Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #1
Dua tahun kemudian,
.
"Zara, ikutlah dengan Ayah, hidupmu akan bahagia. Apa yang kamu inginkan akan terpenuhi. Lihatlah kami! Kami semua sukses karena memilih tinggal bersama Ayah," ujar pria bernama Arya-kakak pertama Zara yang duduk di belakang kemudi mobil.
"Benar, Dek. Apa yang kamu sukai tinggal di rumah kumuh itu? Kamu hanya akan menjadi pengasuh Oma dan Ibu yang sakit-sakitan," timpal seorang wanita bernama Lita-kakak kedua Zara yang duduk di samping Arya.
"Lihatlah kami, Dek. Kami sukses, Kak Lita yang tak ikut bekerja di perusahaan Ayah aja tetap sukses karena suaminya bergabung bersama kami," kata David-kakak ketiga yang duduk di samping Zara saat ini.
Zara meremas ujung kemeja yang ia pakai mendengar kata demi kata dari ketiga kakaknya. Rasa benci yang begitu dalam terhadap sang ayah membuatnya tak sudi berurusan lagi dengan pria itu. Apalagi ketika mendengar cerita tentang kakaknya yang bernama Lita, membuatnya semakin muak.
Padahal hari ini Zara ada janji bertemu dengan seorang dosen, tetapi ketiga kakaknya malah menghadang dan memasukkan gadis itu ke dalam mobil untuk berbicara. Tidak, lebih tepatnya untuk membanding-bandingkan hidup mereka yang memilih bersama ayah dengan hidup Zara yang memilih bersama ibu dan neneknya.
"Dek, lihatlah dirimu, usiamu sudah 22 tahun, tapi lulus kuliah saja belum. Masa cewek kuliah sampai 10 semester, malu-maluin banget tahu, Zar," kata Lita sambil menahan tawa.
"Aku kuliah sambil kerja, Kakak tak perlu sibuk dengan hidupku," balas Zara akhirnya dengan nada ketus sambil membuang muka menatap bagian luar jendela. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Rasa gelisah mulai menghampiri, kedua lututnya bergerak naik-turun dengan cepat sebagai tanda ia sedang tidak tenang.
"Berhentilah bekerja dan fokuslah menyelesaikan kuliahmu. Aku yang akan menanggung semua biayanya asal kamu mau tinggal bersama Ayah. Ayah sungguh merindukan ...."
"Lalu bagaimana dengan Ibu? Apakah kalian pernah memikirkan bagaimana perasaan Ibu yang ditinggal oleh suami dan anaknya? Yang kalian tahu hanya Ayah, Ayah, dan Ayah, mentang-mentang dia kaya raya. Masa bodoh aku mau kerja sambil kuliah! Aku tak peduli dengan penilaian orang, ini hidupku. Jangan pernah mengaturnya karena kalian tidak pernah tahu bagaimana rasanya berada di posisiku!" kata Zara dengan suara yang meninggi setelah berusaha sabar sejak tadi.
Tak menunggu respon dari ketiga kakaknya, Zara langsung keluar dari mobil, tak lupa menutupnya kembali dengan keras. "Dasar tukang pamer! Apa gunanya kaya kalau hanya bergantung pada Ayah? Tidak tahu malu!" umpatnya lalu segera berlari meninggalkan mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di depan gerbang kampusnya.
Gadis dengan kemeja lengan panjang dan celana jeans longgar yang dipadukan dengan hijab sederhana itu berlari kencang menyusuri koridor kampus. Menaiki anak tangga yang tidak sedikit hingga tiba di depan sebuah ruangan yang bertuliskan ruangan dosen.
Zara tak langsung masuk, melainkan mengatur napasnya lebih dulu sambil merapikan baju. Tak lupa mengeluarkan tugasnya dari dalam tas. Tugas yang menjadi penentu apakah dia bisa segera melakukan KKP (Kuliah Kerja Praktek) sebagai mahasiswa farmasi atau tidak. Ia kembali memeriksa arlojinya, berharap tidak terlambat.
"Ya ampun, lewat dua menit!" Wajahnya tampak panik. Namun, ia tetap harus masuk demi mengumpulkan tugasnya.
"Semoga moodnya baik hari ini," ucapnya pelan, lalu mengetuk pintu ruangan itu dan memasukinya. Ia berjalan beberapa meter melewati ruang dosen lain hingga berdiri tepat di ruangan dosen yang bertuliskan nama Apt. Alif Muzammil Mahdi, M. Farm.
"All is well," ucapnya pelan, lalu mengulangi hal yang sama sebelumnya.
"Permisi, Pak. Maaf, saya mau mengumpulkan tugas saya," kata Zara sesopan mungkin sambil meletakkan tugasnya di meja dosen tersebut. Tangannya sampai bergetar karena begitu gugup, terutama ketika melihat wajah tampan nan dingin dari pria itu.
"Hmm, silakan keluar!" ucap sang dosen tanpa mengalihkan matanya dari laptop yang ada di hadapannya.
"Baik, Pak," balas Zara dengan hati lega, lalu berbalik dan hendak keluar.
"Tunggu!" Langkah kaki Zara tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara bariton dosen itu.
"I-iya, Pak?" Dengan begitu berat hati, Zara kembali berbalik, perasaannya mulai tidak enak, terutama ketika mendapati sang dosen menatapnya dengan serius.
"Jangan lupa bawa tugasnya keluar bersamamu," ucapnya santai, tetapi terdengar tegas.
"Ta-tapi, Pak, saya sudah mengumpulkannya tepat waktu," protes Zara mencoba bernegosiasi berharap usahanya berhasil.
"Lebih tepatnya, jam 10 lewat dua menit," balasnya penuh penekanan.
"Itu bukan kemauan saya, Pak. Saya bahkan sudah berada di depan kampus sejak jam 9 tadi, tapi ada masalah sedikit makanya jadi telat kumpul tugasnya," kata Zara panjang lebar mencoba menjelaskan.
"Itu bukan urusan saya. Silakan ambil kembali tugas kamu selagi saya masih bicara baik-baik. Jadi mahasiswa itu harus disiplin, malu sama juniormu yang selalu tepat waktu kalau ngumpulin tugas. Ingat! Kamu itu udah semester 10, Jasmine. Jika caramu selalu seperti ini, saya khawatir kamu akan di DO (Drop Out) dari kampus ini!"
Zara terdiam, ia tak bisa lagi memelas atau sekadar meminta keringanan. Perkataan sang dosen sudah cukup membuatnya malu. Lagi-lagi semesternya harus diungkit hingga membuat gadis itu tak lagi berkutik.
Dengan menahan rasa sakit, malu, dan kecewa, ia berjalan keluar, mencari tempat sepi untuk menenangkan diri dan menumpahkan gejolak hati yang sejak pagi tadi ia tahan.
"Zara Jasmine Aksara, nasibku benar-benar buruk. Padahal mata kuliahku yang bermasalah hanya tinggal satu, tetapi selalu saja dipersulit. Gimana mau ikut KKP kalau seperti ini?"
Embusan napas kasar terdengar dari mulutnya. Ia menatap langit dengan mata yang berkaca-kaca. Biasanya jika dalam keadaan sulit gadis itu menangis demi menenangkan hatinya. Namun, sejak dua tahun lalu, ia tak pernah lagi menangis. Rasanya begitu lelah atau mungkin air matanya sudah habis terkuras.
"Woy, ngapain bengong?" Zara terperanjat kaget ketika dua sahabatnya menyapa secara tiba-tiba.
"Apaan, sih? Aku lagi bad mood," ucap Zara dengan wajah ketus.
"Dih, kenapa lagi kamu?" tanya Akira, gadis berkacamata yang merupakan teman angkatan Zara.
"Biar kutebak, pasti lagi-lagi karena ulah SBK itu, iya, 'kan?" tebak Ilona, gadis tak berhijab yang juga satu angkatan Zara.
Keduanya sama-sama merupakan mahasiswi semester 10. Namun, berbeda dengan Zara, mereka bertahan di kampus untuk menemani Zara, mengingat kejadian dua tahun lalu yang dialami sang sahabat, membuat mereka tak ingin meninggalkannya sendiri.
"Apaan SBK?" tanya Zara dan Shella kompak.
"Si Bujang Killer."
Sontak saja ketiga gadis itu langsung tertawa terpingkal-pingkal seolah tak memiliki masalah sama sekali. Namun, gelak tawa mereka terhenti ketika ponsel Zara berbunyi.
"Penyelamat?"
.
.
#bersambung#