Sebuah novel romansa fantasi, tentang seorang gadis dari golongan rakyat biasa yang memiliki kemampuan suci, setelahnya menjadi seorang Saintes dan menjadi Ratu Kekaisaran.
Novel itu sangat terkenal karena sifat licik dan tangguhnya sang protagonis menghadapi lawan-lawannya. Namun, siapa sangka, Alice, seorang aktris papan atas di dunia modern, meninggal dunia setelah kecelakaan yang menimpanya.
Dan kini Alice hidup kembali dalam dunia novel. Dia bernama Alice di sana dan menjadi sandera sebagai tawanan perang. Dia adalah pemeran sampingan yang akan dibunuh oleh sang protagonis.
Gila saja, ceritanya sudah ditentukan, dan kini Alice harus menentang takdirnya. Daripada jadi selir raja dan berakhir mati mengenaskan, lebih baik dia menggoda sang duke yang lebih kejam dari singa gurun itu. Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Ledakan
“Jadi, kalian berencana untuk melakukan kudeta pada Raja Vincent?” tanya Eleanor setelah perbincangan panjang, dan Alice menceritakan segala yang terjadi di kerajaan tersebut.
“Betul, orang yang akan saya titipkan adalah Pangeran Mahkota yang sesungguhnya. Saya tak tahan melihat lebih banyak lagi penderitaan di kerajaan ini,” ucap Alice dengan mata yang berkaca-kaca, hingga Isak terdengar setelahnya.
“Yah, itu memang agak sulit. Kenapa tidak langsung bunuh saja rajanya? Kan mudah,” ucap Eleanor dengan mengangkat bahunya.
“Namun, hal itu justru akan menimbulkan kegaduhan di masa depan. Kemampuan raja masa depan akan dipertanyakan. Bila Pangeran Argares dapat membuktikan diri atas kemampuannya, hal itu akan membuat kepercayaan rakyat berpihak kepadanya.” Eleanor dan Alexa sama-sama diam setelahnya.
“Duchess, saya mendengar ucapan ini dari seseorang di masa lalu. Terkadang, mengambil jalan sulit akan menemukan banyak hal manis dan pengalaman yang lebih berharga. Saya mendukung keputusan Anda, dan saya tertarik dengan gelang naga itu,” ucap Eleanor. Alice menggelengkan kepalanya.
“Gelang ini adalah sahabat saya,” ucap Alice. Eleanor terkekeh mendengarnya.
“Hahaha, aku tidak memintanya. Namun, bila ada kesempatan, mari kita bertemu dan aku ingin melihat naga kecil itu,” ucap Eleanor. Alice mengangguk setuju.
“Saya akan menantikannya.”
Duar!
Ledakan tiba-tiba terdengar, bahkan seluruh kediaman Corvin bergetar hebat. Seluruh penjuru kota tampaknya mendengar ledakan besar itu.
“Elicia!!!”
Suara gertakan Alexa terdengar, sedangkan Eleanor hanya tertawa dan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Bola kristal itu kembali disimpan, sedangkan Alexa langsung menuju ke arah sumber suara bersama Lucian dan Alice.
Sebuah tembok besar yang merupakan dinding kokoh tempat latihan para kesatria tampak bolong besar. Bahkan hutan dan sungai di sana nampak hangus.
Di sana tampak Elicia yang cengengesan tanpa dosa, sedangkan Alexa langsung menjewer telinga putrinya sendiri dengan gemasnya dan mengambil alat kecil yang merupakan teknologi sihir yang masih dikembangkan oleh mereka.
“Kau ini nakal sekali! Bisakah kau diam meski sesaat! Jangan terus buat onar, bocah!” gertak Alexa memarahi putrinya sendiri. Lucian bahkan sampai tak dapat berkata-kata melihat hasil perbuatan putri seorang Duchess Zisilus itu.
Dinding kokoh yang bahkan tak dapat dihancurkan oleh meriam itu kini hangus oleh benda kecil. Bahkan perisai yang digunakan untuk uji coba saja nampak hangus dan serpihan besinya tampak berceceran.
“Benda ini bagus. Ini sudah layak pakai dan sesuai sertifikasi. Ah ya, Duchess Zisilus, nampaknya benda ini milik saya. Tolong kembalikan, ya?” Mata Elicia berbinar penuh harap.
Plak!
Satu pukulan mendarat di kepala Elicia dari ibunya. Alexa menghela napas. Gatal juga tangannya pada putrinya sendiri.
“Bagaimana, Nyonya Duchess? Tolong kembalikan senjata saya?” bujuk lagi Elicia. Alexa mengeluarkan mana energi suci dan mana meluap dari tangannya.
Peletuk!
Peletuk!
Brak!
“Tidak!” Elicia lemas seketika. Alat yang merupakan gabungan teknologi dan sihir itu kini hancur di tangan ibunya sendiri.
“Tidak lulus sertifikasi, tidak tahan banting! Hehehe.” Senyum mengerikan terukir di bibir Alexa. Elicia cemberut seketika dan memalingkan wajahnya kesal.
“Lalu sekarang bagaimana? Lady Zisilus, Anda mau bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa Duke dan Duchess Corvin?” Alexa menunjuk bekas reruntuhan hasil kekacauan yang dibuat oleh Elicia.
“Nanti saya akan menghubungi Ibu saya. Anda tuliskan saja kerugiannya,” celetuk lagi Elicia dengan wajahnya yang masih cemberut.
“Haa, sudahlah. Sekarang pergi istirahat dan jangan berbuat ulah!” Peringatan dilontarkan oleh Alexa.
“Tidak! Saya belum melakukan sparing dengan dia!” Elicia menunjuk ke arah Argares. Seketika Argares terpaku di tempat.
“Yang benar saja, bahkan tempat yang dilengkapi perisai sihir saja belum tentu dapat menahan sparing-mu itu, Lady,” Alexa menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
“Tenang saja. Bukankah Anda juga membawa alat pelindung serupa, Nyonya Duchess Zisilus?” tanya lagi Elicia. Alexa menatap Argares.
“Nak, apa kamu mau meladeni anak ini? Dia tak akan berhenti merengek sebelum keinginannya terwujud,” ucap Alexa. Setidaknya setelah Elicia merasa puas, dia akan diam sesaat sebelum kembali berbuat onar.
“Kemampuan saya terbatas, namun saya berharap mendapatkan bimbingan dari Lady Zisilus,” ucap Argares. Elicia nampak berseru riang dan bahagia.
“Yuhu! Hei, kalian! Dibandingkan diam tak berguna begitu, cepat pasang pelindung!” Elicia menunjuk para kesatria yang merupakan bawahan ibunya.
“Baik, Lady!” jawab mereka serentak. Pelindung dibuat, dan Elicia nampak masih menggunakan gaunnya. Senjatanya amat sederhana, yaitu sebuah katana yang dipinjam dari gudang senjata Alice.
“Lady, apa Anda yakin akan menggunakan benda ini?” tanya Alice, karena katana bukanlah senjata yang dapat digunakan sembarang orang.
Katana tidak mengandalkan kekuatan dalam penggunaannya, namun teknik yang mumpuni. Selain itu, katana juga bersifat elastis namun juga akan seperti besi baja saat digunakan dengan benar.
“Tenang saja. Saya pernah menggunakan benda seperti ini,” ucap Elicia. Alice terdiam.
Katana diciptakan dirinya di dunia ini. Bagaimana bisa ada katana lain? Namun, Elicia nampak begitu yakin bila dia dapat menggunakan katana.
Berbeda dengan pedang, katana memang cukup ringan. Namun, dalam berbagai segi, katana termasuk senjata yang cukup sulit untuk digunakan.
Di tempat lain, Argares masih sibuk mengenakan pelindung tubuh ketika suara riuh terdengar dari lapangan latihan. Ia melongok keluar, hanya untuk melihat Elicia gadis kecil dengan rambut pirang keemasan dan mata merah menyala telah berdiri di tengah arena. Gaun latihan berwarna merah marun tampak berkibar tertiup angin, seolah mempertegas kesan angkuh nan elegan yang menyelimutinya.
“Kenapa dia masih memakai gaun?” gumam Argares, bingung. “Apa dia serius ingin sparing seperti itu?”
Lucian hanya tertawa pelan dari pinggir arena. “Jangan tertipu oleh gaunnya, Pangeran. Elicia sudah dilatih sejak kecil. Lihat baik-baik, dan pelajari.” Alexa memberi peringatan. Salah besar bila ada orang meremehkan putrinya itu.
Di tangan Elicia, sebuah katana ramping tergenggam mantap. Bukan pedang biasa. Benda itu bersarung hitam dengan hiasan benang emas yang mengikat gagangnya, terlihat ringan namun tajam mematikan.
Ketika dia menghunus katana, ada keheningan mendalam yang menyelimuti sekitar. Gerakannya halus, nyaris seperti tarian, tapi memiliki kekuatan tersembunyi di setiap helai ototnya. Ia berdiri dalam posisi seigan-no-kamae, ujung katana mengarah sedikit ke bawah, mata tak lepas dari Argares.
“Posisi bertahan... seperti samurai di kisah-kisah lama,” bisik Alice, terkesima. Benar, gerakan yang ditunjukkan oleh Elicia tidak menggunakan sihir atau kekuatan suci, namun mampu membuat semua orang terpesona.
Elicia melangkah maju, tidak terburu-buru. Gerakannya ringan, anggun, namun tetap menyiratkan bahaya. Ia tak hanya tahu cara menggunakan katana, tapi juga memahami filosofi di baliknya, ketenangan sebelum badai, kehormatan dalam pertarungan, dan kendali atas diri sendiri.
Saat Argares masuk ke dalam arena, ia sempat melirik ke arah Alice.
“Dia pakai gaun. Apa ini tidak berlebihan?”
Alice tersenyum kecil. “Itu bukan sekadar gaun, Pangeran. Itu bagian dari tekniknya. Ketika seseorang bisa bertarung dengan efisien tanpa bergantung pada pakaian tempur, maka dia telah menyatu dengan senjatanya.”
Dan benar saja. Begitu bel latihan dibunyikan, Elicia melesat ke depan. Katana terangkat, gerakannya tak tertebak, dan satu-satunya hal yang bisa Argares lakukan adalah bertahan, berusaha tak tertinggal oleh teknik yang begitu bersih, tenang, dan mematikan.
Kalo kata-kata yang Nuah pakek gak kalian fahami, boleh bangat komen atau tanya ituteh apa ya? apa perlu Nuah buat kamus di bagian bawahnya biar kalian gak bingung?