NovelToon NovelToon
Pengkhianatan Di Malam Pertama

Pengkhianatan Di Malam Pertama

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama
Popularitas:46.4M
Nilai: 4.9
Nama Author: Kolom langit

Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.

Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.

"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 : Kalau Kamu Tidak Mau ... Maka Aku Yang Akan ....

Embun hampir tak percaya melihat keberadaan suaminya di rumah. Aby berdiri tepat di hadapan Dewa dengan raut wajah tak ramah. Sorot matanya yang tajam seolah mampu membelah apapun di hadapannya.

"Kamu ngapain di sini?" Pertanyaan itu menjadi sapaan pertama Aby kepada Dewa yang masih duduk santai. Bahkan Dewa terkesan tak memerdulikan keberadaan Aby di sana. 

"Memang kenapa kalau aku ada di sini? Masalah buat kamu?" 

Tangan Aby terkepal di balik punggung. Ucapan Dewa seolah sedang menantang. Ingin rasanya Aby menghantamkan kepalan tinjunya ke wajah laki-laki itu. 

"Aku sama Embun tetanggaan sejak kecil. Rumahku di sebelah," lanjut Dewa, menunjuk ke arah kanan dengan ekor matanya.

Pandangan Aby pun mengikuti ke arah yang ditunjuk Dewa. Dua rumah dari sana, ia dapat melihat mobil milik laki-laki itu terparkir di halaman. Aby tak pernah menyangka sebelumnya bahwa Embun dan Dewa bertetangga. Bahkan jarak rumah mereka terbilang sangat dekat.

"Sekarang tahu kan, kenapa aku di sini?" tambah Dewa lagi.

Menyadari ketegangan antara suaminya dengan Dewa, Embun pun mencoba mencari celah. Jangan sampai terjadi keributan di rumah dan mengejutkan mama yang sedang beristirahat. 

"Kak Dewa, makasih untuk bantuannya hari ini," ucap Embun dengan senyum semanis madu. 

Dewa membalas tersenyum. Meskipun tak secara langsung, namun ia paham apa maksud Embun. Pria itu pun segera berdiri meninggalkan tempat duduknya.

"Sama-sama, Embun. Nanti aku kasih info kalau permohonan kamu disetujui." 

"Sekali lagi makasih, Kak." 

"Jangan sungkan. Aku senang kalau bisa bantu kamu."

Dewa lagi-lagi memulas senyum ke arah Embun sebelum akhirnya melangkah pergi. Interaksi kecil itu saja sudah mampu membuat Aby merasa udara sekitar berubah. Gerah yang ia rasakan.

"Kamu kenapa nggak bilang kalau Dewa itu tetangga kamu?" Aby menatap Embun yang berdiri kurang dari dua meter darinya. 

"Memangnya Mas Aby pernah tanya?" ujarnya. "Aku tadi cuma minta bantuan Kak Dewa cari perusahaan untuk tempat magang." 

"Oh ...." Aby tak memperpanjang. Ia merasa telah kehilangan hak untuk keberatan atas siapapun yang bertemu dengan istrinya. Terlebih, setelah semua perbuatan buruknya dua hari ini kepada Embun.

"Mas Aby ngapain ke sini?" tanya Embun kemudian.

Hati Aby langsung mencelos mendengar pertanyaan ketus yang meluncur tanpa filter. Istrinya itu bahkan belum mempersilahkannya untuk masuk ke rumah. 

"Memang salah kalau aku ke sini?" 

"Nggak, cuma aneh aja."

"Nak Aby ... sudah lama di sini?" Sapaan penuh semangat yang berasal dari dalam rumah membuat Aby dan Embun menoleh bersamaan. Mama Rima tampak berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah.

Aby langsung menyalami sang mertua dengan mencium punggung tangannya.

"Baru saja, Mah." 

"Kenapa ngobrol di luar?" Mama Rima melirik putrinya yang masih santai di tempatnya berdiri. "Embun, kenapa nggak ajak suami kamu masuk?"

"Nggak apa-apa, Mah." Aby menyela, membuat Mama Rima menepuk pundak sang menantu.

"Ayo masuk, Aby. Ngobrolnya di dalam aja. Di luar banyak nyamuk."

"Iya, Mah. Makasih." 

Kala sang mertua menyambut kedatangannya dengan ramah, Embun malah sebaliknya. Wanita itu malah memilih masuk ke kamar, meninggalkan Aby yang masih duduk di ruang keluarga.

"Kamu baru pulang kantor?"

Mama datang dari arah dapur dengan membawa nampan berisi teh manis, yang kemudian ia geser ke hadapan sang mantu.

"Iya, Mah. Sekalian mau jemput Embun." 

"Oh ... kalau begitu diminum dulu tehnya," ujar wanita itu. "Oh ya, Aby. Terima kasih kamu mau menerima Embun sebagai istri. Maafkan kalau Embun punya salah. Dia masih sedih dengan kepergian papanya."

Aby mengangguk pelan. Hatinya sedikit menghangat. Meskipun pernikahannya dengan Embun sangat mendadak demi menutupi kesalahan kakaknya, namun Mama Rima memperlakukan Aby dengan sangat baik.

Cukup lama dihabiskan Aby untuk mengobrol dengan mertuanya. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjuk ke angka delapan, namun Embun belum juga keluar.

"Mah, kamar Embun yang mana?"

"Itu di dalam. Dua kamar dari tirai itu kamarnya Embun."

Aby melirik ke dalam sana. Dari tempatnya duduk, ia dapat melihat pintu kamar dengan tirai berwarna ungu.

"Aku ke dalam dulu ya, Mah. Sudah jam delapan soalnya."

"Silahkan, Aby."

Aby tersenyum tipis sebelum berjalan menuju kamar Embun. Pria itu tampak ragu untuk masuk. Setelah mematung di ambang pintu selama beberapa saat, ia akhirnya memberanikan diri memutar gagang pintu. Namun, apa yang tampak di dalam membuatnya terpaku.

Betapa tidak, Embun berdiri dengan posisi membelakangi dengan hanya menggunakan handuk sebatas paha. Memamerkan bentuk tubuh sempurnanya yang terbalut kulit putih bersih. Untuk beberapa saat, Aby kehilangan kewarasan memandangi keindahan sempurna yang tersaji di depan mata.

Embun yang baru menyadari keberadaan Aby di kamarnya segera menoleh. Ia pun sama terkejutnya.

"Maaf, aku nggak bermaksud ngintip," ucap Aby cepat, lalu segera membalikkan tubuh.

Sementara Embun tak banyak bicara. Ia memilih mengambil pakaian lalu masuk ke kamar mandi.

.

.

"Kenapa nggak titip pesan sama Bunda kalau mau ke sini?" tanya Aby, sesaat setelah Embun keluar dari kamar mandi.

"Memang kamu peduli aku mau ke mana dan sama siapa?" balas Embun, yang kini memilih duduk di meja rias.

Aby melirik Embun. Sorot matanya mengikuti gerakan tangan wanita itu menyisiri rambut panjangnya yang hitam dan lurus.

"Setidaknya titip pesan biar aku nggak khawatir."

Embun terkekeh. "Khawatir? Aku pikir suamiku ini akan menghabiskan waktu bersama pacarnya di kafe dekat kampus." 

Kelopak mata Aby mendadak melebar. Irama jantungnya menjadi lebih cepat seperti baru saja melakukan aktivitas berat. Bagaimana Embun tahu ia dan Vania baru saja makan bersama?

"Emh ... kamu tahu dari mana?" Ragu-ragu Aby bertanya. Jangan lupakan wajahnya yang terlihat penuh rasa bersalah.

"Seharusnya kamu nggak usah tanya aku tahu dari mana. Pacar kamu sudah lapor duluan dan kirim foto ke aku. Padahal aku sama sekali nggak tanya."  

Untuk kesekian kali, Aby kehilangan kata-kata. Embun selalu terlihat tenang dan santai. Namun, mampu membungkamnya dengan telak. Ia pun tak pernah menyangka bahwa Vania akan memberitahu Embun tentang kebersamaan mereka sore tadi.

"Maaf, Mbun," ujarnya merasa bersalah. "Kita lanjut ngobrol di rumah, ya. Nggak enak di sini, nanti mama dengar," ajak Aby, bermaksud mengajak pulang, sekaligus membicarakan segalanya di rumah dengan lebih tenang.

"Aku nggak mau." 

"Tapi aku nggak bisa nginap. Nggak bawa baju ganti buat ke kantor besok. Kalau pulang sendiri, ayah pasti tanya kamu ke mana." 

Aby menatap istrinya melalui pantulan cermin. Sepertinya, ia belum menangkap dengan baik maksud sang istri.

"Aku mau tinggal di sini aja. Aku nggak mau pulang ke rumah kamu lagi." 

Aby merasakan tubuhnya meremang saat itu juga. "Maksud kamu?"

Embun meletakkan sisir ke meja. Lalu, memutar tubuhnya sehingga posisinya kini berhadapan dengan Aby.

"Apa bedanya sekarang dengan enam bulan? Soal perjanjian ayah sama papaku, anggap saja sudah lunas, aku akan ikhlas. Jadi nggak usah tunggu enam bulan." Embun menatap Aby lekat. "Aku minta cerai." 

Seketika sesak menjalar di dada Aby mendengar permintaan Embun. Jika saja tak mendengar sendiri, ia pasti tidak akan percaya jika kalimat frontal itu terucap dari mulut Embun. Dalam hati Aby pun bertanya, seburuk itukah ia di mata Embun hingga begitu cepat menginginkan perceraian?

 "Embun kamu—" Belum sempat Aby menyelesaikan kalimatnya, Embun sudah menyela dengan cepat. 

"Kalau kamu nggak mau menceraikan aku ... maka aku yang akan melayangkan gugatan ke pengadilan agama." 

...***...

1
marti 123
Lumayan
marti 123
Kecewa
Muna Junaidi
Hadeh aby badan masih sakit di dajjal mata satu bangun
Nay Nayla
...
hani muklas
Kecewa
hani muklas
Buruk
Anna Wong
Luar biasa
Eti Alifa
klo q kok setujunya embun sama dewa.
Eti Alifa
visual galang ga ada thor.
Eti Alifa
habis ini ke sana thor.
Eti Alifa
berharap dewa sama embun tapi ga mungkin ya...
Eti Alifa
god job Embun, suka wanita tangguh ga lemah👍🏻
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭
Eti Alifa
si aby bloon apa goblok sihh.
Eti Alifa
untung embun cerdas jd ga merasa tertindas , klo terluka mah iya .
Eti Alifa
ga terasa air mata jatuh meleleh walau tak diundang, jadikan embun sama dewa aja thor biar aby kapok.
Eti Alifa
baru baca udah nyesek, kasihan bgt embun, semoga embun dpt jodoh yg lebih dr abi.
Safitri Agus
terimakasih Thor 🙏🥰
Safitri Agus
baru tahu ya kalian, kalau aku sudah tempe dari dulu saat beliau jadi pebinor yg elegan 😂😂😂
Fransisca Indriyanti
Luar biasa
Safitri Agus
awas ada kuntilanak 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!