Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Masa Lalu dan Tawa yang Mengikat
Setelah liburan yang penuh kekonyolan dan kehangatan, ada satu hal yang perlahan berubah, perasaan Bu Arin. Ia mulai melihat sisi lain dari Pak Arkan. Bukan hanya sebagai guru muda yang cerdas dan berdedikasi, tetapi juga sebagai sosok hangat yang mampu menyentuh hati dengan cara sederhana.
Hari-hari di sekolah kembali seperti biasa, namun kini ada percakapan-percakapan kecil antara mereka berdua. Mulai dari obrolan ringan di ruang guru, hingga saling bertukar pesan tentang pendidikan dan... hal-hal pribadi.
Suatu sore, saat siswa-siswa sibuk merapikan ruang kelas untuk acara pembagian rapot semester, Pak Arkan memberanikan diri mengajak Bu Arin makan malam.
“Ibu... bagaimana kalau kita lanjutkan obrolan waktu itu... tapi kali ini, tanpa mereka yang intip-intip dari balik pohon?”
Bu Arin tertawa. “Akhirnya ajakan makan malam itu benar-benar datang juga.”
Mereka pun sepakat bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang di pusat kota. Tempat itu bernuansa hangat, dindingnya penuh buku dan lampu-lampu temaram yang membuat suasana akrab.
Di malam itu, mereka berbincang panjang. Tentang pendidikan, tentang impian... dan masa lalu.
Pak Arkan tertawa kecil, lalu mulai membuka cerita,
“Saat SMA dulu, saya pernah mencoba jadi ketua OSIS. Tapi waktu kampanye, saya malah salah sebut nama sendiri di depan umum. ‘Saya, Arkan... eh, Ar... Arok? Astaga, saya lupa nama saya sendiri!’”
Bu Arin tertawa keras. “Serius? Itu tidak mungkin!”
“Dan pernah suatu kali, saya ikut lomba puisi. Tapi saya malah baca puisi cinta ke arah kepala sekolah. Karena naskahnya ketukar dengan naskah temen saya yang sedang jatuh cinta.”
Suasana malam itu dipenuhi tawa. Bu Arin menatap Arkan dengan hangat,
“Pak Arkan yang saya kenal di sekolah sangat tenang dan teratur. Tapi ternyata masa lalunya... seperti murid-murid kelas 3A.”
“Yah,” kata Arkan, “mungkin itu sebabnya saya bisa tahan menghadapi mereka. Karena saya pernah jadi mereka.”
Malam semakin larut, tapi obrolan tak juga habis. Bukan karena banyak cerita, tapi karena ada rasa nyaman yang tumbuh di antara tawa dan kesederhanaan. Rasa yang tak lagi bisa disembunyikan oleh senyum sopan atau tatapan singkat.
Dan sebelum mereka pulang, Bu Arin berkata pelan,
“Terima kasih sudah berbagi. Saya rasa... saya mulai mengerti kenapa anak-anak begitu menyayangi Bapak.”
Pak Arkan tersenyum. “Dan saya mulai paham kenapa saya ingin terus mengajak Ibu bicara.”
Malam itu bukan hanya tentang makan malam. Tapi tentang dua hati yang perlahan saling membuka.
Hari-hari setelah makan malam itu membawa perubahan kecil yang berarti bagi Bu Arin. Senyum yang biasanya hanya muncul saat rapat selesai lebih awal, kini perlahan mulai menghiasi wajahnya lebih sering.
Tapi tidak banyak yang tahu, di balik sosoknya yang tegas dan cermat, tersimpan kisah yang telah lama ia pendam.
Suatu sore, saat mereka duduk berdua di taman sekolah setelah kegiatan evaluasi semester, Pak Arkan bertanya pelan,
“Bu Arin, kalau saya boleh tahu… apa Ibu selalu seceria ini dulu?”
Bu Arin tersenyum tipis, memandang langit senja yang menggantung tenang.
“Dulu... saya termasuk orang yang periang, Pak Arkan. Saat SMA, saya aktif di teater, debat, bahkan pernah ikut lomba stand-up comedy antar sekolah.”
Pak Arkan terkejut. “Wah, yang terakhir itu saya tidak menduga sama sekali.”
“Tapi seiring waktu... banyak hal berubah. Saya sering dikhianati, baik oleh teman dekat, bahkan orang yang saya percayai. Sejak saat itu, saya membatasi diri. Jarang tertawa... jarang membuka hati.”
Pak Arkan terdiam. Ia mendengarkan dengan tulus, tanpa menyela.
“Sampai akhirnya saya ditempatkan di sekolah ini. Awalnya saya kira ini hanya tugas rutin. Tapi entah kenapa... setiap hari, saya melihat hal-hal yang membuat saya tertawa, walau diam-diam. Kekonyolan murid-murid. Kepolosan mereka. Dan… cara Pak Arkan menghadapi mereka.”
Arkan tersenyum hangat. “Saya senang kalau tawa Ibu bisa kembali. Dunia Ibu terlalu indah untuk dikurung dalam sunyi.”
“Terkadang, saya tidak percaya bisa tertawa lagi. Tapi… bersama Bapak, rasanya semua jadi mungkin.”
Di antara suara anak-anak yang bermain bola di kejauhan, senja itu menjadi saksi satu hal: sebuah luka masa lalu tak harus dilupakan lalu cukup disembuhkan. Dan tawa bisa jadi obat yang paling ampuh.
Tawa itu kini tidak lagi asing bagi Bu Arin. Ia sudah pulang, dari murid-murid untuk Arkan dan Arin!
Pak Arkan berbicara dengan gugup."besok ibu datang ke sekolah kan ?"
"mulai sekarang jangan panggil ibu, kita seumuran." ucap Arin tersenyum.
"baa. baiklah Arin." ucap arkan gugup.
suasana hening sejenak."besok, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu Arin."
...----------------...
Suasana sore di sekolah Harapan Nusantara terasa lebih hangat dari biasanya. Langit senja mulai menumpahkan warna oranye keemasan, dan angin sejuk menyapu pelataran sekolah. Pak Arkan berdiri canggung di bawah pohon besar dekat taman belakang sekolah, menunggu seseorang.
Tak lama kemudian, Bu Arin datang dengan langkah pelan, mengenakan blouse biru dan senyum tipis di wajahnya.
“Pak Arkan, katanya ingin bicara?”
Pak Arkan mengangguk, menelan ludah pelan.
“Saya… saya tahu ini mungkin terdengar tidak biasa, apalagi mengingat posisi kita sebagai pendidik. Tapi setelah semua waktu yang kita lewati bersama, melihat cara Bu Arin membimbing siswa, menyemangati mereka, dan juga… membuat saya ikut tertawa kembali… saya sadar, saya menyukai Bu Arin.”
Bu Arin terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Saya juga merasakannya, Pak. Sejak awal, saya kagum dengan cara Bapak mendidik mereka. Dan entah sejak kapan, hati saya mulai merasa… nyaman.”
Mereka saling menatap. Untuk sejenak, dunia seolah berhenti berputar.
Namun tanpa mereka sadari, di balik semak taman, 10 siswa pasang mata sedang mengintai.
“Woiiiiii!!! Akhirnyaaaaa Komandan!!!” teriak Jaka, diikuti suara Reza yang berbisik, “Plan C sukses besar!”
Para siswa meloncat keluar dari persembunyian mereka seperti pasukan penyergap. Ada yang membawa bunga plastik, ada yang meniup terompet bekas ulang tahun, bahkan Deri membawa banner bertuliskan: Pak Arkan & Bu Arin Forever!
Pak Arkan dan Bu Arin melongo.
“Dari kapan kalian nguping?” tanya Bu Arin sambil menutup wajahnya malu.
“Dari kata ‘saya menyukai Bu Arin’, Bu!” seru Dina dengan gaya dramatis.
Cindi menambahkan, “Akhirnya ada juga kisah cinta guruku!”
Sinta dan Dina saling tos, sementara Reza sudah siap merekam reaksi mereka.
“Ini bisa viral, Pak. Tapi tenang, kami kasih filter aesthetic.”
Pak Arkan tertawa. Bu Arin ikut tersenyum lebar.
Hari itu, bukan hanya tawa dan cinta yang memenuhi udara, tapi juga kebersamaan yang tulus. Cinta tumbuh bukan hanya di antara dua guru, tapi juga di antara seluruh penghuni sekolah yang selama ini saling menguatkan, dalam suka dan konyol.