Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mata yang tak biasanya
Silla menatap sang paman, ada rasa tak tega menjalar menguras batinnya, pasalnya pamannya yang satu ini sangat dekat dengannya sejak kecil, yang terkadang hadir menggantikan peran sang ayah yang banyak bekerja di luar pulau.
“Pak, ada tamu di depan, buyer kaos ini kayaknya.” Salah satu karyawan mendekati Pak Abdi.
“Biar sama aku aja, Om. Pasti itu pak Yohan!” sahut Silla yang tak tega dengan kerepotan sang paman.
Silla melangkah pelan menuju ruang tamu, hatinya dipenuhi keraguan. Ia tahu Yohan akan marah jika tahu proyek ini mungkin tidak sesuai jadwal. Sambil mengatur napas, Silla memikirkan kata-kata yang tepat untuk meredakan kemarahan Yohan.
“Pertama-tama harus menyapa dengan sopan dan rendah hati, lalu … tanya kabarnya!” gumam Silla sambil mengatur detak jantung yang mulai tak stabil.
Tak dipungkiri, rasa takut pun menghampiri benaknya, membuat ritme detak jantungnya meningkat.
“Kalau misal dia mulai marah, gue mesti ngapa ya … tuh manusia apa ya yang bisa bikin dia tertawa, kayaknya sulit itu,” dengusnya mulai frustasi.
“Ah, begini aja kali ya … ‘pagi Pak Yohan, anda rapih sekali hari ini, mau minum apa dulu, saya bisa masak seblak kalau mungkin pak Yohan belum sarapan, anggap saja saya traktir balik,” Sedemikian rupa Silla berusaha menepis kekhawatirannya dengan menggunakan rancangan kalimat ramah serta mempraktekkan senyuman cerah secerah pagi dengan mendung tipis.
Hingga tanpa sadar langkah kakinya terhenti di depan pintu penghubung menuju ruang tamu. Sekali lagi Silla mengatur napas, menetralisir semua pikiran buruk.
Dengan langkah hati-hati, ia memasuki ruang tamu, siap menghadapi reaksi Yohan yang mungkin tidak terduga.
“Pagi … saya sudah sarapan seblak yang saya masak sendiri!” Entah kenapa kata-kata yang sudah dirangkainya tadi menghilang dari pikirannya, dan justru membual dengan kalimat yang terdengar aneh.
Yohan berdiri tegak di depan lukisan dinding, di ruang tamu itu. Matanya terpaku pada goresan-goresan warna yang abstrak.
Tiba-tiba, suara Silla memecah keheningan, dan Yohan menoleh dengan gerakan perlahan. Tatapan herannya terpancar saat ia melihat Silla, seolah-olah mencari makna di balik kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Silla. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara Silla menyapa, sesuatu yang membuat Yohan merasa penasaran dan sedikit merasa aneh.
Yohan mengangkat kedua alisnya, disertai kedua tangan terangkat hingga ke bahu, seolah mengatakan ‘ngomong apa tadi?’ atau ‘apa hubungannya denganku?’
Gerakan ini tampak biasa saja, namun bagi Yohan, itu seperti tanda tanya yang menambah rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Silla berdiri terpaku, mulutnya terkunci beberapa saat, matanya terpaku pada wajah tanpa kacamata pagi itu. ‘Kenapa … kenapa dia menoleh dengan cara seperti itu … kenapa pagi ini jadi aneh begini … matanya … Jimin … tolongin gue!’
Melihat Silla yang justru berdiri mematung di ambang pintu, Yohan berjalan mendekatinya.
DEG!
DEG!
DEG!
‘Jimin … tolong selamatkan gue! Mulut sialan ini … asal bicara … di saat tidak tepat …!’ teriak batin Silla sekencang mungkin.
Kedua tangannya meremas erat ujung blouse panjang yang dikenakannya, berusaha tetap berdiri diatas kedua kaki nya, berharap semoga lututnya tak lemas karena merasa canggung dan gugup di saat yang bersamaan.
‘Kenapa … ada apa dengan wajahnya? Kemana kacamata buluknya? Oh?! Kenapa tiba-tiba ada taman bunga di sini? Kupu-kupu itu, darimana datangnya? Kenapa jalannya se-gentle itu … mau apa mendekat ke sini? kenapa dengan rambutnya? Apa … apa matahari masuk ke ruangan ini? Kenapa rasanya silau sekali?’
Mata Silla semakin membulat, seiring dengan ekspresi yang semakin gugup, wajahnya tampak memerah perlahan. Silla menahan napasnya, tatkala Yohan semakin memangkas jarak keduanya.
Dalam khayalannya, Silla melihat Yohan berjalan menuju dirinya dengan langkah santai, namun dalam gambaran itu, Yohan tidak berada di ruang tamu biasa. Ia melihat Yohan berjalan di tengah taman bunga yang indah, dikelilingi warna-warna cerah dan harumnya bunga serta kupu-kupu indah terbang mengitari wajah pria itu yang seakan bersinar disertai senyum lembut, membuat hati Silla berdebar.
Dalam khayalan itu, segalanya tampak sempurna, dan Silla merasa semakin terpikat dan gugup, takut kenyataan tidak seindah imajinasi yang ia ciptakan. Lamunan itu memberinya secercah harapan sekaligus menambah kecemasan.
Silla mundur satu langkah, hampir terjatuh karena tak seimbang.
Beruntung Usna muncul dari balik pintu, dan cukup membuat Silla akhirnya bisa berpegangan pada lengan sepupunya itu.
“Lu ngapain?” Reaksi Usna tentu dengan ekspresi terheran lalu bergantian menatap ke arah Yohan dengan alis terangkat mengisyaratkan pertanyaan, ‘Kalian ngapain?’
“Loh? Kalian berkumpul disini?” Suara pak Abdi memecah kecanggungan. “Selamat pagi Pak Yohan, mari silahkan duduk.” lanjutnya menyalami Yohan dan mempersilakannya duduk lalu beralih menatap pada putri dan ponakannya. “Kalian ini para gadis malah membiarkan tamu kita menunggu.”
Yohan tersenyum disertai anggukan kecil menyapa sang kolega. “Pagi juga Pak Abdi. Jadi … bagaimana progressnya hingga hari ini? Saya harap semua berjalan sesuai jadwal tanpa ada kendala yang berarti.” Yohan tak ingin banyak basa-basi, langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
Sedangkan Silla masih tak menemukan jawaban yang tepat untuk sang paman, juga untuk Yohan.
Pak Abdi menghela napas, lalu menyodorkan sebotol air putih di meja ke arah Yohan. “Kesepakatan kita tinggal dua hari, tapi sepertinya saya harus mengajukan perpanjangan waktu barang satu atau dua hari, Pak.”
Dengan sedikit tertunduk, jemari sibuk memainkan ujung asbak di atas meja, Pak Abdi berusaha membuat kesepakatan baru.
“Alasan mendasarnya apa Pak? Bukankah di awal saya sudah menanyakan kesanggupan pengerjaannya? Tenggat waktu yang kami berikan juga tak sedikit.”
Terdengar tegas dan sangat kuat aksen Yohan yang tak langsung menghakimi ketidak-profesionalan pak Abdi.
“Cuaca buruk! Kapan hari kan hujan badai, harusnya kamu tahu, rumahmu tak jauh dari sini kan? Ada puting beliung yang memuat listrik padam beberapa hari, harusnya kamu juga tahu itu.”
Sungguh! Silla kembali membuat jawaban yang terkesan sangat ceroboh dan kurang tepat.
Sontak pak Abdi yang sudah merangkai alasan sedemikian rupa, teralihkan dengan kalimat Silla yang membuat suasana terasa semakin tak menunjukkan kesiapan seorang pengusaha untuk berjaga dari berbagai hambatan.
Pak Abdi menepuk pelan jidatnya yang sudah teras sedikit panas.
Namun reaksi tak terduga justru ditunjukkan Yohan. Ia terkekeh lepas setelah mendengar alasan yang terlontar dari mulut Silla.
“Baiklah, kalau begitu, buatkan aku seblak yang kamu banggakan tadi.”
...****************...
Bersambung.