Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH TIGA
Nara duduk di balkon kamar, menikmati hembusan angin sore yang sejuk. Dengan buku terbuka di tangan, cahaya matahari senja menyinari langit kota Semarang.
Terdengar deritan suara pintu balkon terbuka, terlihat sosok Gala masuk dengan langkah tegas, raut wajahnya menunjukkan kelelahan. Melihat suaminya pulang, Nara tidak beranjak atau menyambut. Sebaliknya, dia memalingkan wajah ke luar, seolah dunia di depannya lebih menarik daripada sosok yang baru pulang itu.
Gala, merasakan dinginnya sambutan sang istri,dengan lelah Gala menghela nafas,lalu ikut duduk di sebelah Nara dengan hati-hati.
"Kenapa tadi gak pulang bareng Mas,hem..?" suara Gala mencoba menembus dinginnya suasana. Nara menahan nafasnya, kemudian menatap Gala dengan tatapan yang tajam seperti belati.
"Hari ini, Prof sungguh menyebalkan," katanya dengan suara dingin, penuh kekesalan.
"Apa sih maksud dari sikap Prof itu? Tidakkah Prof lihat bagaimana seluruh mahasiswa di kantin tadi memperhatikan kita? Apa Prof sengaja ingin mempermalukan saya di depan semua orang dengan memberitahu bahwa Prof itu suami saya?" Nada suaranya meninggi, ketidakpuasan jelas terlihat dari setiap kata yang terlontar dari bibir Nara.
Serentetan pertanyaan itu bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi pula lemparan duri yang menusuk ke telinga Gala. Gala tersenyum memiringkan posisi duduknya ke arah sang istri.
"Bagaimana mungkin kamu menganggap semuanya sepeeti itu, Dek?" Gala menatap mata bulat Nara dengan lembut, suaranya terbungkus rasa kecewa.
"Apakah Prof benar-benar lupa bahwa pernikahan kita hanya...?" Suara Nara terhenti, seakan kata-kata selanjutnya terlalu berat untuk diucapkan. Gala menyela dengan suara yang tenang namun terdengar tegas.
"Hanya apa, Nara? Katakan." Dengan mata yang sembab dan bibir yang gemetar, Nara mendesis, "Bagi saya, ini semuanya terasa seperti lelucon yang kejam, Prof. Tapi tidak bagi Anda, bukan?" Gala mengambil nafas dalam, matanya tidak berkedip.
"Tentu tidak, Nara.Jika bagimu pernikahan ini sebuah lelucon,tidak untuk saya. Kamu tetap istri saya, dan saya akan selalu menjunjung tinggi marwahmu," ujar Gala dengan suara rendah.
"Ah, tentu sangat mudah bagi Anda untuk berkata demikian!" Nara membalas dengan nada sarkasme yang lebih tajam, matanya menunjukkan semburat kelelahan dan kekecewaan di sana.
"Anda menang menang banyak, dengan menikahi seorang gadis muda seperti saya, sementara saya? Saya mendapatkan suami yang usianya jauh lebih tua,dab lebih pantas menjadi omku" Gala tersenyum, meskipun hatinya terasa di tusuk belati.
"Nara, ini hanya tentang usia, toh kita sama-sama lajang, dan meski usiaku sebelas tahun lebih tua darimu,tapi jiwaku tetap mudah, aku bisa mengimbangimu," ledek Gala sambil terkekeh. Gala tetap duduk dengan penuh pengertian, mencoba merajut kedekatan.
"Garing sekali lelucon Prof,menyebalkan!" Nara berkata sambil memutar bola matanya. Gala tertawa kecil dan dengan gerakan cepat, menarik pinggang Nara dari belakang untuk mendekat kepadanya.
"Bibir cantikmu ini, masih suka bersinisme? Atau mungkin perlu 'pengingat' dari suamimu lagi?" bisik Gala dengan nada menggoda, napasnya hangat di leher Nara. Nara menatap Gala dengan pandangan tajam, dan dengan kekuatan penuh, ia menyikut perut Gala, tepat di ulu hati.
Gala langsung terengah-engah,dengan membungkuk menahan rasa sakit di dadanya, dan pelukannya terlepas, wajahnya pucat pasi.
"Prof, jangan buat saya takut seperti itu,dong" ucap Nara, suaranya bergetar sedikit, sambil menepuk-nepuk pipi Gala yang dingin.
"Prof!" panggilnya lagi, namun tidak ada respons dari Gala.
"Ah, apa jadinya jika dia benar-benar mati, haa..masak aku jadi janda diusia muda" gumam Nara dalam ketakutan yang meluap, suasana menjadi caos.
Dengan tergesa-gesa, Nara berlari ke dapur, mengambil sebuah gayung berisi air, berharap dapat membawa Gala kembali ke kesadaran. Namun, saat Nara kembali, ia mendapati bahwa Gala tidak ada di mana-mana.
"Hee... kemana dia?" tanya Nara, rasa paniknya tergambar jelas di wajahnya yang bingung.
Nara melangkah mundur dengan gayung berisi air di tangannya. Saat langkah ke tiga, punggung Nara menabrak sosok tinggi di belakangnya.
Perlahan Nara mendongak dengan pandangan tajam, menatap Gala yang merangkulnya erat.
"Sedang mencari suamimu..?" bisik Gala.
"Lepasin..." desah Nara, berusaha membebaskan diri dari pelukan, namun Gala seolah tak terpengaruh.
"Huuh...dia benar-benar menyebalkan," keluh Nara dengan nada frustasi, namun Gala hanya tersenyum simpul, kepuasan terpancar di wajahnya.
"Aku akan terus menyebalkan sampai istriku ini benar-benar lelah menerima semua keusilanku," bisik Gala dengan nada penuh cinta, seraya menyisir rambut Nara ke belakang telinganya dengan lembut. Dalam sekejap, Gala mencuri kesempatan mencium bibir Nara dengan cepat.
Nara yang terkejut segera bereaksi; dengan reflex, kakinya melangkah mundur dan menginjak kaki Gala dengan keras. Lalu menyiram kepala Gala dengan air yang ia bawa.
"Prof... apa yang Anda lakukan," teriak Nara, menyentuh bibirnya yang masih terasa hangat. "Mencium istriku," jawab Gala santai, sebelum melenggang menuju kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, Nara mendengus keras, menarik bantal dari sofa, dan melemparkan bantal itu ke arah Gala yang sudah jauh.
Gala terkekeh, sorot matanya menyala penuh bahagia saat menyaksikan raut wajah manyun Nara, istrinya yang tersayang. Seraya bibirnya mengembang dalam senyuman, Gala tidak pernah merasa terganggu oleh segala penolakan yang dilayangkan Nara. Justru semakin besar penolakan itu, semakin terbakar semangatnya untuk terus menggoda,dan mendapatkan kembali cinta .
"Nanti malam, Prof tidur di luar! Aku tak akan memaafkanmu lagi jika kamu mengulangi perbuatan mesummu itu" ujar Nara dengan nada tegas yang sarat akan emosi, matanya menyala.
Suaranya bergema, mengukir ketegangan di udara yang sebelumnya dipenuhi canda tawa. Dia masih terpukul karena ciuman pertamanya dicuri begitu saja oleh pria yang kini menjadi suaminya, Prof Gala,dosen yang Nara benci.
Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit Semarang yang kini mulai gelap. Gala, dengan raut wajah penuh usaha berdiri di depan pintu kamar mereka. Tangannya berkali-kali mengetuk pintu dengan lembut, suaranya berusaha sehalus mungkin mencoba meredam amarah Nara yang terdengar dari balik pintu.
"Dek... Mas udah ngantuk, bisa bukain pintunya," pinta Gala dengan suara yang dibuat memelas,agar Nara berubah pikiran, matanya menatap nanar pada pintu yang tetap tertutup.
"Gak, pokoknya Prof tidur di luar, itu hukuman untuk pria mesem sepertimu," seru Nara, suaranya tegas dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan melunak.Gala menghela napas panjang, merasakan tubuhnya yang lelah bercampur kantuk.
"Oke baiklah, Mas salah, mas akan terima hukuman darimu," ucapnya dengan suara rendah, menyerah pada situasi.Di tengah kesunyian malam akhirnya, Gala membaringkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah, memeluk erat bantal sofa seolah itu satu-satunya teman sejatinya.
Ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam, Nara melangkah keluar untuk mengambil air minum, namun pandangannya terhenti pada pemandangan yang tidak biasa—suaminya yang terlelap.
Dengan bibir mengerucut dan rasa gemas yang memuncak, Nara berbisik sinis.
"Emmm.. rasain, emang enak." Kemudian, dengan gerakan yang penuh emosi, dia menjitak kening Gala, berharap keras bahwa tindakannya itu tidak akan membangunkan sang suami. Namun, saat ujung jari Nara baru saja menyentuh kulit kening Gala, secara tak terduga, mata Gala terbuka lebar.
Dalam sekejap, dengan refleks yang tajam, Gala menarik tangan Nara hingga tubuhnya terjungkal, jatuh tepat di atas dada Gala. Mereka terdiam, saling menatap dalam keheningan yang tiba-tiba saja menjadi penuh kecanggungan.
Mata mereka saling terkunci. Ruangan yang sebelumnya sunyi, kini dipenuhi dengan denyut jantung yang kian memuncak.