Menjadi Ibu Sambung
“Percuma, Zil…” suara Naila pelan, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin sore. “Lulus atau tidak, hasilnya tetap sama. Ayah dan Ibu tetap tak akan sanggup membayar uang kuliahku. Di mana pun itu.”
Reyzil menghentikan langkahnya. Laki-laki remaja itu mengerutkan kening, menatap sahabatnya penuh iba. Naila, gadis sederhana dengan seribu mimpi besar, kini duduk bersandar di dinding sekolah, seolah kehilangan arah.
“Jangan menyerah begitu, Nai. Siapa tahu ini memang rezekimu. Kalau Tuhan sudah menakdirkan, pasti ada jalannya.”
Naila mengangguk, tapi tak ada semangat di sana. “Tadi pagi... Ayah bilang, setelah pengumuman kelulusan, aku akan dinikahkan dengan Zidan.”
Ucapan itu seperti bom. Reyzil spontan menegakkan tubuh, matanya melebar tak percaya. “Zidan?” tanyanya nyaris berteriak. “Kenapa kamu dinikahkan? Kita bahkan belum lulus! Dan kenapa harus dia?”
“Karena dia anak Pak Amir,” jawab Naila sambil mengusap matanya yang mulai basah. “Ayah bilang, Zidan pasti bisa menjamin hidupku. Keluarganya kaya, punya tanah luas, dan... Yang pasti karena dia mau menikahiku.”
Reyzil mengepalkan tangan. Dalam hati, ia marah. Bukan pada Naila, tapi pada keadaan. Tanpa berkata-kata, ia meraih tas dari pelukan Naila dan mengobrak-abrik isinya.
“Zil! Apa yang kamu lakukan?” protes Naila panik.
“Diam sebentar!” desis Reyzil, jemarinya terus mencari sesuatu—dan akhirnya menemukan formulir pendaftaran SNMPN yang sempat diberikan Bu Aisyah, guru BK mereka. Ia menyalakan gawainya dan mulai mengetikkan data yang tertera di formulir.
Tak lama, ia menyerahkan ponselnya ke Naila dengan napas tertahan. “Lihat ini.”
Naila membaca isi layar perlahan. Matanya membesar. Di sana, jelas tertulis:
Selamat! Anda diterima di Jurusan Ilmu Hukum melalui Jalur SNMPN.
“A-aku lulus?” bisiknya, menatap Reyzil dengan tatapan campur aduk antara bahagia dan cemas.
Reyzil tersenyum kecil, menahan gejolak emosinya. “Kamu lulus, Nai. Di kampus impianmu. Kamu punya kesempatan buat jadi jaksa, seperti yang selalu kamu ceritakan itu.”
Namun, dalam benak Naila, suara sang ayah kembali terngiang dengan jelas.
“Kita tidak punya uang. Bahkan kalau kamu lulus pun, siapa yang mau membiayai kuliahmu? Lebih baik kamu menikah dengan Zidan. Kamu akan hidup enak. Dia bisa menanggung semua biaya hidupmu dan anak-anakmu.”
Tanpa berkata apa pun, Naila menyerahkan kembali ponsel Reyzil. Ia meraih formulir yang telah remuk dalam genggamannya. Lalu berlari sekuat tenaga—menuju pondok sederhana berada di tepi sawah—rumahnya.
Sore itu, rumah Naila dipenuhi orang. Beberapa tamu duduk rapi di ruang tamu sempit, mengenakan batik dan senyum basa-basi. Aroma makanan, tumpeng, dan kue tampak memenuhi meja kecil yang dipaksa menemani kursi kayu yang telah rapuh dimakan usia. Naila berdiri tertegun di ambang pintu.
“Nah, ini dia calon menantu kami,” seru Pak Amir bangga. Di sampingnya berdiri Zidan, pria bertubuh kekar dengan wajah mencibir yang hanya menatap Naila dari ujung kaki hingga ujung kepala, seolah menilai barang dagangan.
Naila menunduk. Tangannya menggenggam erat kertas hasil SNMPN yang mulai lecek.
“Nai, duduk sini,” panggil ayahnya, penuh semangat.
“Ada apa, Yah?” Naila bergumam. Tapi langkahnya ragu, apalagi saat melihat keempat istri Pak Amir duduk rapi bersama anak-anak mereka yang berderet.
“Jadi ini yang Papa bilang?” Zidan mendengus, lalu bersandar dengan angkuh. “Bajunya aja udah lusuh begitu. Wajahnya ... Hmmm... ya begitulah.”
“Zidan!” bentak Pak Amir.
“Biarin aja, Pak,” jawab ayah Naila cepat. “Walaupun begini, anak kami ini sangat pandai mengurus urusan rumah dan anak. Itu sudah cukup.”
“Berarti, lamaran kami diterima. Setelah Naila lulus, langsung kita gelar akad. Tak perlu menunggu lama-lama,” ujar Pak Amir mantap.
"Kalian tidak perlu memikirkan masalah biaya, semua akan kami tanggung," ucapnya dengan senyum yang tertutup oleh kumis tebal.
“Bagaimana, Nai?” tanya sang ayah, meski nadanya bukan pertanyaan, melainkan keputusan.
Malam harinya...
“Ayah, Ibu... tolonglah. Aku belum ingin menikah. Aku masih muda. Aku mau kuliah. Aku akan mengejar mimipi menjadi seorang jaksa seperti cita-citaku sejak dulu."
Sang ayah menatapnya dingin. “Cukup, Naila. Jangan membantah lagi. Kita ini hanya orang miskin. Bisa menyekolahkanmu sampai lulus SMA saja sudah harus bersyukur. Kamu pikir kuliah itu pakai daun?”
“Tapi, Yah! Aku lulus, Yah! Kemungkinan, aku bisa mendapat beasiswa! Bu Aisyah bilang akan bantuku untuk mendapatkannya!"
“Berhenti bermimpi, Naila!” bentaknya. “Kamu itu perempuan. Tempatmu di dapur, di rumah, mendampingi suami! Karena itu memang kodratmu terlahir sebagai wanita!"
Pertengkaran pecah. Tapi tak ada suara yang cukup keras untuk memecahkan tekad ayah dan ibu yang telah menjodohkan anak mereka atas nama ‘jaminan masa depan’. Di malam yang gelap itu, mimpi Naila terkubur perlahan.
“Baiklah...” suara Naila gemetar. “Aku akan menikah dengan Zidan... seperti keinginan Ayah dan Ibu.”
Beberapa hari kemudian.
“Naila, kenapa kamu belum daftar ulang juga?” tanya Bu Aisyah di ruang BK, suara beliau lembut tapi terdengar penuh penekanan. “Ini kesempatan emas, Nak. Sekolah kita jarang mengirim siswa ke kampus besar. Kenapa kamu menyerah begitu saja?”
Naila menunduk. “Saya tidak punya pilihan, Bu. Keluarga saya... mereka sudah memberikan rencana lain kepada saya.”
“Mereka ingin kamu menikah?”
Naila mengangguk, pelan. Air matanya menetes tanpa bisa dibendung.
Bu Aisyah menghela napas panjang. “Dengar, kamu masih punya waktu seminggu. Ibu akan bantu urus beasiswa. Kamu hanya perlu meyakinkan dirimu dan keluarga, bahwa kamu pantas untuk bermimpi.”
Hari itu, harapan kecil tumbuh kembali di hati Naila. Tapi saat perjalanan pulang sekolah, semua semangat itu kembali hancur. Dari kejauhan, ia melihat Zidan.
Di atas motor, satu tangannya mengusap paha gadis yang memeluknya mesra di bangku belakang seakan tidak ada orang selain mereka. Dua sejoli itu tertawa lepas tanpa beban.
Naila terpaku. Dunia seolah berhenti berputar. Dan sekali lagi, hatinya berbisik...
Benarkah ini jalan hidupku? Haruskah dia yang menjadi suamiku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Syahril Maiza
dah lama ga dapat notif, ternyata pindah ke sini. semangat hor
2025-04-19
0
Safira Aurora
othor buka warung baru tanpa kbar
2025-04-19
0
MomyWa
tim ekor, bantu ramaikan kembali
2025-04-19
0