"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Biasanya Bulan membantu membukakan celana keponakannya yang mau kencing, itupun waktu keponakannya masih umur 2 tahun. Sekarang dihadapannya ada pria 30 tahun yang menyuruhnya membukakan celana, bagaimana Bulan tidak ketar-ketir?. Seumur-umur baru kali ini dia akan membukakan celana pria dewasa.
"Bulan cepetan, aku sudah tidak tahan." Protes Erik lantaran Bulan masih diam dan terlihat ragu-ragu melakukannya.
"Ish,, sabar dong. Mas Erik pikir ini gampang? Aku belum pernah bukain celana pria!" Tidak terima diprotes, Bulan balas memarahi Erik.
"Ya makanya belajar, biar nanti terbiasa." Jawab Erik dengan entengnya. Sontak Bulan melotot kesal.
Dengan terpaksa dan tangan yang sedikit gemetar, Bulan sedikit menundukkan badan. Wajahnya sampai bersemu merah karna malu dan memikirkan yang tidak-tidak.
"Astaghfirullah, sadar Bulan. Dosa kamu membayangkan yang aneh-aneh." Gumamnya dalam hati sampai reflek menggeleng cepat untuk mengusir pikirannya yang sedikit ternodai.
Sedikit gemetar, Bulan membuka kancing celana Erik. Sedikitpun Bulan tidak berani mendongak, dia akan semakin malu jika Erik melihat wajahnya memerah layaknya kepiting rebus. Jika sakitnya bukan karna melindunginya, agaknya Bulan ogah membantu Erik.
Sambil menutup mata, Bulan menurunkan perlahan resletingnya. Dia memegang ujung resleting seperti memegang sesuatu yang menjijikkan, padahal karna takut bersentuhan dengan benda hidup di balik celana Erik.
"Sudah!" Sedikit tidak ikhlas, Bulan buru-buru keluar dari kamar mandi setelah memastikan kancing dan resletingnya terbuka.
"Apanya yang sudah Bulan? Aku kesulitan menurunkan celana." Bukan kesulitan, tapi memang sengaja dibuat sulit karna ingin cari-cari kesempatan dengan Bulan.
Sambil berkacak pinggang, Bulan berbalik badan. Tidak lupa memberi tatapan sebal. "Gunanya tangan kiri apa Mas? Jangan pura-pura deh, aku tau Mas Erik cuma modus. Terserah Mas Erik mau ngompol atau bagaimana, aku tidak mau menurunkan celana."
Bulan berlalu dengan perasan kesal bercampur malu. Membuka kancing dan menurunkan resleting saja sudah membuat merah wajahnya, apalagi harus menurunkan celana, bisa-bisa mata Bulan melihat isinya.
Erik terkekeh pelan meski dalam hati sebenarnya kecewa. Tapi dia sudah menduga Bulan memang tidak mudah di bodohi.
...*****...
"Kamu tidak bercanda kan bisa menyetir mobil?" Erik sekali lagi memastikan pada Bulan. Dia masih sayang nyawa, apalagi belum pernah merasakan nikmatnya ber cinta, Erik takut kehilangan nyawa jika ternyata Bulan belum mahir menyetir.
Kemarin malam Bulan meminta salah satu bapak-bapak yang ada di restoran untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit menggunakan mobil milik Erik. Jadi sekarang Erik rabu kalau Bulan bisa menyetir. Seharusnya kalau memang bisa, Bulan sendiri yang kemarin mengendari mobilnya, tidak perlu meminta bantuan orang.
"Aku juga tidak sebodoh itu sampai membahayakan nyawa sendiri. Ayo cepat masuk, atau Mas Erik ingin naik taksi?" Bulan memberi tawaran, tapi ditelinga Erik terdengar seperti ancaman. Jadi tanpa di minta 2 kali, Erik langsung masuk dan duduk di kursi samping kemudi. Dia menarik sabuk pengaman dan menguncinya.
Dadanya naik turun saking takutnya saat Bulan menyalakan mesin mobil.
"Mas, kenapa harus komat-kamit begitu?" Bulan agak tersinggung melihat mulut Erik komat-kamit, entah sedang berdoa atau apa, tapi cukup membuat Bulan kesal melihatnya.
Erik tersenyum kaku tanpa berniat menjawab. Lagipula bingung juga harus menjawab apa. Daripada semakin panjang urusannya, lebih baik diam. Tidak mungkin juga dia jujur sedang berdoa agar dilindungi dalam malapetaka.
"Bulan, pelan-pelan saja ya asal sampai." Erik mengingatkan Bulan secara baik-baik, tentunya dengan suara lembutnya dan berusaha menunjukkan ketenangan. Meski dalam hati tidak berhenti berdoa.
Perlahan, mobil yang dikemudikan Bulan melaju dengan kecepatan sedang. Bulan sudah lulus pelatihan mengemudi, bahkan memiliki SIM. Karna punya rencana untuk membeli mobil di kemudian hari. Tapi untuk saat ini, rencana itu tidak lagi begitu penting.
Erik tidak pernah melepaskan pandangan dari cara Bulan mengemudi. Sejauh ini semuanya terlihat bagus dan baik-baik saja. Sepertinya pikiran Erik saja yang berlebihan, meski sejak awal Bulan dengan tegas menyatakan bisa menyetir. Kenyataannya memang bisa dan Erik mengakui itu.
"Belajar nyetir sama siapa?" Tanya Erik yang sudah rileks. Dia yang tadinya seperti mengambang duduk di kursi, sekarang bisa menyandarkan punggung dengan tenang.
"Sama orang." Bulan menjawab singkat, dia sangat fokus pada jalan di depannya karna memang sudah lama tidak mengemudi. Sebenarnya sedikit takut, tapi tidak diperlihatkan di depan Erik.
Jawaban Bulan membuat Erik menarik nafas panjang. Erik tidak tau saja kalau dulu Bulan yang sering menarik nafas panjang akibat sikap dingin dan acuhnya. Sekarang Erik merasakan sendiri seperti apa rasanya diuji kesabaran.
"Ya tidak mungkin juga ada hewan bisa mengajari menyetir, Bulan. Siapa itu maksudnya teman atau Bintang sama Bang Bumi?" Tanya Erik lebih spesifik.
"Ooo,," Bulan ber'o riya tanpa menoleh. "Diajarin Bang Arman."
Mendengar nama pria, Erik sedikit mencondongkan badanya menghadap Bulan. "Siapa Arman?" Tanyanya penasaran. Sedikit kesal Erik mendengar Bulan di ajari oleh laki-laki yang namanya terdengar asing.
"Kepo banget deh. Diam dulu bisa tidak? Aku harus fokus." Pinta Bulan.
Diam dan menutup mulut rapat-rapat. Semudah itu Erik menuruti permintaan Bulan. Hingga mobil mereka memasuki halaman rumah, barulah Erik kembali bersuara.
"Kamu belum jawab, siapa Arman?" Erik melontarkan pertanyaan yang sama, Bulan sampai bingung karna tidak menyangkan menyebut nama Arman membuat Erik terus bertanya, seolah mendesaknya untuk memberi penjelasan.
"Aku kasih tau sekalipun, Mas Erik tidak akan kenal. Ayo masuk, badanku rasanya sakit semua. Bisa-bisanya semalam mimpi buruk di rumah sakit. Entah jin jenis apa yang menindih ku semalam." Lirih Bulan merinding.
Sementara itu, Erik membulatkan mata mendengar penuturan Bulan. Dalam hati berdecak kesal.
"Bisa-bisanya disamakan dengan Jin, Mana ada jin setampan ini." Erik bicara dalam hati.
Jin yang dimaksud Bulan adalah Erik. Pria itu mencuri kesempatan menghampiri Bulan yang tidur di ranjang terpisah. karna ranjang itu hanya muat untuk 1 orang, jadi tubuh Erik sedikit menimpa Bulan.
Erik melihat punggung Bulan yang semakin menjauh. Dia masih bisa tersenyum meski baru saja dikira sebagai makhluk astral.
"Bukannya dulu dia kalem dan pendiam, kenapa makin kesini makin cerewet." Gumam Erik pelan. Tidak, dia tidak kesal sama sekali dengan sikap Bulan yang makin cerewet, justru cerewetnya Bulan bisa membuat Erik bisa berinteraksi dengan istrinya itu.
Meninggalkan Erik yang senyum-senyum tidak jelas, Bulan menghampiri Bik Asih yang sedang mengepel.
"Eh,, Neng Bulan sudah pulang? Kok cepat sekali liburannya? Bibi pikir pulangnya hari minggu." Ujar Bik Asih. Yang dia tau, majikannya sedang berlibur ke pantai dan akan menginap. Itu yang Bulan bilang kemarin malam.
"Saya ada pekerjaan Bik nanti sore, jadi tidak bisa lama-lama. Saya mau istirahat dulu, nanti tidak usah bangunkan saya pas makan siang ya Bik. Saya sorean aja makannya, sebelum pergi." Pesan Bulan sebelum pergi ke kamarnya.
"Neng Bulan kelihatan lelah sekali, pasti semalam dibuat bergadang sama Pak Erik. Ibu pasti senang dengar gosip ini." Gumam Bik Asih yang langsung merogoh ponsel di saku daster. Baru saja ingin mencari nomor Soraya, Bik Asih dikejutkan dengan keberadaan Erik.
"Selesaikan dulu ngepelnya, lagian tidak baik bergosip." Ujar Erik.
"Eh,, i-iya Pak, maaf." Ucap Bik Asih gugup. Untungnya Erik langsung berlalu menaiki tangga.
"Syukurlah, Pak Erik cuma dengar kata-kata terakhir saja sepertinya." Gumam Bik Asih pelan.
ktagihan y 😄
gᥲ⍴ᥲ⍴ᥲ ᥣᥲᥒ mᥲkіᥒ һᥲrі mᥲkіᥒ ᥱᥒᥲk k᥆kk 😁🤭 ძ᥆ᥲkᥙ sᥱm᥆gᥲ kᥲᥣіᥲᥒ ᥴᥱ⍴ᥲ𝗍 ძі kᥲsіһ m᥆m᥆ᥒgᥲᥒ ᥡᥲ.. ᥲᥲmііᥒ