Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Aku percaya kok, mamamu adalah wanita yang baik serta penyayang. Setiap ibu pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Damar, meski mamamu nggak menyukaiku, aku nggak masalah karena itu wajar. Aku mohon, sekesal dan semarah apapun kamu kepada mamamu, jangan sekali-kali sakiti hatinya apalagi membentaknya," tutur Quin menasehati Damar.
Damar tak menjawab melainkan merubah posisi berhadapan dengan Quin. Menatap lekat wajah sang asisten.
"Quin."
"Hmm."
"Kamu ke mana saja kemarin?" tanya Damar.
"Ke suatu tempat untuk menenangkan pikiranku. Maaf, jika sudah membuatmu cemas karena nggak mengabari sama sekali," jawab Quin apa adanya.
"Bukan cuma cemas. Tapi, aku juga takut jika kamu kenapa-napa," aku Damar.
"Buktinya aku baik-baik saja. Sudahlah nggak usah dibahas. Sebaiknya kita makan." Quin mulai menata makanan di atas meja. "So, ceritanya, kita lagi dinner di butik ini? Ck, kamu nggak romantis banget sih?" kelakarnya disertai gelak tawa.
Setelah itu, keduanya pun mulai menyantap makanan itu hingga selesai.
Sementara itu, di club' malam, sejak tadi Kinar terus memperhatikan Angga. "Nai, aku ke sana sebentar, ya."
"Oke."
Kinar menghampiri Angga lalu menepuk bahunya. Sontak saja ulahnya membuat pria itu, kaget lalu memutar kursi. Saat tahu ternyata Kinara pelakunya, ia tersenyum sinis.
"Ada apa?!" tanya Angga dengan ketus lalu kembali memutar kursi menghadap meja.
"Nggak apa-apa, hanya ingin menemanimu minum," jawab Kinar lalu duduk di kursi satunya.
"Dennis, sepertinya Kinar butuh kehangatan. Apa kamu ingin menemaninya malam ini?" tawar Angga dengan senyum mengejek. Mendengar ucapan Angga, Kinar merasa jengkel
"Kenapa? Aku benar kan!" sindir Angga. "Dennis, Jika kamu menginginkannya malam ini, dia bisa menjadi bed partnermu."
"What! Are you insane?" kata Dennis sambil geleng-geleng kepala.
"Angga, kamu pikir aku ini ...?"
"Apa? Wanita murahan maksudmu!" sarkas Angga masih dengan senyum sinis. "Bukankah julukan itu tepat untukmu?"
Kinar bergeming mendengar ucapan sarkas Angga. Seketika itu juga, ia teringat akan ucapan menohok Quin beberapa hari yang lalu. Ia langsung mengepalkan kedua telapak tangannya.
Setelah membayar bill-nya, Angga memilih cabut dari tempat itu. Sepeninggal partner bisnisnya itu, Dennis menatap penuh selidik pada Kinara.
"Apa sih, Den. Kok, kamu melihatku seperti itu," kata Kinar sembari mengusap tengkuknya.
"Sebenarnya ada hubungan apa kalian?" selidik Dennis lalu menyesap rokoknya.
Kinar bergeming. Jika ia menjawab, itu sama saja sang model mempermalukan dirinya sendiri.
"I'ts oke jika kamu nggak mau menjawab. Itu adalah hakmu. By the way, mau nggak malam ini kamu menjadi bed partnerku," tawar Dennis.
Kinar tersenyum sambil menggeleng. "Cari yang lain saja," saran Kinar lalu meninggalkan Dennis. Ia memilih kembali bergabung dengan teman-temannya.
.
.
.
Beberapa jam lamanya menemani Quin di butik, Damar melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Ia mengarahkan pandangannya kini ke arah sang asisten pribadi.
Gadis itu masih saja serius mengutak atik laptopnya. "Quin, pulang yuk. Ini sudah hampir jam tiga dini hari. Masih ada hari esok," tegur Damar.
Mendengar ucapan Damar, Quin beralih menatap pria brewok itu lalu tersenyum. Sejenak, ia bersandar di kursi kerja seraya berkata, "Masa sih?"
Ia tak menyangka jika mereka cukup lama juga berada di butik itu. Damar menghampiri Quin yang sudah beranjak dari tempat duduk.
Menutup laptop Quin lalu menatapnya. Membawa sang designer masuk ke dalam pelukannya seraya berbisik, "Jangan terlalu keras bekerja. Aku nggak mau jika kamu sakit."
Sejenak, Quin memejamkan mata. Merasakan hangatnya pelukan itu. Terharu akan ucapan Damar barusan.
"Maaf, sudah merepotkan serta membuatmu menunggu sejak tadi. Terima kasih atas perhatianmu," bisik Quin balik, membalas dekapan erat Damar.
.
.
.
Keesokan paginya ....
Demi menebus tiga hari yang ia lewatkan tanpa Damar, pagi-pagi sekali, Quin bangun lebih awal lalu ke kamar Damar.
Sejenak ia memandangi wajah pria itu sambil tersenyum. Tak ingin mengganggu karena semalaman menemaninya di butik, Quin memilih ke walk in closet.
Memilih setelan kantor Damar seperti hari-hari sebelumnya. Setelah itu, ia menggantung pakaian itu di tempat khusus.
Setelah kembali ke kamar. Quin duduk di sisi ranjang. Mengusap kepala Damar lalu membangunkannya.
"Quin," sebut Damar sembari menahan jemari gadis blasteran Indo Jepang itu. Membuka mata lalu mengecup punggung tangan Quin.
Perlahan Damar merubah posisi menjadi duduk. "Good morning, Honey," kelakar Damar lalu tertawa.
"What ... Honey?" Quin ikut tertawa merasa lucu seraya meninju pelan dada Damar. "Pakaian kantormu sudah aku siapkan di ruangan ganti. Sebaiknya kamu mandi sekarang," saran Quin. "Aku juga harus bersiap. Kasian Al, karena aku sudah banyak merepotkan dirinya."
"Baiklah," balas Damar. Namun, ia masih enggan beranjak dari ranjangnya.
Dari arah lantai bawah, sejak tadi Naira terus memperhatikan kamar Damar. Tak lama berselang, Quin terlihat keluar dari ruangan itu.
Naira mengerutkan kening merasa geram lalu bergumam, "Ngapain dia di kamar Damar? Apa jangan-jangan dia tidur di kamar itu?"
Rasa bencinya pada Quin semakin menjadi. Naira merasa tak terima jika gadis itu dekat-dekat dengan Damar.
Cemburu karena ingin memiliki pria brewok itu sekaligus ingin segera menyingkirkan Quin dari rumah Damar.
"Kamu pikir aku akan tinggal diam saja? Nggak akan kubiarkan kamu memiliki Damar!" ucap Naira dengan perasaan dongkol.
Satu jam kemudian ...
Quin mengambil ponselnya lalu menatap layar benda pipih itu. Matanya langsung membulat karena angka jam sudah menunjukkan pukul 8.45 pagi.
"Oh God! Bagaimana ini?" ucap Quin nyaris tak terdengar. Dengan perasaan getir memikirkan Damar. Ia takut jika pria itu akan dipecat karena terlambat masuk ke kantor. Ia segera ke kamar pria brewok itu.
"Damar! Ini sudah hampir jam sembilan!" pekik Quin seraya menghampiri pria brewok itu.
"Lalu?" Damar terlihat santai sambil merapikan jas-nya.
"Aku takut kamu dimarahi atasanmu. Aku juga takut jika kamu akan dipecat," sahut Quin dengan wajah gusar menghampiri Damar.
"Mr. Brewok, ayo cepatan!" desak Quin lalu mengikat rambut gondrong Damar dengan rapi.
Damar yang terlihat santai hanya tersenyum gemas. Sikap Quin yang terkesan sangat mengkhawatirkan dirinya membuatnya terharu.
'Mana mungkin aku dipecat. Aku kan, boss-nya,' batin Damar.
"Aku nggak akan dipecat. Jika aku dipecat pun, aku siap bekerja di butikmu sebagai bang kurir," kelakar Damar.
Mendengar ucapan itu, Quin langsung tertawa. Pun begitu dengan Damar. Pria blasteran Arab itu langsung memeluk sang asisten karena merasa gemas.
"Mr. Brewok! Lepasin," pinta Quin.
"Nggak mau," bisik Damar sembari membenamkan bibirnya ke ceruk leher Quin.
"Ck, Damar, geli," protes Quin lalu tertawa cekikikan karena geli. "Aku takut kita dipergoki mamamu. Dia pasti akan mengamuk."
Baru saja Quin selesai bicara, suara Naira menegur keduanya. "Quin, Damar."
Quin dan Damar saling bertatapan lalu tertawa lucu.
"Kali ini bukan mamamu, tapi sang perawat," bisik Quin tepat di telinga Damar. "Oh ya, jika kamu memiliki kekasih, aku sarankan jangan terlalu dekat dengannya. Dia berbau pelakor."
Setelah selesai berucap, Quin dan Damar kembali tertawa. Sedetik kemudian, Damar mengurai dekapannya lalu menatap Naira. "Ada apa, Nai?" tanya Damar.
"Turunlah sarapan," balas Naira kemudian meninggalkan keduanya.
Lima belas menit kemudian ....
Setelah selesai sarapan, Damar mengajak Quin segera berangkat.
"Quin, ayo kita berangkat sekarang. Oh ya, jika kamu ingin ke kantor, jangan lupa hubungi aku dulu, ya," pesan Damar.
"Oke, Mr. Brewok."
...----------------...