Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MJW 9 Kenangan dalam kenangan
Luna seakan terhipnotis. Dia menerima uluran coklat itu. Rasanya masih sama.
"Ini coklat yang dulu pernah kamu kasih ke aku?" tanya Luna setelah menelannya.
"Kamu masih ingat?" senyum Hasan sambil membuka bungkus coklat yang kedua. Dalam hati bersyukur karena uminya memintanya membawakan coklat untuknya.
Luna tersenyum.
"Tentu saja ingat." Luna menjawab dengan nada datar, tidak mau ketahuan dia sedang memendam kesal yang amat sangat. Setahun yang lalu ternyata dia dighosting laki laki ini.
Hasan tersenyum
"Kamu suka, ya?"
"Iya, enak. Aku sampai pesan online. Tapi rasanya tidak selumer ini."
Hasan terdiam. Tidak menyangka mendengar jawaban Luna.
"Bukannya lebih enak coklat dari Eropa?"
"Tiap coklat, kan, punya rasa yang berbeda beda."
"Oooh....." Dia sudah salah paham. Karena waktu menerima coklat darinya dulu, ekspresi Luna biasa saja. Waktu mencicipinya juga, Hasan melihat ekspresi Luna tidak seperti menyukainya. Karena itu dia ngga yakin kalo Luna menyukai coklat darinya.
Gadis itu pasti sudah terlalu sering makan coklat dari Eropa yang kemasannya lebih wah. Karena itu Hasan tidak memberikan Luna lagi. Mengira coklatnya tidak terlalu spesial buat Luna. Padahal dalam sebulan mereka selalu mendapatkan kiriman coklat dari Mekah itu berkali kali.
Luna mengambil air mineralnya yang sudah tinggal separuh dan menghabiskannya.
"Kamu akan ijin berapa hari?"
Dua minggu lagi kita ujian, kan, batin Hasan.
"Mungkin ..... Pas ujian baru bisa sekolah lagi," keluh Luna. Otaknya tidak terlalu pintar untuk beberapa mapel.
Hasan berpikir sebentar.
"Ponselmu mana?"
"Buat apa?"
Mau minta nomorku, ya? Bilang aja terus terang, batin Luna menuduh, tapi masih tanpa ekspresi.
Karena Luna belum mengulurkan ponselnya, Hasan mengeluarkan ponselnya dari saku belakang celananya.
Luna menarik nafas lega, untung saja dia tidak mengeluarkan ponselnya. Ponsel Hasan sepertinya sudah beberapa tahun tidak diupdate. Berbanding terbalik dengan ponsel miliknya yang merupakan keluaran terbaru dari apel yang abis dicubis kalong.
"Ketikkan nomermu," ucap Hasan sambil mengulurkan ponselnya pada Luna.
Ngga ada manis manisnya minta nomer dengan perempuan, batin Luna kesal.
Melihat wajah keruh Luna, Hasan menyadari sesuatu. Tangan kanan Luna digips.
"Kamu sebut saja. Biar aku yang ketikkan nomernya."
Luna menatap wajah yang tampak serius menatap ponselnya.
Mungkin ini kesenpatannya mendapatkan nomer tukang ghosting ini, batin Luna.
Bukan masalah besar buatnya untuk mendapatkan nomer Hasan. Tapi kalo ketahuan sepupu sepupunya dia akan diledek habis habisan. Dia dan Hasan juga ngga pernah sekelas, jadi dia ngga punya alasan untuk berkelit kalo diinterogasi sepupu sepupunya.
"Lun...."
BLUSH!
Luna yakin kalo saat ini pipinya pasti sudah merona. Dia ketangkap basah sudah melihat wajah teduh laki laki itu. Mungkin dengan tatapan ingin memakannya.
Luna.... Sadar. Dia tukang ghosting, hatinya memberi peringatan.
Hasan tersenyum samar melihat kegugupan Luna saat mengalihkan tatapnya. Dia juga begitu. Jadi ingat dengan dosanya yang selalu bertambah banyak karena gadis ini. Bahkan tadi dia sudah menggendongnya. Harum gadis itu saja masih belum bisa dia lupakan.
Hasan mengucapkan istighfar beberapa kali dalam hati.
Luna kemudian menyebutkan nomer ponselnya yang sudah dia hapal di luar kepala.
"Oke." Hasan menyimpan nomer itu.
MyLuna.
Bibirnya berkedut tipis ketika membaca nama itu. Dia pun menekan nomer itu. Tapi tidak melihat tanda tanda ponsel gadis itu ada di sana.
"Ponselku di dalam tas." Luna menunjukan tasnya yang berada agak jauh dari tempat mereka. Tepatnya di atas sofa.
"Nada deringnya ngga aktif," jelasnya lagi.
"Oke." Hasan menyimpan ponselnya.
"Aku pulang dulu, ya," pamitnya sambil bangkit berdiri.
Hampir saja Luna menahan kepergian Hasan.
"Hati hati pulangnya. Emm... Terimakasih udah datang."
Hasan tersenyum tipis.
"Cepat sembuh, ya."
Luna menganggukkan kepalanya dan menyunggingkan senyum tipisnya. Hatinya menghangat mendengarnya.
Senyumnya ngga bisa hilang sampai Hasan meninggalkan kamar rawat inapnya. Dapat dia dengarkan sepupu sepupunya menggoda pak ustad muda yang kalem itu.
"Ciee..... Yang habis didatengi pak ustad ganteng," ledek Ayra ketika melihat senyum kembarannya yang ngga hilang hilang.
"Apa, sih," kilah Luna menyangkal. Malunya sudah mulai memberikan jejak lewat tingkahnya.
"Dinasehatin ngga, tuh, jangan suka gibah," sambung Nevia.
"Jangan jangan kamu tadi ditanya, udah shalat isya apa belum," kekeh Nathalia.
Luna mendelik. Tuh, kan, apalagi kalo mereka tau dia dan Hasan sudah tukeran nomer ponsel.
"Eh, Lun, mnta lagi coklatnya sama Hasan. Nih, udah tinggal separoh," celutuk Karla sambil menunjukkan kantong coklat yang memang terlihat hanya separoh yang penuh.
"Nih, ambil aja. Masih banyak." Luna menunjukkan coklat miliknya.
"Ngga, ah. Itu, kan, punya kamu," tolak Karla tau diri.
Tumben ngga maksa, decih Luna dalam hati.
"Jadiii..... Serius, nih, sama pak ustad," ledek Nevia dengan mata puppiesnya.
"Kamu terlalu jauh mikirnya, Nev," decak Luna menyangkal. Tawa tawa para sepupunya sudah mulai terdengar.
"Kalo Hasan datang tiap hari, yakin, deh, tangan kamu cepat sembuh," ledek Ayra membuat yang lain makin tergelak.
Luna mendengus kesal.
Besok juga dia ngilang, batin Luna yang sudah menyiapkan ruang tanpa harapan di sudut hatinya.
*
*
*
Laila terdiam dengan detak jantung seakan berhenti beberapa detik, ketika uminya Hasan mengatakan kalo laki laki itu sedang pergi menjenguk Luna di rumah sakit.
Lagi? Bukannya tadi siang udah, batinnya ngga suka. Untung saja dia menelpon umi laki laki itu, jadi dia bisa dapat info sepenting ini. Hasan tidak terlalu suka ditelpon untuk alasan yang tidak penting.
"Katanya bola basket Hasan mengenai kepala gadis itu. Namanya Luna, ya. Laila kenal?" tanya Siti Azizah via telpon. Tadi Laila menelponnya, jadi dirinya sekalian bertanya.
"Iya, Umi Siti. Hasan ngga sengaja. Tadi Hasan juga sudah ke rumah sakit. Aku juga ikut," cerita Laila penuh semangat.
"Ooh.... katanya parah sampai geger otak dan lengannya retak? Mungkin Hasan perlu ikut membayar biaya rumah sakitnya?" tanya Siti Azizah agak khawatir.
Laila terdiam, dia agak terkejut karena Hasan merahasiakan siapa orang tua Luna.
"Ngga perlu, Umi Siti. Mereka juga sudah memaafkan Hasan," ucapnya berusaha menenangkan uminya Hasan. Dia yakin Hasan punya alasan untuk tidak kasih tau siapa orang tua Luna pada beliau.
Lagi pula dia ngga mau mengantar Abi dan umi Hasan menjenguk gadis hedon yang lemah itu.
"Umi dan abi ada rencana mau menjenguk, tapi Hasan melarang. Umi merasa tidak enak dengan orang tua dan keluarga gadis itu, Laila."
"Keluarganya mengerti, umi. Mereka tidak menyalahkan. Buktinya Hasan tidak memaksa u
Umi Siti, kan?" Laila terus mencari alasan agar uminya Hasan membatalkan niatnya.
Terdengar helaan nafas Siti Azizah.
"Ya sudah kalo begitu."
jujur aku penasaran kenapa hasan menolak laila??
ataukah dulu kasus luna dilabrak laila,, hasan tau??
udah ditolak hasan kok malahan mendukung tindakan laila??
Laila nya aja yg gak tahu diri, 2x ditolak msh aja ngejar²😡