Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Nirma cepat-cepat menghapus kasar air matanya, menarik napas panjang guna menenangkan diri, lalu berdiri dan membuka pintu.
“Ada apa ya, Bu?” tanyanya parau kepada ibu pemilik kontrakan, yang rumahnya hanya berjarak 100 meter dari huniannya.
“Kau habis menangis?” si ibu menelisik wajah sembab yang masih terlihat basah bekas air mata.
“Pasti berat bagimu ditinggal Wak Sarmi, ya? Saya pun sama, bila kau pergi bekerja … dia pasti main ke rumah sambil menggendong Kamal, kami bercengkrama sampai terkadang lupa waktu,” katanya seraya tersenyum seolah membayangkan momen indah yang telah berlalu.
Nirma mengangguk, ia setuju. Wak Sarmi memang se-menyenangkan itu dijadikan teman ngobrol. “Ibu ada keperluan apa? Atau mau masuk main dengan Kamal?”
“Apa tak apa saya masuk disaat kau lagi sedih?” tanyanya tak enak hati, merasa salah waktu saat ingin bertamu.
“Tentu tidak, Bu. Saya malah senang ada teman yang bisa di ajak bicara. Biar pikiran ini tak kemana-mana,” aku nya lirih, lalu membuka lebar daun pintu, mempersilahkan wanita paruh baya berpakaian daster motif bunga sulur dan berambut pendek itu untuk masuk.
Dengan senang hati Bu Mar masuk, ia langsung mengusap pucuk kepala Kamal yang bermain mobil-mobilan pemberian sang ayah.
“Banyak sekali mainanmu, Nak? Boleh tak Nenek pinjam?” tanyanya dengan telapak tangan saling bertumpu.
Kamal yang pintar, ia mengerti arti tangan itu, mengambil mobil lainnya dan memberikan kepada nenek yang sering bermain dengannya kala sang ibu pergi bekerja.
“Masya Allah, pintar sekali anak tampan ini. Terima kasih, Kamal.”
Bayi lucu itu tersenyum, menjadikan celah sumbing nya tampak semakin lebar.
Nirma yang memperhatikan interaksi di depannya, mengulas senyum haru, dalam hati mengucapkan puji syukur, masih ada orang tulus mau menerima sang putra tanpa pernah membahas kekurangannya apalagi ikut mencela.
“Nirma ….” Bu Mar menoleh ke arah Nirma, tangannya masih menjalankan mobil-mobilan bersama Kamal.
“Ya, Bu?”
“Macam mana bila kau pergi bekerja? Kamal mau titipkan ke siapa?” tanyanya lirih.
Nirma pindah duduk, menjadi lebih dekat dengan Kamal dan si ibu. Ragu-ragu ia menyampaikan maksud hati. “Bu … apa ibu bersedia menjaga Kamal selagi saya bekerja?”
Gerakan tangan itu terhenti, bu Mar menatap serius wajah Nirma, senyum senang terbit di bibir bertekstur kering. “Kau serius mau menitipkan Kamal kepada saya, Nirma?” tanyanya tidak percaya.
“Iya Bu, tapi bila ibu tidak keberatan,” katanya sungkan.
Bu Mar meraih tangan Nirma, menggenggam erat. “Niat saya berkunjung ke sini, karena ingin menawarkan diri menjaga Kamal. Kau kan tahu sendiri, bila saya hidup seperti sebatang kara. Anak, menantu, dan cucuku, saat lebaran saja baru menyambangi wanita tua ini. Jadi, saya lebih dari setuju, Nirma.”
“Alhamdulillah.” Tanpa sadar Nirma memeluk Bu Mar, perasaannya sedikit lega, rasanya beban pikiran terangkat separuh. “Terima kasih, Bu. Sebelumnya saya bingung sekali hendak bagaimana.”
“Kita kan tetangga, sudah semestinya saling tolong menolong bukan?” Bu Mar melerai pelukan mereka.
“Maaf, untuk bayarannya kira-kira Ibu meminta berapa ya?” Nirma berucap lirih dengan pandangan sungkan.
Kening bu Mar mengernyit, sudut matanya menyipit, kemudian senyum ramah terbit, ia menepuk lengan wanita yang duduk di hadapannya, paham sekali bila Nirma mengkhawatirkan soal upah menjaga bayinya. “Tak perlu merisaukan soal gaji, imbalan, atau apapun tu namanya! Saya ikhlas menjaga Kamal, malah senang sekali karena seperti memiliki sosok cucu nyata, bukan cuma bisa mendengar suaranya saja melalui sambungan telepon, itupun hanya sesekali mereka mengabari.”
Nirma menatap tidak percaya. “Ibu yakin tak ingin di_”
“Demi Tuhan! Sepersen rupiah pun Ibu tak mau. Cukup doakan saja semoga saya sehat selalu dan dipanjangkan umurnya,” pintanya lembut.
“Masya Allah, terima kasih Bu. Terima kasih sekali.” Nirma mencium punggung tangan bu Mar.
Perasaan ibu hebat itu menjadi lebih baik daripada sebelumnya, setidaknya ada seseorang yang ia percayai untuk menjaga sang putra selagi dirinya bekerja. Terlebih, Kamal cukup dekat dengan Bu Mar.
Setelahnya mereka mengobrol ringan sambil menemani Kamal bermain.
“Lama-lama rumah ini akan penuh dengan mainannya Kamal ya, Nir?” tanyanya seraya melihat lantai pojok ruangan yang terdapat banyak mainan Kamal.
Nirma tersenyum masam, ia pun ikut melihat dua kotak besar berisi mainan Kamal, belum lagi yang berserak hampir di setiap sudut, dari berbentuk kecil hingga besar. “Seandainya saja saya tak menegur ayahnya Kamal, mungkin kini tak ada tempat untuk kita duduk, Bu. Setiap Beliau datang, ada saja mainan baru yang di bawanya.”
“Terlihat sekali bila Beliau begitu menyayangi Kamal, walaupun saya jarang bertegur sapa dengannya. Tapi, sering melihat sosoknya menggendong anakmu, mengajak mengobrol, bahkan tak jarang mendengarnya berkata ‘Anak Ayah hebat’. Beruntung sangat Kamal dicintai, disayangi, seseorang yang begitu baik macam Juragan Byakta,” puji bu Mar tulus.
Nirma tidak tahu harus menanggapi bagaimana, jadinya ia hanya mengangguk antusias.
Bu Mar sendiri mengetahui bila status juragan Byakta hanya ayah angkat, selebihnya ia tidak tahu, dan memang enggan mencari tahu, dikarenakan setiap orang berhak memiliki privasi.
Hari sudah menjelang sore, bu Mar pamit pulang.
Nirma sendiri bersiap memandikan Kamal, setelahnya hendak memasak untuk makan malam.
.
.
“Rumah ini terasa sepi sekali ya, Dek? Biasanya ada Nenek yang suka mengomel bila Kamal susah makan, dan ibu sulit di nasehati,” sambil menyuapi Kamal makan bubur berkuah kaldu ikan, ia sendiri juga ikut mengunyah nasi campur rebusan sayur bayam dan sebutir telur Ayam.
Nirma merasakan kehilangan, ia tak lagi memiliki teman mengobrol di malam hari, hanya ada Kamal yang mengoceh tidak jelas.
“Yah … Yah ….” Kamal memukulkan sendok nya di atas semen sampai terdengar suara nyaring.
“Dek, yang mengandung mu selama 9 bulan tu Ibuk, melahirkan dan menyusui juga Ibuk, tapi mengapa selalu nama Ayah yang kau sebut? Lantas, panggil ibuknya kapan, Kamal?” Nirma yang frustasi menjatuhkan diri di atas tikar.
Kamal tertawa terpingkal-pingkal, mengira sang ibu sedang mengajak bercanda, padahal tengah kesal dikarenakan dirinya yang hampir setiap waktu memanggil sang ayah.
***
Pagi hari.
Nirma sudah bersiap hendak berangkat kerja, ia kembali memeriksa tas besar berisi keperluan Kamal.
“Nak … baik-baik ya dengan Nek Mar, nanti siang Ibuk pulang sebentar main dengan Kamal.” Nirma mengeratkan gendongannya, lalu menutup dan mengunci pintu.
“Assalamualaikum, Bu!” sapanya saat melihat bu Mar sudah menunggu di teras rumahnya.
“Walaikumsalam. Cucu Nenek sudah mandi ternyata, mana tampan sangat lagi.” Bu Mar mengambil Kamal, mencium pipi berbedak bayi.
Tidak lama kemudian Nirma berangkat kerja, berjalan dengan langkah sedikit cepat, ia takut terlambat dikarenakan tadi sempat menenangkan sang putra terlebih dahulu agar mau ditinggal.
Wanita berpakaian baju dinas itu memasuki bagian depan rumah sakit, belum juga ia sempat menyapa rekan sejawat, sudah disambut oleh seruan nyaring sang mantan sahabat.
“Wee! Bila ada wanita hamil belum genap sembilan bulan sudah melahirkan, kemungkinan penyebabnya itu apa ya …?”
.
.
Bersambung.
Teruntuk Kakak yang baik hati❤️
Saya ingin menyampaikan, bila alur Nirma ini sengaja dibuat tidak serunut Dhien, yang di karya GAMALA.
Tujuannya biar beda saja! Jadi, bisa dinikmati tanpa membaca karya pertama dulu😘
Salam sayang untuk Kakak semuanya 🫂🥰❤️
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆