"Aku istrimu, Aditya! Bukan dia!" Aurelia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu, tangan masih menggenggam jemari Karina. Hatinya robek. Lima tahun pernikahan dihancurkan dalam sekejap.
Aditya mendesah. "Aku mencintainya, Aurel. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana mungkin? Rumah tangga yang ia bangun dengan cinta kini menjadi puing. Karina tersenyum menang, seolah Aurelia hanya bayang-bayang masa lalu.
Tapi Aurelia bukan wanita lemah. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima, ia salah besar. Pengkhianatan ini harus dibayar—dengan cara yang tak akan pernah mereka duga.
Jangan lupa like, komentar, subscribe ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Kematian Pak Surya
"Aurelia... Pak Surya... beliau... meninggal dunia."
Kabar itu disampaikan dengan suara tercekat oleh Raka melalui sambungan telepon yang membuat tubuh Aurelia seolah kehilangan daya.
"Apa...?" suara Aurelia bergetar, tak percaya. Ia berdiri di tengah ruangan kerja yang baru ia atur ulang seminggu lalu. "Kapan? Di mana...?"
"Baru saja. Di ruang pribadinya. Serangan jantung. Kami sudah memanggil ambulans, tapi... semuanya sudah terlambat."
Dunia terasa runtuh seketika. Sosok yang selama ini, meski keras dan penuh rahasia, tetap menjadi bagian dari perjalanan hidupnya, kini telah tiada.
Tanpa berpikir panjang, Aurelia berlari meninggalkan gedung kantor. Reyhan yang melihat wajah pucatnya segera menyusul di belakang.
"Lia! Tunggu! Ada apa?"
"Pak Surya... beliau meninggal, Rey."
Reyhan terdiam sejenak, sebelum kemudian memacu mobil menuju rumah duka.
Rumah keluarga Surya dipenuhi tangis dan duka. Beberapa kerabat dan kolega dekat mulai berdatangan. Tapi dari semua wajah yang hadir, satu yang mencolok karena tidak muncul — Aditya.
"Aditya di mana?" bisik salah satu kerabat.
"Bukankah itu anak tunggal Pak Surya? Kenapa tidak terlihat?"
"Apa dia bahkan tahu ayahnya meninggal?"
Pertanyaan itu menggantung, menambah beban di pundak Aurelia. Ia yang sejak awal tiba langsung mengurus pemulasaraan jenazah, mengatur proses pemakaman, bahkan memimpin doa bersama.
“Rey, coba cari tahu keberadaan Aditya,” ujar Aurelia pelan saat malam mulai turun. “Aku tidak tahu harus menjawab apa ke orang-orang yang bertanya.”
Reyhan mengangguk. “Aku sudah coba menghubungi beberapa orang yang biasa menjaga dia... Tapi sepertinya dia tidak di lokasi terakhir yang kami tahu.”
Hari pemakaman berlangsung khidmat. Di antara isak tangis dan doa, Aurelia berdiri di sisi liang lahat dengan wajah lelah namun tegar. Ia mengenakan pakaian hitam polos, wajahnya hanya dibalut bedak tipis, tapi sinar matanya penuh kehormatan.
Pak Surya dimakamkan secara keluarga besar dengan pengamanan khusus. Tak ada suara dari Aditya. Bahkan tak ada kabar.
Usai pemakaman, ketika para tamu mulai pulang satu per satu, Aurelia masih berdiri sendiri di dekat pusara.
“Papa... maafkan aku. Jika hidup ini membawaku terlalu jauh. Tapi aku janji, aku akan jaga apa yang kau tinggalkan.”
Reyhan menghampirinya. "Sudah waktunya kita kembali. Ada yang harus kamu lihat."
Di ruang kerja mendiang Pak Surya yang kini tertutup rapat dan dijaga dua pengawal, seorang pria paruh baya mengenakan jas hitam duduk dengan koper dokumen di tangannya. Ia memperkenalkan diri sebagai pengacara keluarga Surya.
"Saya Bapak Tegar Saliman, pengacara pribadi almarhum. Beliau meninggalkan surat wasiat yang harus dibacakan hari ini, sesuai permintaannya dalam dokumen tertulis."
Aurelia, Reyhan, dan beberapa anggota keluarga lainnya duduk dalam keheningan.
Pengacara itu membuka lembaran surat, membacanya perlahan dan tegas.
“Dengan ini saya, Surya Wirawan, menyatakan pembagian seluruh harta kekayaan dan kepemilikan saham perusahaan keluarga sebagai berikut…”
Beberapa anggota keluarga menahan napas. Suasana mendadak tegang.
“…seluruh saham dan kendali perusahaan saya wariskan kepada Aurelia Fadia Anggara. Alasannya saya cantumkan dalam dokumen pribadi yang akan diterima langsung olehnya.”
Geger. Semua mata terbelalak.
“APA?!” seru salah satu kerabat.
Reyhan menatap Aurelia yang kini tampak kebingungan.
“Ini... apa benar?” bisik Aurelia. “Aku? Kenapa aku?”
Pengacara itu mengangguk. “Saya hanya membacakan apa yang ditulis almarhum.”
"Dan ini..." sang pengacara mengeluarkan satu lagi amplop, berwarna hitam. "Surat wasiat tambahan yang ditulis tangan oleh almarhum Pak Surya sehari sebelum kematiannya. Hanya boleh dibuka dan dibacakan setelah seluruh pihak yang disebut dalam wasiat utama hadir di ruangan ini."
Ruangan mendadak senyap.
Aurelia meneguk ludah, firasatnya semakin kuat bahwa ini bukan sekadar surat biasa.
"Tunggu, jadi masih ada yang belum hadir?" tanya Nayra dengan nada penasaran.
"Ya. Pak Aditya belum datang." jawab pengacara datar.
"Dan sepertinya dia memang tidak akan datang," timpal Raka yang sejak tadi berdiri di sisi pintu. "Dia menolak dijemput. Bahkan mengusir kami saat mencoba membawanya ke sini."
Aurelia memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosinya yang mulai bangkit. Tapi pengacara itu belum selesai.
"Namun... ada satu hal lagi." katanya, menatap langsung ke arah Aurelia. "Sebelum meninggal, Pak Surya menyebutkan bahwa jika Aditya menolak hadir, maka surat tambahan ini hanya boleh dibacakan di hadapan Nyonya Aurelia dan satu pihak yang akan datang membawa bukti... ancaman yang dimaksud."
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka keras.
Seorang pria berpakaian hitam masuk, menyerahkan flashdisk ke pengacara. Wajahnya asing, tetapi caranya melangkah tegas membuat semua mata tertuju padanya.
Pengacara menatap flashdisk itu sejenak, lalu menoleh ke semua orang.
"Sepertinya... inilah waktunya."
Saat flashdisk dimasukkan ke dalam laptop dan layar besar di ruangan menyala, detik berikutnya membuat seluruh ruangan terdiam.
Video rekaman muncul.
Wajah Aditya terpampang di sana—duduk sendiri di sebuah ruangan, berbicara dengan seseorang di seberang kamera.
“Aku tidak peduli. Biar Aurelia urus semua. Dia yang dulu memecahkanku, dia juga yang harus menanggung semua ini. Jangan pikir aku akan datang untuk melihat jenazah ayahku.”
Napas Aurelia tercekat.
Karina terdengar di video, tertawa lirih. "Kamu kejam, Aditya. Tapi aku suka itu."
Aditya tertawa kaku. "Kejam? Tidak, sayang. Ini cuma... balas dendam." Ia melirik kamera, seperti sadar akan direkam. "Sampaikan salamku pada mereka, ya."
Layar gelap.
Suasana di ruangan seperti pecah oleh sunyi yang mencekam.
Tiba-tiba suara pengacara memecah keheningan, "Dan ini... adalah rekaman yang dikirimkan oleh pihak ketiga yang mengaku memiliki kaitan erat dengan wasiat Pak Surya. Kami telah memverifikasi keasliannya."
Aurelia menatap kosong ke layar yang kini mati.
Nayra bergumam pelan, "Itu... itu suara Aditya... dia benar-benar... tidak peduli..."
Raka menunduk, mengepalkan tangannya.
Namun sebelum siapa pun sempat bereaksi lebih jauh, ponsel pengacara berdering. Ia menjawab cepat, lalu wajahnya berubah serius.
"Ada ancaman bom... di area kantor pusat. Gedung sedang dievakuasi. Dan pesan singkat itu... ditujukan pada Anda, Nyonya Aurelia."
Aurelia berdiri perlahan, tubuhnya gemetar namun matanya tajam menatap layar hitam yang baru saja menampilkan wajah pria yang dulu ia cintai.
"Kalau ini permainan, Aditya... maka aku akan pastikan ini berakhir di tanganku," bisiknya lirih.
Di luar ruangan, Reyhan yang baru datang dengan setelan gelapnya hanya tersenyum miring sambil menatap jam tangannya.
"Sudah dimulai... tahap terakhirnya."
"Raka cepat telp penjinak bom, aku tidak mau di hari kematian papa menjadi kacau dan semakin brutal." perintah Aurelia.
"Baik, Aurelia." jawab Raka.
"Kau tetap disini, biar aku dan Raka yang kesana. Kau masih berduka, Lia." pinta Reyhan.
"Tapi-"
"Jangan membantah, kali ini saja." potong Reyhan.
Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk, di hari ini. Tepat di hari kematian papa. Ya Tuhan selamatkan perusahaan dan lindungi aku dari setiap orang yang akan berbuat buruk. Doa dalam hati Aurelia setelah Raka dan Reyhan keluar dari sana.
(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA)
kadang dituliskan "Aurelnya pergi meninggalkan ruangan tsb dengan Anggun"
Namun.. berlanjut, kalau Aurel masih ada kembali diruangan tsb 😁😁🙏