan, tapi sesekali matanya melirik ke jendela, mengalihkan perhatian pada pemandangan luar. Alden, di sisi lain, meremas ujung celananya dengan gugup. Ia ingin membuka percakapan, tapi kata-kata seperti terkunci di tenggorokan.
Pesawat mulai bergerak menuju landasan. Getaran halus terasa di kursi, membuat Naysila tanpa sadar menggenggam erat pegangan kursi. Alden yang memperhatikan refleks itu hampir saja menawarkan tangannya untuk digenggam, tapi buru-buru mengurungkan niatnya. Ia hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap lurus ke depan.
Saat pesawat lepas landas, tubuh Naysila sedikit menegang. Alden melirik sekali lagi, kali ini lebih lama, wajahnya menyimpan kekhawatiran. Ingin rasanya ia berkata, "Tenang, aku di sini." Namun yang keluar hanya helaan napas pelan.
Dari belakang, Bu Tamara memperhatikan diam-diam. Ia menggenggam tangan Pak Haldy, seolah menyampaikan rasa lega karena anaknya dan Naysila setidaknya sudah kembali duduk bersebelahan, meski masih dalam kebisuan.
Bagi Alden dan Naysila, perjalanan udara itu terasa seperti cermin perjalanan hati mereka: sunyi, penuh jarak, tapi entah kenapa masih ada rasa enggan benar-benar melepaskan.
Beberapa menit setelah pesawat lepas landas, kabin mulai stabil. Pramugari melintas menawarkan minuman ringan, namun Naysila menolak halus, hanya meminta air putih. Alden pun sama, lebih memilih diam sambil menatap layar kecil di hadapannya.
"Mas," ucap Nasyila akhirnya.
Alden spontan menoleh. "Ya?"
"Aku minta maaf."
"Untuk apa?"
"Untuk sikapku belakang ini," jawab Naysila. "Aku minta maaf karena mengembalikan uang itu. Aku sama sekali nggak bermaksud membuat kamu kecewa atau berpikiran buruk."
Alden tidak menjawab. Ia diam beberapa saat, hanya menganggukkan kepalanya seolah menjawab, "Tak apa".
"Aku benar-benar merasa bersalah karena apa yang aku lakukan itu," ujar Naysila penuh sesal. "Sekali lagi, aku minta maaf."
Alden menghela napas panjang. "Sudahlah, gak apa-apa. Semua sudah terjadi. Aku mengerti sepenuhnya kenapa kamu lakukan itu. Aku gak akan mengeluhkan apapun lagi, kamu berhak melakukan apapun yang kamu mau untuk balas dendam padaku."
Naysila menatap suaminya sebentar dan kembali menatap ke luar jendela. Jawaban Alden cukup menusuk hatinya. Alden tampaknya benar-benar kecewa atas apa yang telah ia lakukan waktu itu.
Suasana hening kembali melingkupi kursi mereka. Hanya deru mesin dan bisik-bisik kecil penumpang lain yang terdengar.
Alden menyandarkan punggungnya, matanya fokus ke depan. Ia bahkan tidak mau memulai obrolan lagi, yang menurutnya hanya terus berputar di topik yang sama.
Begitu juga dengan Naysila, ia tidak mau berbicara lagi dengan suaminya karena selalu saja berakhir dengan saling diam.
Beberapa saat kemudian...
Naysila mulai merasa kantuk menyerang, matanya terasa berat. Ia bahkan menguap dengan tangan menutupi mulut. Ia mencoba menahan rasa kantuk itu, namun rasa lelah sejak pagi membuat matanya perlahan terpejam.
Kepalanya terangguk kecil, lalu miring ke satu sisi. Alden yang menyadarinya sempat ragu sejenak, sebelum akhirnya ia dengan hati-hati menyentuh lengan Naysila.
"Nay…" bisiknya pelan, berniat membangunkan. Namun wanita itu sudah terlelap, wajahnya terlihat begitu damai.
Alden menarik napas panjang, lalu tanpa banyak pikir, ia menggeser sedikit tubuhnya lebih mendekat dan membiarkan kepala Naysila bersandar di bahunya. Tangannya spontan meraih tangan Naysila yang berada di atas pegangan kursi lalu menggenggamnya.
Hangat, lembut dan tenang. Begitulah yang Alden rasakan dari genggaman tangannya pada Naysila.
Sejenak ia menatap wajah Naysila dari dekat. Ada perasaan hangat yang mengalir, perasaan yang sempat lama ia tekan. Hatinya bergetar, mengingat semua kenangan dan kesalahan yang pernah ia lakukan.
Alden menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, dan duduk tenang tanpa mau melepaskan genggaman tangannya dari tangan Nasyila.
Dari kursi belakang, Bu Tamara yang melihat pemandangan itu tersenyum penuh arti, lalu menunduk berbisik ke suaminya. "Lihat, Yah. Mereka hanya butuh waktu… hati mereka masih saling mencari."
Pak Haldy melirik sebentar, lalu tersenyum tipis. "Semoga begitu, Bu."
Pesawat melaju stabil di ketinggian ribuan kaki di atas permukaan laut. Dari jendela, awan putih berarak bagaikan kapas raksasa yang bergulung di bawah cahaya matahari. Sesekali, guncangan ringan terasa ketika pesawat melewati kantung udara, membuat sebagian penumpang menegakkan duduknya.
Namun di kursi nomor mereka, suasana terasa berbeda. Kepala Naysila masih bersandar di bahu Alden, bibirnya terkatup rapat dengan napas teratur tanda lelap. Tangan halusnya masih digenggam erat oleh Alden. Pria itu menatap lurus ke depan, seolah tak ingin bergerak sedikit pun agar tidak mengganggu tidurnya.
Di balik ketenangan wajahnya, dada Alden justru dipenuhi riuh. Setiap detik genggaman itu membuatnya semakin sadar, betapa dirinya masih menginginkan wanita ini di sisinya.
Pramugari yang lewat untuk menawarkan minuman sempat menoleh dan tersenyum tipis melihat mereka. Alden hanya menggeleng pelan, menolak dengan halus, agar tidak mengganggu Naysila.
"Tidurlah yang nyenyak, Nay... Aku akan menjagamu."
*****