Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reaksi alergi
"Pak Samuel! Dipanggil Pak CEO ke ruangannya!" lapor seorang pegawai wanita kepada Samuel.
Samuel sontak mengerutkan alisnya. Jarang sekali, sang CEO mencarinya.
"Baik, saya segera ke sana," sahut Samuel meski dengan perasaan bertanya-tanya.
Sahabat karib Edward tersebut langsung menyimpan HP ke balik saku jasnya. Kemudian, dia berdiri lalu melangkah santai menuju ke ruangan sang CEO.
"Maaf, ada apa Bapak memanggil saya?" tanya Samuel begitu dia sampai di dalam ruangan pemimpin tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
Wajah sang CEO terlihat tak bersahabat. Tak ada kesan ramah sedikit pun yang ia perlihatkan kepada Samuel.
"Mulai hari ini, kamu dipecat!"
Degh!
Samuel yang semula tertunduk kebingungan kini mengangkat kepalanya dengan ekspresi terkejut.
"A-apa, Pak? Sa-saya dipecat?" tanyanya dengan suara terbata-bata.
"Ya, kamu dipecat," angguk pria didepan Samuel.
"Ta-tapi, salah saya apa, Pak?"
Sang CEO tampak tersenyum sinis. "Kamu masih berani bertanya apa salah kamu, Samuel?"
"Saya memang tidak tahu apa kesalahan saya, Pak. Jadi, tolong beritahu saya dengan jelas! Saya menolak dipecat tanpa kesalahan apapun!" ujar Samuel dengan tegas.
"Kamu sering datang terlambat, sering bolos, bahkan sering sekali mengoper pekerjaan yang seharusnya kau tangani kepada pegawai yang jabatannya jauh lebih rendah dibanding kamu. Dan, ini...."
Buk!
Pria yang duduk di kursi kebesarannya tersebut, melemparkan setumpuk kertas berisi bukti penggelapan dana proyek yang selama ini telah dilakukan oleh Samuel.
"Baca!"
"I-ini..."
Tenggorokan Samuel mendadak tercekat. Dia meraih kertas-kertas itu dengan tangan gemetar.
"Jangan pikir kalau saya tidak tahu dengan segala bentuk kecurangan yang sudah kamu lakukan, Samuel! Selama ini saya diam, bukan karena saya bodoh. Tapi, karena saya masih menghargai kamu sebagai salah satu teman baik Nana."
"Nana?" Samuel tersenyum miring. "Apa hubungannya Nana dengan semua ini?" tanyanya tak mengerti.
"Ah, saya lupa memberi tahu sesuatu. Sebenarnya, kamu bisa diterima di perusahaan saya berkat Nana. Dia yang memohon-mohon kepada adik saya supaya kamu bisa bekerja di sini. Padahal, jika dinilai dari nilai akademik, pengalaman kerja, dan skill kamu, sebenarnya kamu sangat tidak pantas bekerja di perusahaan saya."
Kedua telapak tangan Samuel tampak mengepal erat. Napasnya mulai memburu.
"Jadi, semua ini gara-gara Nana? Dia yang membuat saya dipecat?"
"Hei, jangan jadi tidak tahu diri, ya!" celetuk Rossa yang baru saja memasuki ruangan sang kakak.
"Kamu?" pekik Samuel tertahan.
"Kenapa? Kaget ya, karena aku bisa ada di sini?" tanya Rossa. "Sebelumnya, perkenalkan! Namaku Rossa Waltz. Aku..." Ia berjalan mendekati sang kakak kemudian memeluk lehernya dengan erat.
"... Adik kandung dari pria jelek ini," lanjutnya.
"Ka-kamu... Adik kandungnya Pak Robin?" pekik Samuel tak percaya.
"Ya," angguk Rossa. "Dan, kamu bisa bekerja di sini tentu saja berkat aku. Aku yang membujuk Bapak Robin yang terhormat untuk menerimamu atas permohonan dari Nana, sahabat baikku."
"Kalau begitu, tolong kamu bujuk Pak Robin untuk tidak memecat aku, Ros!! Aku janji, aku pasti akan mengembalikan semua dana perusahaan yang sudah aku gelapkan. Tapi, tolong, jangan pecat aku! Aku masih sangat butuh pekerjaan ini," pinta Samuel yang benar-benar sudah sangat terpojok.
"Untuk apa aku melakukan itu?" tanya Rossa.
"Setidaknya, lakukan ini demi Nana. Nana pasti akan kecewa kalau tahu aku dipecat dari sini."
Pfft!
Rossa langsung tertawa terbahak-bahak.
"Nana bahkan sudah nggak peduli meski kamu hidup atau mati, Sam! Jadi, untuk apa dia harus merasa kecewa kalau kamu dipecat dari sini?"
"Apa Nana tahu kalau aku akan dipecat?" tanya Samuel menebak.
"Ya," angguk Rossa. "Dia sudah tahu dan dia bilang, semua terserah Kak Robin dan aku. Kami kan yang punya perusahaan."
"Nana sialan!" geram Samuel marah.
"Kamu yang sialan!" sergah Rossa. "Dasar benalu tak tahu terimakasih. Sudah dibantu malah ngelunjak."
"Kamu!!!" Samuel menunjuk wajah Rossa.
"Jangan coba-coba untuk menggertak adikku, Samuel! Kalau tidak, kau akan terima akibatnya," peringat Robin.
Samuel langsung terdiam. Dia memalingkan wajah ke arah lain. Sementara, Rossa tersenyum mengejek dengan ekspresi tengilnya.
"Dan, jangan lupa! Uang lima ratus juta yang sudah kau gelapkan, harus kau kembalikan dalam waktu dua minggu. Jika tidak, maka siap-siap saja berurusan dengan polisi," lanjut Robin memberi peringatan.
"Du-dua Minggu?" Samuel tampak begitu kaget.
Waktu dua minggu sangatlah singkat. Darimana Samuel bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Haruskah dia jual ginjal saja?
Sementara, meminta kepada Edward dan Andro, dia juga tidak berani. Kedua sahabatnya pasti akan marah besar jika tahu bahwa Samuel sudah menggelapkan dana perusahaan tempatnya bekerja.
*
*
*
Nana kini sudah tinggal di apartemen milik Rossa. Meski awalnya Nana menolak, namun akhirnya dia mengiyakan juga.
Katanya, Rossa kesepian tinggal sendiri. Dan, dengan adanya Nana, akan membuat apartemennya menjadi sedikit ramai.
Tengah asyik bersantai sambil menonton TV di ruang tamu, Nana mendengar suara bel yang berbunyi. Dia pun segera keluar untuk membuka pintu.
"Tuan Edward?"
Kening Nana tampak berkerut. Wajahnya yang semula tersenyum kini langsung tertekuk.
"Tunggu, Na!" cegah Edward saat Nana hendak menutup pintu.
"Mau apa lagi Tuan Edward kemari?" tanya Nana sambil melipat kedua tangannya didepan dada.
"Aku ke sini cuma mau bawakan makanan untuk kamu," jawab Edward. Sebuah paper bag berisi makanan yang dia beli dari restoran seafood kini ia angsurkan ke tangan Nana.
"Nggak perlu," tolak Nana.
"Terima saja, Na! Ayo!" Namun, Edward malah memaksa supaya Nana menerimanya.
"Nggak!" Nana bersikeras pada pendiriannya. Aroma dari makanan itu membuat dirinya tiba-tiba merasa tak nyaman.
Dan, Bruk!
Nana reflek menepis paper bag itu dengan tangan kirinya. Seketika, isi dari dalam paper bag tersebut langsung tumpah dan membasahi lantai.
"Na!" tegur Edward. Menurutnya, Nana sudah keterlaluan. Jika memang dia membenci Edward, tidak seharusnya perempuan itu melampiaskannya kepada makanan yang dia bawa.
"Aku alergi makanan laut," kata Nana yang membuat Edward seketika mematung.
"Kamu alergi makanan laut?" tanya Edward. "Tapi, sejak kapan? Bukannya, dulu kita selalu suka ke restoran ini untuk makan hidangan laut? Kamu selalu bilang kalau selera kita sama dalam hal makanan, Na!"
Nana pun tampak tersenyum miris. Ah, betapa bodohnya dia di masa lalu.
"Aku sudah alergi makanan laut semenjak aku dilahirkan. Bahkan, sampai sekarang pun masih belum sembuh."
"Tapi, dulu kamu..."
"Mungkin, dulu aku terlalu bodoh," potong Nana cepat. "Barangkali, aku terlalu jatuh cinta sehingga rela membahayakan nyawa hanya demi membuat kamu senang."
"Nggak mungkin, Na! Kamu pasti bohong, kan? Selama ini, setiap kali kita selesai makan, kondisi kamu selalu baik-baik saja."
"Oh, ya?" Nana kembali tersenyum sinis. "Kalau aku baik-baik saja, terus kenapa tangan aku sekarang jadi memerah seperti ini, Tuan Edward?" tanya Nana sambil mengangkat lengannya yang mulai kemerahan.
Ya, gejala alerginya memang terbilang parah. Bahkan, dengan menghirup bau dari makanan laut saja, tubuhnya sudah bisa bereaksi seperti itu.
"Na, kamu benar-benar alergi?" tanya Edward khawatir. Dia memegang lengan Nana kemudian memeriksanya dengan teliti.
"Lepas!" kata Nana dengan napas yang mulai terasa sesak.
"Diam dulu, Na! Biar aku periksa!"
Napas Nana semakin terasa sulit. Mulutnya sudah megap-megap dengan mata yang tampak memerah.
"Nana!!!" pekik Rossa yang datang tepat waktu.
"Rossa!" lirih Nana sambil meraih tangan sang sahabat.
Rossa pun langsung mendorong kasar tubuh Edward supaya menjauh dari sahabatnya.
"Apa yang Anda lakukan Tuan Edward? Anda sengaja ingin membunuh Nana?" tanya Rossa saat melihat tumpahan makanan yang berceceran di lantai.
"A-aku..."
Rossa nampak kesal sekali. Namun, dia berusaha untuk mengesampingkan amarahnya dan fokus pada kondisi Nana saja.
"Kamu punya obat alergi kan, Na?" tanya Rossa.
Nana pun menggeleng. Dan, hal itu membuat Rossa semakin bertambah panik.
"Tuan Edward! Tolong gendong Nana! Kita harus bawa dia ke rumah sakit. Sekarang!" titah Rossa.
"Ba-baik," angguk Edward yang langsung menggendong tubuh Nana yang sudah mulai lemas.