NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: arsifa nur zahra u

naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 32 * strategi di balik cinta *

Langit Senin pagi itu mendung, tapi berbeda dari biasanya, aku justru merasa lebih tenang.

Setelah badai tekanan dari HR dan media online, setelah tatapan-tatapan sinis dan bisikan-bisikan menusuk di lorong kantor, akhirnya kami memutuskan untuk tidak hanya bertahan. Kami akan melawan.

Raka memulai pagi dengan mengirimiku pesan, “Jangan lupa pakai baju abu-abu, kita satu tim hari ini.”

Aku tersenyum saat membacanya. Baju abu-abu memang bukan kode yang rumit, tapi itu adalah warna favoritnya dan kini seolah jadi simbol kecil bahwa kami satu barisan. Bahkan dalam hal kecil seperti pakaian, kami menyamakan langkah.

Sesampainya di kantor, Raka sudah menungguku di parkiran bawah, menyandarkan diri ke mobilnya sambil menyeruput kopi hitam. Penampilannya lebih kasual, hanya kemeja tanpa dasi dan sepatu sneakers. Tapi tetap terlihat berwibawa dan menyebalkan, karena tetap ganteng meski baru jam delapan pagi.

“Kita mulai dari mana?” tanyaku, berdiri di sampingnya sambil menyesap kopi dari tumblerku.

“Dari Citra , dia sudah susun strategi narasi buat kita , kita akan ambil alih percakapan di media ganti arah kita tunjukkan sisi yang mereka nggak tahu.”

Aku mengangguk. Citra, teman kuliah Raka yang kini jadi konsultan komunikasi krisis, memang sudah turun tangan. Ia menyarankan kami membuat konten naratif cerita di balik hubungan kami, tanpa mengelak, tapi juga tanpa menjual drama.

“Kamu yakin publik bisa menerima?” tanyaku pelan

“Bukan soal diterima atau nggak. Tapi soal mengontrol cerita kita sendiri kita punya hak itu,” jawab Raka tegas.

Aku menatapnya, dan untuk sekian kali, aku merasa jatuh cinta lagi. Raka bukan cuma seorang atasan bukan hanya laki-laki yang membuatku kehilangan kesucian dengan sukarela. Dia juga partner yang tahu caranya melindungi tanpa membuatku merasa lemah.

*

Siang itu, kami mengatur pertemuan dengan Citra di sebuah co working space, jauh dari kantor.

Citra langsung membuka laptop dan menunjukkan draft konten yang ia buat: “Kalian akan muncul sebagai pasangan yang kuat, tapi juga profesional. Kita ceritakan perjalanan karier kalian, lalu bagaimana kalian bertemu, berproses, jatuh cinta dan tetap menjaga batas profesional.”

Aku membaca narasi itu dengan hati berdegup ada bagian yang menyentuhku

"Kami tidak sempurna, tapi kami tidak pernah menjadikan cinta alasan untuk melupakan tanggung jawab. Justru, kami saling menguatkan untuk menjadi lebih baik di dalam dan di luar pekerjaan.”

“Dan…” Citra menoleh padaku, “Kamu juga bisa menulis surat terbuka, Nay. Dari sudut pandangmu sebagai perempuan di dunia kerja, dan bagaimana stigma bisa sangat kejam tapi kamu tetap berdiri.”

Aku menelan ludah itu akan jadi langkah besar.

Tapi Raka menyentuh tanganku di bawah meja. “Kalau kamu mau, aku dukung.”

*

Malamnya, aku kembali ke apartemen raka .

Dia membiarkanku mengambil ruang di meja kerjanya, menyiapkan camilan dan memutar musik pelan.

“Kalau kamu kelelahan, istirahat dulu. Aku nggak akan ganggu,” katanya, sambil duduk di sofa dengan laptopnya sendiri.

Aku menoleh padanya. “Tapi kalau aku pengen diganggu, boleh?”

Dia menatapku dan tertawa. “Kamu tuh godaan paling sulit ditolak.”

Malam itu, di antara tuts keyboard yang terus berbunyi dan kopi yang berkali-kali diisi ulang, aku menulis. Menumpahkan semua luka, kekuatan, dan cinta yang kami miliki. Tapi bukan sebagai pembelaan melainkan pernyataan bahwa aku berhak untuk bahagia tanpa kehilangan martabat.

Saat aku selesai dan menunjukkan tulisanku pada Raka, dia membacanya dalam diam. Lalu menatapku dengan mata berkaca.

“Kamu tahu, Nay…” bisiknya. “Tulisanmu lebih berani dari langkah-langkah yang pernah aku buat selama ini.”

Aku memeluknya. Bukan sebagai gadis yang mencari perlindungan, tapi sebagai perempuan yang siap melawan dunia asal tidak sendirian.

*

Keesokan harinya, surat terbuka itu diunggah oleh akun resmi milik komunitas perempuan profesional. Dalam waktu dua jam, ratusan komentar masuk. Banyak yang memihak banyak juga yang menyentuh hatiku perempuan-perempuan lain yang mengaku mengalami hal serupa. Mereka bilang aku menginspirasi bahwa keberanianku mewakili suara mereka yang lama bungkam.

Raka memelukku erat setelah membaca semua itu. “Lihat, kamu bukan sendirian. Dan kita nggak salah.”

Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa ringan.

Tapi aku tahu, ini baru permulaan.

*

Malam itu hujan turun pelan, menyelimuti kota dengan dingin yang lembut. Di dalam apartemen yang mulai terasa seperti rumah, aku dan Raka duduk berdampingan di lantai ruang tengah, di antara bantal-bantal besar dan selimut tipis yang baru saja ia keluarkan dari lemari.

Dia menyuapiku stroberi celup cokelat sambil tertawa pelan. “Kamu tahu nggak, kamu kelihatan lebih manis dari stroberinya.”

Aku memutar bola mata. “Itu gombal banget, Pak.”

“Tapi kamu senyum, berarti berhasil,” sahutnya cepat sambil mengedipkan sebelah mata.

Kami tak membahas pekerjaan malam itu. Tak menyebut HR, media, atau tekanan luar. Rasanya, dunia hanya milik kami berdua. Suara hujan, lampu temaram dari sudut ruangan, dan pelukan hangat Raka yang membuatku lupa semua rasa takut.

Ia menarikku ke dalam dekapannya, membelai rambutku dengan lembut. “Aku senang kamu di sini, Nay. Di tempat ini, dalam hidupku. Rasanya baru sekarang rumah ini benar-benar hidup.”

Aku mendongak menatapnya. “Dan kamu tahu rasanya jadi perempuan yang tinggal serumah dengan laki-laki paling menyebalkan sedunia?”

Dia pura-pura terkejut. “Menyebalkan?”

“Ya. Karena bikin aku jatuh cinta tiap hari. Itu menyebalkan.”

Raka memelukku erat, lalu mencium pelan keningku. “Kalau gitu, biar aku tambah menyebalkan setiap hari.”

Kami akhirnya berbaring di sofa besar, aku bersandar di dadanya sambil menonton film yang tak terlalu kami perhatikan. Jemarinya menggenggam tanganku erat. Hangat. Aman. Seolah dia berkata tanpa suara, bahwa aku tak akan ditinggalkan, tak akan dilupakan.

Dan di momen itulah, aku menyadari sesuatu bahkan setelah semua yang terjadi, aku masih bisa bahagia. Bersama laki-laki yang pernah aku benci, yang sekarang jadi rumah.

*

Pagi datang pelan-pelan, menyusup lewat celah tirai jendela apartemen. Aroma kopi yang samar memenuhi udara, disusul suara denting sendok dari dapur.

Aku membuka mata perlahan, mendapati tempat tidur sebelahku kosong. Tapi selimutnya masih hangat pertanda baru saja ditinggalkan.

Aku bangkit pelan, mengenakan kemeja Raka yang kemarin masih tergantung di kursi, lalu berjalan ke arah dapur. Dan di sanalah dia, dengan kaos putih dan celana training abu-abu, membelakangiku sambil menuang kopi ke dua cangkir.

Dia menoleh ketika mendengar langkahku. “Pagi, sleepyhead,” katanya dengan senyum yang bikin jantungku nyaris lupa caranya berdetak normal.

“Pagi,” jawabku sambil meregangkan tubuh, lalu bersandar di dinding. “Kamu bangun lebih pagi dari biasanya.”

Raka meletakkan cangkir di atas meja, lalu berjalan mendekat. “Aku bangun karena kamu ngomel-ngomel dalam tidur.”

Aku mengernyit. “Ngomel?”

“Katanya aku nggak mau bantu cuci piring dan suka naruh handuk sembarangan,” katanya sambil tertawa. “Padahal aku rajin, loh.”

Aku tertawa sambil meninju pelan dadanya. “Kamu nguping aku tidur?”

“Bukan nguping, aku mendengarkan dengan penuh cinta,” balasnya, lalu menarikku ke dalam pelukan.

Pelukan pagi itu berbeda bukan yang penuh hasrat, tapi yang dalam dan hangat. Seolah tubuh kami saling mengingatkan kita selamat, kita bersama, dan itu cukup untuk sekarang.

Raka menyentuh pipiku, menatapku sejenak, lalu mengecup bibirku pelan. Lembut, tanpa terburu-buru. Ciuman yang lebih seperti janji.

“Kita masih punya waktu sebelum ke kantor,” bisiknya. “Mau ngopi dulu... atau balik ke kasur?”

Aku menyipitkan mata. “Tergantung. Kalau ke kasur artinya kamu nyetrika baju kita berdua, aku ikut.”

“Duh, berat ya hidup serumah sama kamu,” katanya sok dramatis, tapi tetap menarik tanganku kembali ke kamar.

Dan pagi itu kami habiskan tanpa terburu-buru. Tanpa agenda, tanpa keraguan. Hanya dua orang yang saling menemukan di tengah kekacauan dunia, mencoba menciptakan ketenangan kecil di antara waktu yang terus berjalan.

Sebelum akhirnya kami bersiap ke kantor, Raka memakaikan jam tanganku dan mengecup ubun-ubunku sambil berkata, “Apa pun yang terjadi di luar nanti, kamu dan aku tetap satu tim.”

Aku tersenyum, mengangguk. “Kita udah terlalu jauh untuk mundur.”

1
putrie_07
mantap pollll.....
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
putrie_07
akhirnya /Proud//Proud//Proud//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss/
putrie_07
kantor Thor... BKN kantot😁😁😁🤭
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩
As'asri Mbu'a Bayu: /Facepalm/wkwk
total 1 replies
putrie_07
knp sih g MW😬😬😬
putrie_07
/Chuckle/
putrie_07
sabar y cint btuh pejuangann😭😭😭
putrie_07
/Smug/
putrie_07
/Grievance//Grievance//Grievance//Grievance//Grievance/
putrie_07
/Smile//Smile//Smile/
putrie_07
masa lalu tp terkdan kita teringat masa lalu. betul ap btul/Grin//Grin/
putrie_07
asykk/Kiss//Kiss//Kiss//Kiss/
putrie_07
qiu qiu/Joyful//Joyful//Joyful/
putrie_07
ud mulai deh jatuh cinta /Sly/
putrie_07
/Kiss//Kiss//Kiss/
putrie_07
mecom...😊
yeqi_378
Cocok buat semua.
Sena Kobayakawa
Jangan tinggalin aku kaya gini thor, aku butuh kelanjutannya 😭
Lửa
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!