NovelToon NovelToon
CINTA DALAM ENAM DIGIT

CINTA DALAM ENAM DIGIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Mafia / CEO / Dikelilingi wanita cantik / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: reni

Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.

Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.

Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.

Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Segelas malam, seteguk bahaya

Acara berlangsung meriah di ballroom hotel berbintang lima yang megah. Kilau lampu kristal berpendar lembut di langit-langit, mengiringi lantunan musik klasik yang menggema tenang di seluruh ruangan. Para mahasiswa baru, dosen, dan tamu undangan tampak berbaur dalam suasana penuh kemewahan. Gaun-gaun elegan dan jas formal menciptakan pemandangan bak pesta para bangsawan. Makanan berkelas tersaji di meja panjang, sementara gelas-gelas anggur mengisi tangan-tangan yang sibuk bersulang.

Lia berdiri di dekat sisi ruangan, memandangi kerumunan dengan tatapan gelisah. Jari-jarinya memainkan ujung gaunnya yang merah anggur, gaun yang dipilihkan ayahnya—bukan atas kemauannya. Ia merasa asing di antara gemerlap ini. Bahkan napasnya terasa berat sejak pertama kali masuk ke ruangan.

“Lia, senyum dikit dong,” bisik Nadin dari samping, menyenggol pelan pinggangnya. “Kamu kayak mau dipaksa kawin.”

“Emang rasanya mirip,” jawab Lia lirih.

Nadin tertawa pendek. “Kalau kamu yang kawin di tempat kayak gini, jangan lupa undang aku ya. Tapi please, jangan nikah sama dosen ganteng itu, aku duluan yang antri!”

Lia cuma menggeleng lemas. Ia mengedarkan pandangan, matanya memindai ruangan dengan cepat. Namun kegelisahan dalam dadanya justru semakin menjadi-jadi.

Beberapa dosen menyampaikan sambutan singkat, beberapa terdengar formal dan membosankan, membuat beberapa mahasiswa mulai berbisik-bisik dan melirik jam. Di salah satu meja, sekelompok cowok berusaha menahan kantuk. Salah satunya menguap lebar hingga nyaris menelan dasi sendiri.

“Gila, ini sambutan atau sesi hipnoterapi sih?” celetuk cowok itu, membuat beberapa mahasiswa tertawa pelan.

“Gue udah lupa caranya nafas normal saking lamanya dia ngomong,” sahut temannya.

Namun, suasana berubah drastis ketika nama Leo disebut sebagai pembicara berikutnya.

Lampu diarahkan ke arah panggung. Suara sepatu kulit menghentak lembut di atas lantai kayu panggung. Leo—dosen muda dengan reputasi paling misterius—melangkah tenang menuju podium. Setelan hitam yang dikenakannya membalut tubuhnya sempurna, membuat lekuk rahangnya dan sorot matanya terlihat makin tajam di bawah cahaya lampu. Ia berdiri tegak, satu tangan menyentuh podium, lalu membuka mulut.

“Selamat malam semuanya.”

Suara itu rendah, dalam, namun cukup kuat untuk memotong semua suara obrolan. Dalam sekejap, ballroom terdiam. Semua mata, terutama para mahasiswi, tertuju padanya. Seolah suara dan pesona pria itu membawa magnet yang tak bisa ditolak siapa pun.

“Buset... gue jadi ngerasa dosa ngelirik dia,” bisik Nadin dengan mata membulat. “Gimana bisa dosen kayak gitu masih single, sih?”

“Mana aku tahu,” jawab Lia, datar.

Beberapa mahasiswi langsung berbisik-bisik sambil tersenyum malu-malu. Ada yang menggigit bibir bawah, ada pula yang membetulkan rambut atau gaunnya. Bahkan ada yang diam-diam merekamnya dengan ponsel.

Tapi tidak dengan Lia.

Lia menatap pria itu tanpa ekspresi. Bukan karena tak terpesona—harus diakui, pria itu memang terlalu memesona—melainkan karena pikirannya terlalu penuh dengan hal lain. Kata-kata sambutan Leo hanya terdengar samar di telinganya. Wajah tampan itu tak sanggup menutupi kegelisahan yang menggerogoti isi kepalanya.

"Kenapa Papa diam saja sejak kemarin?" pikir Lia. "Kenapa dia hanya menyuruhku hadir ke acara ini, tanpa menjelaskan satu pun rencana? Apa yang sebenarnya dia rencanakan?"

Leo hanya menyampaikan pesan sambutan singkat—tentang semangat belajar, menyambut masa depan, dan menjaga integritas akademik—tapi caranya menyampaikan sungguh berbeda. Ia berbicara perlahan, tenang, dengan tatapan mata yang menusuk, seolah mengupas sesuatu jauh di dalam setiap orang yang menatapnya. Aura itu… terlalu kuat. Terlalu menguasai. Dan Lia bisa merasakannya, meski ia sedang diliputi kegundahan.

Ia mengusap tengkuknya pelan. Dingin di luar, tapi telapak tangannya mulai berkeringat. Sorot matanya menatap ke arah pojok ruangan, mencari sosok ayahnya. Tak terlihat. Dario tidak muncul. Tidak menyapanya. Tidak bicara sedikit pun sebelum acara. Hanya pesan pendek di siang hari: “Pastikan kamu hadir malam ini. Pakai gaun yang sudah dikirim ke asrama.”

Itu saja.

Dan itu cukup untuk membuat malam ini terasa seperti jebakan.

 

Setelah sambutan Leo selesai, ruangan kembali dipenuhi riuh tepuk tangan. Musik berganti menjadi lebih lembut dan romantis, tanda sesi dansa segera dimulai. Para dosen dan mahasiswa mulai turun ke lantai dansa, beberapa tertawa kecil, sebagian gugup, dan sebagian lagi saling menggoda, saling menarik tangan menuju tengah ruangan.

Nadin merengek, mengajak Lia untuk berbaur dengan yang lain, "ayolah, kita nikmatin malam ini," ucap Nadin yang terus berusha mengajak Lia menari. "Aku benar-benar gak bisa menari, Nadin." Jawab Lia tegas karena sudah beberapa kali menolak, tapi sahabatnya itu masih saja terus merengek bak anak kecil yang menginginkan mainan.

Nadin kesal mendapat penolakan dari Lia, setelah sempat menghentakan sebelah kakinya, Nadin langsung melangkah menghampiri temannya yang lain yang sudah lebih dulu menari-nari bahagia menikmati musik.

Lia menyaksikan tingkah temannya yang sangat kekanakan itu tersenyum sambil mengangkat sebelah tangannya, "dah, have fun ya," ucap dirinya, padahal dirinya sendiri tidak merasakan itu.

Merasa sendiri ditengah keramaian, mata kosong Lia terus menyaksikan orang-orang yang sedang menari. Jantungnya berdebar, tapi bukan karena suasana romantis itu. Ada sesuatu yang terus menekan dari dalam dirinya. Kegelisahan yang belum punya nama.

"Papa… di mana kamu?" gumamnya pelan.

Suara langkah mendekat. “Lia!”

Lia menoleh, dan mendapati Selina—teman sejurusannya—datang dengan wajah ceria. Selina mengenakan gaun biru muda yang menonjolkan kulit putihnya, rambut disanggul anggun, dan di kedua tangannya membawa dua gelas wine berwarna merah keunguan.

“Nih, minum dulu!” kata Selina dengan semangat. “Kamu diem aja dari tadi. Masa iya nggak ikut bersulang? Malam ini tuh… luar biasa banget!”

Lia ragu. Ia menatap gelas wine itu. “Aku nggak terlalu suka minuman alkohol…”

“Ah, cuma sedikit kok. Anggur manis. Nggak bikin mabuk,” bujuk Selina, lalu dengan cepat menyodorkan satu gelas ke tangan Lia. “Buat melepas ketegangan! Kamu kelihatan kayak mau kabur, sumpah.”

Dari belakang, Nadin ikut nimbrung sambil menyodorkan kentang goreng kecil yang diambil dari meja prasmanan. “Kalau mabuk, kita tinggal bilang kamu kesurupan. Serius, aku bisa pura-pura jadi dukun!” ucap gadis itu yang kini kembali melangkah entah kemana.

Lia menatap punggung temannya itu. “Ya ampun, Nad,” ujar Lia sambil menghela napas, tapi sudut bibirnya sedikit naik.

Lia akhirnya mengangguk kecil, terlalu canggung untuk menolak. Ia mengangkat gelas pelan. “Untuk… malam yang indah,” katanya, meski dalam hati terasa sebaliknya.

Selina tertawa kecil dan menyentuhkan gelasnya ke gelas Lia. “Cheers!”

Mereka meminum wine itu. Lia menyesap sedikit. Rasanya pahit di awal, lalu meninggalkan jejak manis di lidah. Tapi aneh. Baru beberapa detik kemudian, tubuhnya mulai terasa hangat. Terlalu hangat. Sensasi itu menjalar cepat dari tenggorokan, ke dada, lalu ke perut.

Lia menelan ludah. Nafasnya mulai memburu. “Selina…” bisiknya pelan. “Kamu ngerasa aneh nggak?”

Tapi Selina sudah melangkah menjauh, menghampiri dua senior pria yang memanggilnya dari tengah lantai dansa. Lia berdiri sendirian, dan saat itu juga, tubuhnya mulai memberontak.

Pandangannya buram. Keringat dingin membasahi pelipis. Kepalanya seperti berputar. Panas. Begitu panas. Bahkan bagian dalam tubuhnya terasa seperti terbakar.

“Ada apa ini…?” bisiknya panik.

Langkahnya gontai, mencoba meninggalkan keramaian. Musik berdentum semakin membingungkan. Nafasnya tak beraturan. Lorong hotel menyambutnya dengan keheningan, tapi cahaya redup di dinding justru menambah kesan menakutkan.

Ia bersandar di dinding, memejamkan mata. “Apa ini… apa yang ada di minuman tadi… kenapa aku…”

Tangannya gemetar. Ia mencoba berjalan lagi, ingin keluar, ingin mencari udara, atau mungkin hanya ingin pingsan di tempat yang aman. Tapi sebelum sempat melangkah jauh, langkah kaki lain terdengar cepat dari belakang seolah sedang mengikutinya.

Ok, sampai sejauh ini bagaimana menurut kalian? Kira-kira hal apa yang akan terjadi pada Lia?

Jangan lupa buat ninggalin jejaknya, ya. Like, vote, komen juga. Thx...

1
Gingin Ginanjar
bagus banget/Drool//Drool//Drool/
Langit biru: Terimakasih/Kiss/ Baca terus ya🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!