Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Tinggal Baru
Darma berjalan cepat melewati gang sempit yang remang-remang. Bau sampah dan genangan air bercampur dengan hawa malam yang dingin. Langkahnya mantap, tapi pikirannya terus berputar. Rumahnya tidak lagi aman. Dengan wajahnya yang sekarang terpampang di seluruh penjuru kota, ia harus mencari tempat persembunyian baru sebelum polisi atau musuh-musuhnya menemukannya lebih dulu.
Namun, langkahnya terhenti saat melihat sekelompok pria berdiri di ujung gang.
Sepuluh orang.
Badan besar, wajah penuh luka, dan tangan yang menggenggam senjata tajam—pisau, golok, besi pentung, bahkan satu orang memegang rantai besi yang berayun perlahan di tangannya.
Darma mendecak pelan. "Sial."
Salah satu dari mereka melangkah maju, pria berkepala botak dengan luka sayatan panjang di pipinya. Ia menyeringai sambil memutar-mutar pisau lipat di tangannya.
"Kayaknya kita baru dapat jackpot, nih."
Pria lain tertawa sambil menunjuk ke arah Darma. "Lihat baik-baik, bukannya ini si buronan yang ada di poster?"
Darma tetap diam.
"500 juta rupiah, bro! Bisa buat kita hidup enak!" seru salah satu dari mereka.
"Kalau kita kasih ke polisi? Mungkin kita dapat separuhnya."
"Tapi kalau kita habisin sendiri, kita bisa ambil semuanya," pria botak itu melangkah lebih dekat, tatapannya penuh keserakahan. "Gimana kalau kita kirim dia ke neraka sekarang?"
Tanpa peringatan, salah satu preman menerjang dengan golok terangkat tinggi.
Darma menghindar dengan gesit, tapi serangan berikutnya datang bertubi-tubi. Sebuah pentungan menghantam bahunya, membuatnya mundur selangkah. Pisau meleset tipis di depan wajahnya, meninggalkan goresan di pipi.
Tapi ekspresinya tetap datar.
Para preman semakin bersemangat. Mereka mengira Darma mulai kewalahan.
Mereka salah.
Darma menyeka darah dari luka di pipinya.
Dan di sanalah segalanya berubah.
Darahnya yang mengalir, rasa sakit yang menjalar di tubuhnya—semua itu justru membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
Jantungnya berdetak lebih kencang. Napasnya semakin dalam. Tubuhnya mulai terasa lebih ringan, lebih kuat.
Mereka menyerang lagi.
Kali ini, Darma tidak menghindar.
Sebuah golok menebas perutnya, menembus kulit dan daging. Tapi alih-alih jatuh, ia justru menatap penyerangnya dengan senyum tipis yang dingin.
Pria yang menyerangnya mundur selangkah, ketakutan.
"A-Apa-apaan ini...?"
Darma meraih pergelangan pria itu dengan kekuatan yang tidak wajar, lalu memelintirnya hingga terdengar suara patah. Pria itu menjerit sebelum Darma menghantam wajahnya dengan sikunya—sekali, dua kali, tiga kali—hingga hidungnya pecah dan darah muncrat ke mana-mana.
Yang lain terkejut. Tapi mereka masih menganggap ini perkelahian biasa.
Mereka salah lagi.
Darma bergerak lebih cepat dari sebelumnya.
Ia merampas rantai besi dari salah satu preman dan menggunakannya untuk mencekik leher pemiliknya sendiri, lalu melemparkannya ke tembok dengan brutal.
Sebuah pentungan kayu menghantam punggungnya, tapi Darma tidak bergeming. Sebaliknya, ia berbalik dan menghantam dada penyerangnya dengan pukulan telak. Tulang rusuk pria itu patah, membuatnya tersungkur dengan napas tersengal.
Darma mulai tersenyum.
Bukan senyum kebahagiaan, tapi sesuatu yang lebih gelap.
Kegilaan.
Luka-luka di tubuhnya terus bertambah, tapi begitu pula kekuatannya.
Ia meraih salah satu preman dan menendang lututnya ke arah yang salah—membuatnya berteriak sebelum kepalanya dihantam ke tanah dengan keras.
Yang tersisa mulai ketakutan.
Mereka ingin kabur.
Tapi Darma tidak membiarkan itu terjadi.
Dengan kecepatan yang tidak wajar, ia mengejar mereka satu per satu. Menghajar, mematahkan, dan menghancurkan.
Dalam hitungan menit, semua preman itu sudah tergeletak di tanah. Beberapa masih bergerak, merintih kesakitan. Tapi sebagian besar sudah tidak bernyawa lagi.
Darma berdiri di tengah tumpukan mayat dan tubuh yang babak belur.
Darah menetes dari dahinya, tapi ia hanya tertawa pelan.
"Lemah," gumamnya.
Tangannya meraih perutnya yang masih berdarah, tapi rasa sakitnya hampir tidak terasa lagi.
Ia mengangkat kepalanya, menatap langit malam yang gelap.
"Aku semakin kuat."
Darma menarik napas panjang, lalu mulai berjalan lagi.
Ia masih punya misi.
Masih ada yang harus dibunuh.
Darma berjalan dengan cepat, hampir berlari, menuju rumahnya yang kini bukan lagi tempat yang aman. Napasnya masih berat setelah pertarungan brutal tadi, tapi ia tidak bisa membuang waktu. Polisi pasti akan segera bergerak, apalagi setelah insiden di gang tadi.
Ia melewati jalanan sepi dengan langkah mantap, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya. Lampu jalan yang temaram hanya memperlihatkan bayangannya sendiri yang bergerak dengan tenang namun terburu-buru.
Setibanya di depan rumah, ia melihat sekeliling sekali lagi sebelum membuka pintu dan masuk. Hanya ada keheningan.
Tanpa membuang waktu, ia langsung menuju kamar tidur. Lemari pakaian dibuka lebar, tangannya dengan cepat menarik pakaian hitamnya—kostum Adharma. Trench coat-nya, sarung senjata, serta topeng tengkoraknya ia masukkan ke dalam tas besar.
Lalu ia mengambil beberapa pakaian biasa, sesuatu yang bisa digunakan untuk menyamar jika diperlukan.
Saat itu, pandangannya jatuh pada sesuatu yang tergeletak di atas meja kecil di sudut ruangan.
Liontin.
Benda kecil itu tampak bersinar di bawah cahaya lampu kamar. Tangannya terulur, menggenggam liontin itu erat-erat.
Pikirannya kembali pada Sinta dan Dwi.
Sejenak, ia terdiam.
Ada sesuatu yang menusuk hatinya, rasa sakit yang lebih dalam dari semua luka di tubuhnya.
Tapi ia tidak punya waktu untuk larut dalam perasaan.
Darma menggantung liontin itu di lehernya, lalu mengambil shotgun dan cerulitnya yang ia simpan di bawah tempat tidur.
"Ini semua sudah dimulai, aku tidak akan mundur," gumamnya.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ia segera keluar melalui pintu belakang, berjalan cepat ke gang gelap di belakang rumahnya.
Baru beberapa menit setelah ia menghilang dari area rumah, suara sirene mulai terdengar di kejauhan.
Mobil-mobil polisi meluncur dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya. Ban mereka berdecit saat berhenti, dan beberapa petugas langsung turun dengan senjata siap di tangan.
Seorang perwira tinggi keluar dari mobil hitam yang berhenti di belakang barisan polisi. Matanya menyapu rumah itu dengan tajam sebelum memberikan perintah.
"Serbu!"
Pintu rumah Darma didobrak dengan kasar, beberapa petugas langsung masuk, menggeledah setiap sudut ruangan. Mereka membuka lemari, membalikkan kasur, bahkan memeriksa kolong tempat tidur.
Tapi rumah itu kosong.
"Dia sudah pergi." Salah satu polisi menggerutu.
Sang perwira mendekati meja kecil di sudut ruangan, mengambil sebuah foto lama di sana. Foto Darma, Sinta, dan Dwi Handayani.
Matanya menyipit.
"Kau sudah jadi buronan resmi, Adharma," bisiknya pelan.
Di luar rumah, beberapa polisi masih berjaga, mengawasi jalanan sekitar. Mereka tidak tahu bahwa target mereka sudah pergi jauh, meninggalkan rumah yang kini hanya menjadi saksi bisu.
Sementara itu, di kejauhan, Darma berjalan di antara bayang-bayang malam, membawa semua yang ia butuhkan untuk melanjutkan perangnya.
Ia sekarang adalah hantu.
Dan tidak ada yang bisa menghentikannya.
Darma berjalan tanpa tujuan yang jelas di tengah malam, membiarkan langkahnya membawanya ke tempat di mana orang-orang tak peduli dengan siapa dirinya. Ia butuh tempat bersembunyi, tempat di mana tidak ada yang akan bertanya, tidak ada yang akan peduli.
Ia terus berjalan hingga tiba di daerah yang kumuh, bagian kota yang seolah dilupakan oleh dunia. Gang-gang sempit, rumah-rumah reyot dengan dinding yang mengelupas, dan genangan air kotor di beberapa sudut jalan. Bau busuk menyengat, campuran dari sampah dan saluran air yang tersumbat.
Tapi di sinilah tempat yang sempurna untuk menghilang.
Ia melihat sebuah bangunan tua yang sudah hampir runtuh. Jendelanya pecah, pintunya hanya tertutup dengan selembar kain lusuh. Ia melangkah masuk.
Di dalam, hanya ada sebuah kasur tipis yang sudah usang di pojokan, meja reyot, dan beberapa kotak kayu berserakan. Tempat ini mungkin dulunya ditinggali oleh seorang gelandangan, atau mungkin seorang pecandu yang sudah lama meninggalkannya.
Darma meletakkan tasnya, melepas jaketnya, dan duduk di lantai berdebu.
Ia menghela napas panjang, tubuhnya terasa berat. Luka-luka akibat perkelahian sebelumnya mulai terasa lebih nyeri. Tapi itu bukan apa-apa dibandingkan dengan rasa sakit di dalam hatinya.
Ia merogoh liontin yang tergantung di lehernya, memegangnya erat.
"Sinta… Dwi…"
Suara itu lirih, hampir tak terdengar.
Ia menutup mata, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membiarkan air mata itu jatuh.
Ia menangis dalam diam.
Di tempat yang kotor dan dingin ini, jauh dari kehidupan yang dulu ia kenal, ia bukan lagi Guntur Darma. Ia adalah Adharma, seseorang yang sudah kehilangan segalanya, seseorang yang kini hidup hanya untuk satu tujuan: menghancurkan orang-orang yang telah merenggut kebahagiaannya.
Di luar, suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Kota Sentral Raya tetap berjalan seperti biasa, tidak peduli dengan satu pria yang tengah bersembunyi di tengah reruntuhan.
Tapi Darma tahu.
Cepat atau lambat, kota ini akan melihat apa yang akan ia lakukan.