Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Bunda Kasandra
Sekali melangkah ke dalam dunia ini, tak akan mudah untuk keluar. Cinta seperti milik Aira dan Zayyan hanyalah mimpi yang tak bisa Harry genggam. Dunianya kini dingin, keras, dan penuh jebakan.
Dan tanpa sadar…
...ia mulai masuk lebih dalam.
“Toh, sudah dua bulan ini aku ngerasain sendiri gimana caranya dapetin uang cepat. Aku nggak akan mundur."
Suara uang itu TERLALU KERAS.
Matanya menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan cahaya malam dari taman mansion yang remang. Dalam benaknya, terlintas sosok yang tak bisa ia lupakan -Aira- Dan sosok laki-laki yang menjadi suaminya. Zayyan Kalandra, pria kaya raya yang datang seperti pahlawan di tengah badai hidup gadis yang dia cintai.
Harry mencibir pelan. “Kamu telah mengkhianatiku, Aira. Jika harta mampu menaklukkanmu, kamu lihat saja, Aira… Dalam lima bulan, aku akan bisa melampaui suamimu itu. Dan kembali membawamu ke pelukanku.”
Di balik ucapannya, ada dendam yang perlahan menjelma jadi api, menghanguskan sisa-sisa akalnya. Apalagi, rasa cemburu yang membakar hebat sampai ke saraf tulang-tulangnya. Harry, tak akan mundur.
Kasandra perlahan mendorong kursi rodanya, mendekati pemuda yang telah ia anggap seperti darah daging sendiri. Matanya redup, wajahnya menyimpan luka lama yang belum juga sembuh.
“Harry, Putraku... Jangan ikuti jejak Papi kamu, nak," ucapnya penuh harap. “Dia tak pernah tahu rasanya jadi manusia yang punya hati.”
Harry menoleh. Ada kebimbangan sesaat dalam sorot matanya, tapi segera ia buang jauh-jauh.
“Bunda… tenang aja. Harry sudah dewasa. Aku harus bisa menyusul kesuksesan Papi. Bukankah selama ini Bunda juga ingin aku punya hidup layak?”
“Tapi... bisnis Papi kamu itu kotor, Nak—”
Plak!
Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan. Kasandra tersentak, namun tetap tegak dalam kursinya. Tak sempat menarik napas, tangan Rafardhan sudah mencengkeram rahangnya kasar.
“Perempuan lancang!” desis Rafardhan dengan mata menyala. “Apa yang kamu tahu tentang bisnisku, hah? Semua ini kulakukan demi menghidupimu, wanita murahan! Kalau sejak dulu aku tahu kamu cuma jadi beban, sudah kubunuh kamu waktu pertama kali kamu lemah!”
“Papi!!” Harry berseru, maju beberapa langkah. “Jangan sakitin Bunda! Dia enggak salah!”
Rafardhan menoleh marah, lalu menjambak rambut Kasandra. Kursi rodanya terguncang. “Lihat ini, hah! Anak yang cuma kau susui saja lebih memilihmu! Harusnya kau dukung kerja kerasnya, bukan menghalangi!”
Kasandra mendongak. Meski wajahnya mulai memar, sorot matanya tajam, lebih tajam dari pisau yang pernah menusuk punggung masa lalunya. Dia bukan lagi wanita yang akan menjerit atau menangis karena rasa sakit. Dia telah membiasakan diri hidup dalam luka.
“Semua hartamu itu, Rafardhan... hanya akan jadi bara neraka yang membakar tubuhmu sendiri!”
Suaranya lantang, menggema seperti lonceng kematian di tengah kemewahan istana dusta itu.
Rafardhan menggeram. “Maria! Bawa wanita ini ke kamarnya. Kunci pintunya. Jangan biarkan dia keluar tanpa perintahku!”
Pelayan perempuan, Maria, yang sejak tadi berdiri angkuh yang tak jauh dari mereka, segera menghampiri dengan langkah pasti.
Harry hanya bisa berdiri diam. Kedua tangannya mengepal, tapi kakinya tak melangkah. Antara takut... dan terbiasa. Sudah berkali-kali ia menyaksikan Papi-nya menyiksa Bunda Kasandra, dan setiap kali pula ia hanya bisa menatap, membeku dalam kebisuan yang menyesakkan.
Lidahnya bergerak membela, tapi tubuhnya tak pernah cukup berani untuk melindungi. Ironisnya, setiap kali ia berusaha membela dengan kata-kata, yang terjadi justru sebaliknya. Bunda Kasandra malah makin menjadi sasaran kemarahan. Seolah suaranya adalah pelatuk yang memicu kekejaman lebih besar.
Dan itu menyakitkan.
Perempuan yang paling lembut dan penuh kasih dalam hidupnya itu diperlakukan seperti benda yang tak berharga. Dan ia hanya bisa diam.
Di kamarnya yang luas dan mewah, Kasandra duduk di sisi ranjang empuk berkelambu tipis. Kasur itu seperti milik seorang putri. Lembut, hangat, dan tampak menenangkan. Namun tidak ada kenyamanan yang benar-benar meresap ke dalam jiwanya. Kasandra diam, hanya menatap lurus ke depan, menembus hening yang menggantung di udara.
Maria datang dengan langkah perlahan, membawa minuman dalam cangkir porselen yang berukir halus.
“Minumlah, Nyonya,” ucap Maria nyaris tanpa ekspresi.
Minuman itu selalu sama setiap malam. Rasanya lembut, menenangkan, tapi diam-diam mengandung obat. Entah pelemah ingatan, penenang jiwa, atau pil tidur yang membuat Kasandra larut dalam mimpi-mimpi kosong.
Kasandra tidak tahu.
Dengan pasrah, ia menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. Setelahnya, Maria membantu tubuh ringkih Kasandra berbaring. Selimut halus ditarik menutupi tubuhnya, tapi tak mampu menutupi luka yang bersemayam di dalam.
Wanita malang itu telah lama kehilangan arah. Hidupnya hanya sedikit mencicipi kebahagiaan bahkan jika itu pun dibalut oleh dosa dan tipuan cinta.
Dulu, saat Rafardhan meninggalkan istri pertamanya, ia membawa Kasandra pergi dari kampung. Menjanjikan kehidupan yang baru, indah, penuh petualangan. Kasandra yang muda dan polos kala itu diajak keliling kota, dua tahun mengenal dunia yang belum pernah ia bayangkan. Tapi semua itu bukan dunia impian. Melainkan dunia malam yang penuh kepalsuan dan gemerlap semu.
Dari satu klub ke klub lain, dari ruang karaoke elit ke lounge mewah, Kasandra dibawa menyusuri lorong kenikmatan dunia yang mencandu. Ia memiliki suara yang merdu. Suara yang mampu menyihir siapa pun yang mendengarnya. Kesan magis dan menggoda, memiliki nuansa emosional dan memikat. Membuat pendengar seperti terseret ke dunia lain saat mendengarnya.
Rafardhan melihat celah emas dalam kelembutan suaranya. “Bernyanyilah,” katanya suatu malam di sebuah lounge VIP. “Dan buat mereka mabuk oleh suaramu.”
Saat Kasandra melangkah ke atas panggung kecil dengan lampu temaram membentuk siluet tubuhnya, ruangan langsung senyap. Para tamu menoleh. Ada yang menghentikan langkah, ada yang menurunkan gelas. Musik lembut mengalun. Lalu suara itu terdengar. Lembut, dalam, dan penuh kendali. Suara yang seolah mengusap kulit setiap tamu. Yang membuat waktu seolah berhenti berdetak.
Nada-nada itu tak hanya terdengar, tapi terasa mengalir dalam darah, membelai jiwa, menusuk ke inti rasa. Para tamu mematung, sebagian memejamkan mata, membiarkan diri mereka tenggelam dalam pesona yang memabukkan.
Rafardhan tersenyum di kursinya. Ia tahu, setiap notasi yang dilantunkan Kasandra adalah belati tak kasatmata. Dan setiap tepuk tangan yang datang setelahnya… adalah bukti bahwa ia telah berhasil membuat dunia tunduk di bawah nada.
Tak butuh waktu lama, nama Kasandra mencuat. Dia menjadi primadona di lingkaran malam. Sekali tampil, jasanya dibayar puluhan juta. Pernah dalam satu malam, ia mendapat bayaran 100 juta rupiah, hanya untuk menyanyi selama satu jam dalam acara pribadi seorang pejabat besar. Harga yang luar biasa tinggi… namun terlalu murah jika dibandingkan dengan harga dirinya yang perlahan terkikis.
Kesuksesan itu bukan miliknya. Ia hanya alat. Semua uang, semua kemewahan, semua kilau lampu sorot mengalir ke genggaman Rafardhan, pria yang mengaku mencintainya.
Tampil memikat dengan suara dan paras yang memesona. Tidak ada yang berani bahkan untuk menyentuh pipinya, apalagi lebih dari itu. Kasandra adalah miliknya. Milik satu-satunya yang dia lindungi dengan cara yang salah.
Segalanya berubah ketika Rafardhan mulai menjual lebih dari sekadar hiburan. Transaksi gelap dilakukan di balik panggung: psikotropika, obat-obatan terlarang, judi, semuanya diperdagangkan dalam diam.
Nangis sih guweh...