Si Villainess tiba-tiba berubah?
Yrina Lavien, si penyihir yang dapat julukan Gadis Beracun sangat mencintai Anthony, Si Putra Mahkota, namun Anthony mencintai Margareth Thatcher. Suatu malam, Yrina tak sadarkan diri dan dia berubah ketika dia bangun. Dia yang awalnya suka pada Bunga Lily of The Valley jadi menyukai Bunga Mawar, dia yang dulunya tergila-gila pada Anthony malah jatuh hati kepada Dimitry Thatcher, kakak laki-laki Margareth yang telah 'merebut' kekasihnya. Dengan dalih 'lupa ingatan' dia benar-benar berubah. Tak banyak yang tahu, jika Yrina Lavien bukanlah dirinya yang asli dan merupakan jiwa lain yang sedang bertransmigrasi. Kini, Yrina yang baru hanya ingin hidup tenang. Mampukah dia mewujudkannya jika dia menjadi gadis paling dibenci dan paling jahat di seluruh kerajaan? Lalu sebenarnya dimanakah jiwa Yrina yang asli?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Venus Earthly Rose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Agar Seperti Kau, Tapi Masih Aku
Sepanjang perjalanan kembali ke menara sihir. Aku dan Galliard tak banyak bicara di dalam kereta. Kami duduk berdampingan sedangkan papa duduk di hadapan kami. Papa masih sebal dengan apa yang terjadi di ibukota dan terus mengomel sepanjang perjalanan. Yang bisa kami lakukan hanya menunduk dalam diam dan mendengarkan omelan papa. Papa membahas banyak hal, yang paling ingin papa tekankan adalah agar Galliard bisa menjaga Yvanna dan aku yang hilang ingatan, sedangkan aku, harus bisa menyesuaikan diri dan jangan terlalu banyak bertindak gegabah. Namun, papa tetap bangga karena aku telah membela Yvanna. Papa sedikit tersenyum saat mengatakannya dan ekspresinya kembali mengeras saat membahas yang lain.
Saat aku melewati air terjun itu lagi. Aku kembali terkesima. Tempat itu cantik sekali. Rasanya seperti menarikku agar pergi ke sana. Gemericik air dan lembabnya bahkan bisa kurasakan di kulitku. Terasa begitu mendinginkan hati. Saat aku menoleh ke Galliard, dia hanya memandang keluar jendela dengan tatapan bosan. Mungkin dia sudah terbiasa melihat air terjun itu, tidak sepertiku. Namun, kurasa sampai kapanpun aku takkan pernah bosan memandanginya. Pasti airnya terasa begitu dingin dan sejuk. Aku memejamkan mata, membayangkan dinginnya air itu membasahi tubuhku. Riak air seakan berada di sekelilingku, seakan aku ingin masuk ke dalam sungai. Aku seketika membuka mata. Apa saja yang baru saja ku bayangkan? Aku sama sekali tak bisa berenang dan malah punya cita-cita masuk ke air. Aku kembali melihat keluar jendela. Pemandangan air terjun itu mulai menjauh dari tangkapan mataku. Aku akan mengunjungi tempat itu suatu hari nanti.
Sesampainya di menara, aku langsung meminta waktu untuk bicara dengan mama dan papa, mereka mengajakku berbicara di ruang kerja papa. Sebenarnya daripada disebut sebagai ruang kerja, tempat itu lebih mirip disebut sebagai perpustakaan. Ada banyak rak yang dipenuhi buku di sana meskipun tak sebanyak dan seluas perpustakaan menara. Perpustakaan menara sihir benar-benar luas dan lebih luas dari perpustakaan istana. Mereka bilang barang-barang sihir Yrina juga mereka simpan di ruang kerja papa dan aku bisa menggunakannya kapanpun aku mau karena sekarang semuanya menjadi milikku. Namun, aku menolaknya.
Aku ingin menggunakan barang-barang milikku sendiri. Aku katakan dengan jujur jika aku ingin mempelajari sihir di dunia ini dan mereka setuju dengan senang hati. Dibentuklah jadwal sihir untukku. Di Hari Senin, aku mempelajari Sihir elemental dengan papa, di Hari Selasa aku belajar Sihir Pemanggilan dengan mama, di Hari Rabu aku belajar Sihir Pengendalian bersama Galliard, Hari Kamis aku belajar Sihir Dimensi bersama Yvanna dan Hari Jumat aku belajar Sihir Dasar bersama Nenek Kanna. Karena Yrina adalah seorang penyihir dan aku menempati tubuhnya maka aku harus bisa menguasai sihir juga. Firasatku mengatakan jika suatu hari nanti hal itu akan bermanfaat bagiku.
Setelah jadwal diputuskan, Jadwal pertamaku adalah di Hari Jumat, saatnya aku belajar sihir dasar bersama Nenek Kanna. Kami akan melakukan pembelajaran di ruang kerja Nenek Kanna. Pagi itu, setelah aku bersiap-siap di pagi buta dengan dibantu Catherine, aku langsung pergi ke menara tempat Nenek Kanna bekerja. Aku mengetuk pintu beberapa kali namun tak ada jawaban, Catherine bilang neneknya berpesan agar aku langsung masuk dan menunggunya di dalam jika beliau tak kunjung membukakan pintu. Sementara itu, Catherine tak diizinkan untuk melihat pelatihan kami, jadi aku langsung memintanya untuk menungguku di halaman luar menara. Setidaknya di sana dia bisa menghabiskan waktu dengan menikmati sepoi-sepoi angin dan aroman bunga-bungaan yang masih mekar. Ruang Kerja Nenek Kanna terlihat menyeramkan dengan pencahayaan minim dan tanpa jendela. Saat aku pertama kali masuk ke sana, aku dibuat merinding karena melihat burung hantu yang menyeramkan bertengger di sangkarnya yang ada di tengah ruangan. Mata burung hantu itu berwana kuning terang. Catherine bilang namanya Alexa. Mata Alexa tak henti-henti mengikuti pergerakanku kesana kemari.
Lilin-lilin beraroma terapi langsung menyala dengan sendirinya menerangi ruangan yang remang-remang saat kakiku melangkah ke dalam. Ada perapian dan kuali raksasa di dekat tembok. Kurasa anak lima tahun cukup jika dimasukkan ke dalam kuali itu. Lalu ada juga kursi dan meja tua yang di atasnya ada bola kristal yang biasa aku lihat di tempat para peramal-peramal palsu di duniaku dulu. Selain itu, ada juga rak-rak kayu yang diletakkan berhimpitan dengan tembok, di sana diletakkan berbagai botol-botol kaca yang tak ku ketahui apa isinya. Entahlah, aku rasa aku melihat awetan katak di salah satu botol itu. Aku duduk di kursi itu sambil was-was dan memperhatikan sekitar. Sesekali aku melihat ke arah bola kristal, bertanya-tanya apakah ini benar-benar bisa digunakan untuk meramal atau hanya properti semata. Seram sekali. Sungguh definisi rumah penyihir yang sesungguhnya.
Tak lama kemudian, Nenek Kanna datang dan langsung duduk di hadapanku. Nenek Kanna menatapku dengan datar, aku tahu jika dia paham betul aku bukan Yrina yang asli. Aku hanya jiwa lain yang dipanggil untuk masuk ke raga ini. Nenek Kanna sejujurnya sedikit terlihat menakutkan karena tak pernah tersenyum dan usianya memang sudah sangat tua, mungkin sekitar sembilan puluh tahun. Rambutnya yang sudah penuh uban disanggul menggunakan tusuk konde dengan batu delima di ujung tusuk itu serta giginya sudah habis. Namun Nenek Kanna masih lancar berjalan tanpa bantuan tongkat meskipun tubuhnya sudah bungkuk. Aku sama sekali tak terkejut mengetahui hal itu, Nenek Kanna merupakan salah satu penyihir tingkat tinggi yang sudah pensiun dan memilih untuk menghabiskan hari-hari tuanya mengabdi di menara sihir. Tak mau lagi ikut campur pada urusan kerajaan. Selama ini pun, Nenek Kanna tak pernah tersenyum balik kepadaku saat aku menyapanya dengan penuh semangat, mungkin karena aku bukan Yrina yang asli. Namun menurut penuturan Catherine, Nenek Kanna memang selalu seperti itu dari dulu. Beliau tak pernah tersenyum.
Berbicara tentang Batu Delima, Batu Delima sendiri merupakan Lambang Keluarga Lavien, dan semua penyihir diizinkan dan wajib menggunakannya baik cincin, tusuk konde, gelang, atau hiasan di mahkota seperti punya Anthony. Hal ini disebabkan karena saat ini Posisi Panglima Sihir dipegang oleh papa yang merupakan Keturunan Lavien. Jadi semua penyihir di Kerajaan Yugoos menggunakan batu delima merah sebagai identitas mereka yang menunjukkan jika mereka penyihir. Berbeda dengan penyihir lainnya, Keturunan Keluarga Lavien wajib menggunakan kalung Batu Delima, sedangkan para penyihir lainnya dilarang menggunakan Batu Delima tersebut sebagai kalung dan harus menggunakannya sebagai perhiasan atau cendera mata lainnya.
"Apa kabar, Nek?" Tanyaku. Berusaha memecahkan keheningan.
"Baik. Kau sudah terbiasa menggunakan tubuh itu?" Tanya Nenek Kanna.