Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Pencarian
“Aku… bukan sengaja menyembunyikannya…”
Suara Aylin parau, nyaris tak terdengar, namun begitu penuh beban.
Ia mengangkat wajahnya. Wajahnya basah menatap mata Akay yang retak. “Aku cuma takut. Kalau kamu tahu sisi hidupku yang ini… kamu akan pergi. Kamu akan menyesal telah memilihku.”
“Aku baru sadar… aku dibesarkan untuk bertahan, bukan untuk diam. Aku dididik untuk menembus kegelapan, bukan menyambut terang.”
Suara Aylin pecah. Ia memeluk dirinya sendiri, seolah itu satu-satunya pelindung yang tersisa.
“Di sekelilingku, orang membunuh demi harga diri. Aku diajari membaca sandi dan peta pelarian sebelum tahu cara membaca dongeng.”
Ia menarik napas panjang, tapi dadanya tetap sesak.
“Aku gak pernah ingin bohong, Kay. Tapi aku juga gak tahu bagaimana caranya menyelamatkan kamu dari dunia yang mungkin akan menenggelamkan aku.”
Ia melangkah mendekat. Tangannya yang gemetar menyentuh dada Akay, seolah memastikan bahwa pria itu masih hidup… masih bersamanya.
“Aku mencintaimu. Mungkin dengan cara yang salah… mungkin dengan cara yang egois. Tapi perasaanku padamu nyata. Dan itu yang paling menakutkan bagiku.”
Ia menatap Akay, penuh luka dan rasa bersalah.
“Karena aku tahu… aku bisa saja jadi alasan kamu terluka. Atau bahkan… kehilangan nyawa.”
Air matanya jatuh deras kini, tak ada lagi yang ditahan.
“Tapi aku juga gak sanggup kehilangan kamu, Kay. Aku tak ingin kehilanganmu hanya karena masa laluku… hanya karena aku terlalu pengecut untuk jujur.”
Suara Aylin kini lirih, seperti bisikan doa.
“Aku tak ingin lagi kau terluka… karena aku.”
Akay menghentakkan langkah, tubuhnya menegang. Ia menatap istrinya dengan pandangan nyaris marah—marah bukan karena dibohongi, tapi karena diabaikan dalam pilihan.
“Apa kamu kira aku masih bisa hidup tanpamu?”
Suaranya rendah, tetapi gemuruh di dalamnya seperti badai.
“Kalau aku harus masuk neraka agar bisa tetap berada di sisimu, maka aku tak akan ragu. Aku akan masuk ke dalam neraka itu bersamamu, Ay.”
Aylin menggeleng pelan, air matanya semakin deras.
“Tidak, Kay. Kau tak boleh masuk ke neraka bersamaku--”
“Aku akan melakukannya,” potong Akay cepat. “Aku akan tetap pergi meski kau menghalangi. Kalau kita tak bisa keluar bersama...maka kita akan tenggelam bersama."
Aylin terisak. Ia jatuh berlutut di lantai, lututnya lemas, seluruh pertahanannya runtuh.
“Aku mencintaimu, Kay…” bisiknya, seperti menyerah pada ketakutan. “Dan itulah kenapa aku tak bisa membiarkan kamu terluka… apalagi kalau akulah yang jadi sebabnya.”
Akay mendekat, berlutut di hadapannya, lalu memeluknya erat.
“Kita selesaikan ini sama-sama,” katanya dengan suara parau. “Bukan kamu sendiri. Aku gak akan ninggalin kamu. Jangan paksa aku buat jadi penonton dalam hidupmu, Ay.”
“Aku bukan penonton. Aku bagian dari panggung itu.”
Aylin menggigit bibir, lalu akhirnya berkata di antara isak:
“Kau akan menyesal dan membenciku jika kita tak bisa keluar dari neraka itu…”
“Gak akan,” bisik Akay. “Yang aku benci cuma satu hal.”
Aylin menatapnya. “Apa?”
“Kalau kamu hilang dari hidupku.”
Aylin diam cukup lama, tapi matanya tak pernah lepas dari Akay. Dalam setiap kata, setiap tatapan, bahkan dari gestur tubuh Akay yang kini duduk dihadapannya dengan kedua tangan yang menggenggam jemarinya erat namun hangat, Aylin bisa merasakan satu hal yang tak bisa dipungkiri—cinta Akay tak pernah berubah. Bahkan kini, Aylin sadar... cinta itu semakin dalam.
Dan mungkin, sekeras apa pun Aylin mencoba memberikan seluruh cintanya, ia tak akan pernah bisa menandingi cinta sebesar itu. Cinta yang begitu tulus hingga berani menantang neraka hanya untuk tetap berada di sisinya.
"Aku akan cerita..." suara Aylin lirih, parau, seakan menyeret kebenaran dari kedalaman luka yang ia pendam. "Tapi setelah ini, jangan mencintaiku terlalu dalam lagi, Kay. Karena aku bahkan tak yakin bisa mencintai diriku sendiri setelah mengetahui rahasia ini."
Akay hanya menatap, diam, tapi sorot matanya menyuruh Aylin melanjutkan.
"Aku... tak sengaja menemukan liontin itu di brankas rahasia di rumah joglo nenek." Aylin menarik napas. "Brankas itu terbuka hanya karena sidik jariku. Seolah menungguku."
Ia membuka hoodie-nya dan mengambil liontin dari dalam saku bagian dalam, menatapnya seperti menatap sesuatu yang telah mengubah hidupnya.
"Aku menemukan liontin ini... dan selembar catatan lusuh," lanjutnya pelan. "Catatan itu hanya berisi satu kalimat."
Suara Aylin menurun, tapi Akay bisa mendengarnya jelas.
"'Hanya liontin ini dan darah cucuku yang bisa membuka rahasia yang terpendam—rahasia yang akan mengguncang dunia gelap dan terang.’”
Wajah Akay menegang.
“Dunia gelap dan terang?”
Aylin mengangguk. "Sejak itu, aku mulai mencari petunjuk. Aku... membuat duplikat liontin ini, di bengkel perhiasan langganan nenek. Pemiliknya adalah anak dari pembuat liontin aslinya."
“Dan dia nggak tahu apa-apa?”
“Hanya sedikit,” ujar Aylin. “Bahwa liontin ini akan memunculkan peta hanya jika ditetesi darah pemilik sejatinya. Tapi ternyata tak cukup dengan darah sembarang. Jika ditetesi darah yang salah… liontin ini membakar dirinya sendiri sebagai mekanisme pertahanan.”
Akay terdiam, gelisah. Ia menatap liontin itu seperti menatap bom waktu.
“Terus?”
Aylin menggigit bibir, suaranya mulai bergetar.
“Guruku bilang... liontin ini dibuat oleh Kurosawa, dibantu ilmuwan dari Eropa Timur. Mereka menyematkan peta berskala mikroskopik—micro-etching—di balik kristal glow liontin.”
“Kunci untuk membacanya hanya aktif saat terkena protein dalam darah… dan di waktu yang tepat.”
“Dan darahmu—"
“—adalah kuncinya,” potong Aylin pelan.
Sunyi menggantung. Lalu Akay bertanya,
“Gurumu siapa?”
Aylin ragu. Lama. Lalu menjawab dengan suara setengah berbisik.
“Mata Elang.”
Akay menegang seketika. “Sniper?”
Aylin menatapnya, terkejut. “Kau tahu?”
Akay menatapnya dengan sorot penuh luka dan ketegasan. “Kau lupa siapa ayahku dan ayah angkatku?”
Aylin bergeming. Jantungnya berdetak makin cepat.
“Mata Elang—penembak jitu terbaik yang pernah ada. Dia yang mengeksekusi pria itu... sebelum rahasia liontin terbongkar dalam pertemuan rahasia.”
Aylin ternganga. Otaknya mencoba menyatukan potongan-potongan kebenaran.
“Kau tahu tentang rahasia liontin ini?”
“Tidak semuanya.” Akay menggeleng. “Tapi banyak pihak yang mencarinya. Kami hanya tahu… kakekmu menyembunyikan sesuatu yang sangat berharga. Dan sesuatu itu… bisa mengguncang dunia gelap dan terang.”
Ia menatap Aylin dengan sorot tak biasa, seolah melihat istrinya dengan mata yang baru.
“Dan sekarang aku sadar… kau bukan cuma bagian dari rahasia itu.”
“Apa maksudmu…?”
“Kau adalah kuncinya, Ay.”
Ketegangan itu kembali mencekam. Tangannya terulur, mengusap pipi Aylin yang basah oleh air mata.
“Kau selama ini mencoba menanggung semuanya sendiri. Tapi tidak lagi.”
“Mulai sekarang, kita hadapi semuanya bersama. Bahkan kalau peta itu membuka pintu ke neraka sekalipun—aku akan tetap di sisimu.”
Aylin memejamkan mata, menggenggam tangan Akay.
“Kau terlalu baik untukku…”
“Dan kau terlalu keras pada dirimu sendiri.” Akay membalas.
Lalu Aylin berbisik, suara yang hampir hanya bisa didengar oleh dua hati yang saling terpaut:
“Kalau begitu… kita cari waktu yang tepat. Dan bukalah peta itu bersamaku.”
Dan di balik jendela apartemen yang diliputi bayang malam, angin membawa satu firasat gelap. Karena saat peta itu terbuka, dunia—baik gelap maupun terang—tak akan pernah sama lagi.
***
Rumah joglo tua itu masih berdiri anggun di bawah langit mendung. Aroma kayu jati yang lembap bercampur dengan wangi melati dari taman belakang menelusup lembut ke dalam rongga dada, membawa Aylin pada potongan kenangan masa kecil. Tapi hari ini, bukan nostalgia yang mereka cari—melainkan petunjuk, untuk membuka peta tersembunyi di liontin misterius peninggalan kakeknya.
Akay membuka jendela ukir yang menghadap langsung ke taman. Tatapannya tajam, menyapu tiap sudut, setiap lekukan rumah, mencari sesuatu yang mungkin dulu luput dari perhatian siapa pun—tapi menyimpan makna besar bagi mereka berdua.
“Di sini… semuanya dimulai,” gumam Aylin, jemarinya menyentuh kusen pintu tua yang telah kusam dimakan waktu. “Sejak liontin ini menyala… rasanya seperti ada yang menuntunku kembali ke rumah ini.”
“Kita cari setiap celah,” Akay menoleh padanya, suaranya rendah namun tegas. “Loteng, papan dinding, bahkan lantai kalau perlu. Kakekmu nggak mungkin sembarangan menyembunyikan rahasia.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍