Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 9
"Soal Puja ... lu serius mau lepasin dia?”
Pertanyaan itu sukses mengganggu aktifitas Kavi yang tengah serius memandangi layar laptop menyala di hadapannya.
Pekerjaan kantornya tiba-tiba tak lagi menarik untuk dilihat, Arjuna mengubah tema.
Kavi terpekur diam. Dari gulir matanya, menunjukkan bahwa dia sulit menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Atau mungkin sudah punya jawaban, tapi enggan untuk melontar.
Arjuna masih menunggu seraya terus mengamati. Kedua tangan bersilang di depan dada dan kaki bertumpang, sedangkan punggungnya tersandar sofa. Tak butuh waktu lama menilai, seulas senyum menghias wajah, dia sudah memetik pemahamannya sendiri dari raut si Kavi itu.
Kavi ... berdetik waktu dihabiskan untuk mengacak isi pikirnya, namun pada akhir ... "Ngapain lu nanya itu?” Pandangannya kini mengarah pada layar, tapi sama sekali tak masuk perhatian yang sepenuhnya sudah teralih.
Arjuna menarik sudut bibirnya lebih lebar dari yang tadi. "Lu udah tau alesannya."
Kavi menoleh dan menatapnya lagi, tapi tak mengatakan apa pun. Kemudian kembali membuang wajah pada layar yang masih sama.
“Setelah lu bilang mau mencampakkan dia, gua jadi beneran tertarik sama Puja.”
Melengak, gulir mata Kavi menyapu wajah Arjuna yang tiba-tiba sangat serius. Dia mencari kejujuran atas ucapan sahabatnya barusan itu. Hasilnya tidak ditemukannya kebohongan atau bercanda walau sebutir debu. Dari pancaran itu lahirlah kebingungan seperti kabut di kepala Kavi, apa kata yang tepat untuk membalas ucapan Arjuna.
Kediaman itu jelas.
Tak sulit untuk ditebak, Arjuna sudah bisa membaca semua. Dia sangat mengenal Kavi sebaik Kavi juga mengenalnya. Kavi terlalu naif dan penuh kepura-puraan sekarang.
“Tapi ...." Sebentar saja Arjuna menggantung kalimat, lalu meneruskan sekian detik kemudian, “Gua cuma akan maju, kalo lu beneran mundur dan lepasin dia. Kecuali lu berubah pikiran, yang gua ambil adalah kebalikan dari itu.”
Sesederhana deretan kalimat yang diucapkan Arjuna, Kavi tentu langsung mengerti. Arjuna tidak akan pernah menikung dengan cara kotor.
Berbicara menikung, sedari dulu tema itu tak pernah ada di antara keduanya. Baru kali ini mereka terhubung dengan satu wanita yang sama, dan itu cukup terasa aneh.
“Gua deketin dia cuma mau berteman dan sedikit mengenalnya lebih jauh. Sementara ini, sebelum lu bener-bener lepasin dia.”
Kavi terempas lagi, menelan ludah dalam diam sembari membuang wajah, dia merasakan hatinya mulai tak baik-baik saja menyikapi pembicaraan ini. Ingin berkelit banyak, tapi terlalu sulit menyembunyikan apa pun dari seorang Arjuna yang teliti dalam segala hal.
“Lu gak akan sampein apa pun sama gua?" tanya Arjuna, melihat Kavi terus saja diam tanpa membalas atau menghardik seperti biasa.
“Lu bener," kata Kavi seusai menatap Jun beberapa saat, tersenyum kecut lalu menyambung lagi, “Gua jadi mendadak tolol." Sebentar diam kembali untuk berpikir. “Setelah kejadian Puja ketembak gantiin gua, perasaan gua terus kacau, Jun. Tapi ... itu bukan berarti gua langsung suka dia dan nambat hati gitu aja. Gua cuma merasa bersalah karena dia jadi terluka tembak gara-gara gua.”
Tanggapan Arjuna malah terkekeh dan geleng-geleng.
Mendengar kekehan Arjuna yang Kavi tahu jelas apa artinya, lekas dia menetralkan wajah kembali dengan tarikan napas dan mengembuskan kasar.
"Yang lu lakuin udah bener, Jun. Kenali dia jauh dan rebut hatinya segera agar perempuan itu gak terlalu sedih saat gua campakkan nanti."
Luar biasa, Arjuna seperti baru saja mendengar lagu lama yang muncul kembali. Posisi dirubahnya lebih menegak, melepas tautan kedua tangan yang bersilang.
Itu seharusnya adalah kabar yang menyenangkan bagi dia yang menyukai Puja, tapi entah otaknya malah mencerna sebaliknya. Puja yang manis itu terdengar menyedihkan berada dalam pandangan Kavi yang demikian.
Kelam auranya terhadap Kavi seperti akan menusuk pria itu dengan tatapan.
“Ngapa lu liatin gua kayak gitu?” tanya Kavi. Ekspresi Arjuna seperti cuaca.
"Lu yakin sama yang lu bilang barusan?" Arjuna balik bertanya.
"Umm ... yakin lah!” Kavi mendadak merasa terintimidasi.
Tapi perasaan itu lekas terkikis karena cuaca di wajah Arjuna berubah lagi. Atmosfer kelam hilang dalam sekejap. Raut wajahnya tiba-tiba berganti seperti ledakan kembang api di langit luas.
"Kalo gitu makasih, Bro. Gua bakal dengan senang ati nadah dia ke pelukan yang lebar ini.” Dia menepuk dadanya saat mengatakan itu. “Dan yang terpenting ... gua akan bikin dia merasa lebih berharga di banding sama lu.”
Setengah mati Kavi terkesiap, tapi dengan cepat mengatur rautnya. "Uhh, i-iya. Tentu harus lu kayak gitu. Lakuin apa pun yang lu mau sama dia, bagusin cara biar tu anak lupa sama pesona gua yang bersinar ini!"
“Cih!" cibir Arjuna mengangkat sebelah bibir atasnya.
"Janji lu gak akan berubah komit?" tanyanya memastikan terakhir kali.
"Ya. Lu bisa pegang kata-kata gua."
"Oke. Kavi Manggala, gua percaya sama lu. Mulai sekarang, gua akan memperjuangkan bekas bini lu, bini sebatas kertas." Arjuna merasakan peluang besar.
Senyuman yang seolah tak peduli lagi, tapi dalam pikirannya, Kavi menggaris bawahi kalimat akhir Jun barusan itu.
Bekas istri yang hanya ada dalam status selembar kertas. Jalan dua minggu pernikahan ini, sama sekali dia dan Puja masih terjaga di masing-masing batas. Arjuna benar lagi.
“Saat bareng gua nanti, dari baskom cucian penyok, Puja akan berubah jadi putri dengan mahkota yang paling cantik.”
"Ya, memahkotai baskom adalah perbuatan yang paling mulia sepanjang zaman,” komentar Kavi meledek.
“Dan cuma gua yang bisa ngelakuin itu.”
"Udah, udah! Sebaiknya kita kembali ke masalah penembak. Jimmy udah kirim video-nya ni,” ujar Kavi menutup candaan mereka sembari melihat kiriman Jimmy di laptop yang sama. Tapi lebih tepatnya ... dia menghindari pembicaraan yang mulai membuat tak nyaman.
“Lu bener,” Jun setuju. "Kita harus segera temuin tu brengsek. Dia udah bikin puja gua terluka kemaren." Pria itu bersikap seolah Puja sudah sah jadi hak miliknya.
Kavi tersenyum sumbang, sangat samar hingga Arjuna tak menyadari.
“Lu belum sempat nanya kan kenapa Puja ada di sana saat kejadian?" tanya Arjuna sembari mengamati video di layar menampilkan rekaman cctv parkiran kantor yang beberapa saat dikirim Jimmy.
"Ya," jawab singkat Kavi
Jun mengangguk-anggukan kepala, sudah menduga hal itu.
"Puja ada urusan pekerjaan sama Jimmy di divisi lain, dan si Jimmy ini mau nganterin di pulang. Karena itu mereka ada di parkiran yang kebetulan lu juga ada di sana. Puja jelasin waktu di rumah sakit kemaren.”
Tanggapan Kavi hanya manggut sekilas.
"Selain sinar merah laser yang Puja liat mengarah ke badan lu, dia juga nangkep bayangan seseorang bersembunyi di mobil ini." Telunjuk Arjuna menunjuk layar. "Tapi sayang, cctv gak rekam sosok brengsek ini dengan jelas. Kayaknya orang itu udah hafal bener tiap bagian di parkiran kantor lu. Dia pilih tempat yang gak tersorot kamera.”
Kavi bermain pikir mendalam. Didukung kernyitan tebal di kening, matanya memerhatikan video dengan sangat serius. "Orang ini beneran mau gua mati, ya?" katanya, memiringkan kepala untuk memperkuat pemikirannya. "Mungkin semua kejadian buruk yang nimpa gua selama ini, ada ...." Wajahnya mendongak pada Jun, meminta pendapat tentang teori-nya.
Arjuna membalas tatap, kini keduanya saling berpandangan.
"Itu masuk akal." Arjuna sependapat. "Kita harus cari bukti yang banyak buat menghubungkan semuanya. Sampe sini, polisi juga harus terlibat."
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..