Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencintaimu Lagi
“Seperti apa ciri-ciri pria tersebut?” tanya Pak Chandra serius pada Ali.
Aliando kemudian menjelaskan dengan seksama.
Namun, kalimat terakhir, sukses membuat Rohan menoleh. “Jam tangan?”
“Ya …, pria itu memakai jam tangan mahal edisi terbaru dan harganya sangat fantastis,” ujar Aliando.
“Sekitar 250 miliar?” ungkap Pak Chandra agak ragu menyebut harga.
“Benar, Pak! Harganya segitu, ya ampun!” Mata Rohan melebar sempurna. “Itu setara dengan gaji kita selama kurang lebih sepuluh tahun!”
Aliando menghela napas panjang. “Tidak, jika ia memang kaya raya, atau ….”
“Atau?” Sebelah alis Pak Chandra terangkat ke atas.
“Dialah eksekutornya,” jawab Ali singkat.
Ruangan itu menjadi begitu sunyi. Seluruh anggota tim khusus yang bertugas untuk mengumpulkan bukti-bukti kejahatan mafia dalam institusi menjadi diam. Ada rasa ngeri sekaligus marah yang mencuat di wajah mereka.
“Ciri-cirinya persisi seperti teman ruanganku, Pak,” kata Rohan menunduk.
“Siapa?” serbu Pak Chandra.
“Maksudmu …, Andra?” tanya Aliando.
“Hmm.” Angguk Rohan. “Sikapnya memang sangat aneh, dan dia ….” Rohan mendongak menatap Pak Chandra. “Andra itu …, temannya anak Bapak.”
“Apa?” beo Pak Chandar heran, keningnya mengernyit. “Saya tidak pernah tahu jika putra saya dekat dengan polisi bernama Andra.” Pak Chandra kemudian berjalan pelan mondar-mandir.” Seperti apa orangnya? Saya mau dengar sebelum melihatnya secara langsung.”
“Sifatnya, Pak?”
“Ya, tadi …, Ali sudah mengatakan postur tubuh dan ciri lainnya, bukan?”
“Tapi kita belum tahu apakah Andra ini pelakunya, Pak,” sergah Ali cepat, tidak mau menuduh sembarangan.
“Kita hanya menjadikan dia sebagai salah satu variabel. Tenang saja, Ali.” Pak Chandra menepuk bahu bawahannya itu.
“Kalau sifatnya …, jelas dia adalah orang yang emosian parah, Pak. Terus …, setahu saya, dia masuk jalur nyogok.”
“Hah?” Tubuh Pak Chandra segera memaju memelototi Rohan.
“Iya, Pak, dia adalah cucu dari mantan kepala polisi beberapa periode yang lalu.”
Pak Chandra mengusap mulutnya. Ingatannya tiba-tiba saja terseret jauh belasan tahun yang lalu ketika ia masih sebagai polisi biasa.
Tahun 2010, polres kota J.
“Jadi kamu yang namanya Chandra?”
Pak Chandra muda meremas sisi kain celananya. Begitu gemetar menghadap kepala polisi nomor satu di tempatnya bekerja.
“Kamu bisu?!” sentak bapak berwajah kemerahan tersebut.
“Si … siap, komandan!”
“Siap apa kamu?!”
Chandra muda terdiam. Matanya bergerak-gerak gelisah. Siapa yang tidak takut? Ia baru saja menyaksikan seseorang meninggoy dalam keadaan tubuhnya yang terkoyak. Ternyata, ada serigala yang dipelihara oleh sang Bos di dalam tahanan bawah tanah.
Orang yang di makan serigala kelaparan tersebut tak lain dan tak bukan adalah salah satu petinggi di kejaksaan waktu itu.
Kepala polisi bernama Edgar menjepit leher Chandra muda dengan napasnya yang memburu seperti binatang. “Lupakan apa yang kau lihat hari ini. Ingat, bersihkan semuanya dan jangan pernah kembali ke ruangan ini, mengerti?”
“Me … mengerti, komandan,” jawab Chandra muda dengan seluruh badan gemetar parah.
Setelah kejadian itu, ia mengidap insomnia akut. Sampai saat ini pun, dia masih menderita hal itu.
Tiba-tiba saja, lamunan Pak Chandra harus terhenti akibat dehaman seluruh anak buahnya.
“Eh?” Manik mata Pak Chandra bergerak gelisah, matanya berkedip belasan kali.
“Pak?” Aliando berdiri menyampingi Pak Chandra. Ali nampak memegang spidol. “Bolehkah saya mulai memetakannya dengan lebih jelas?”
“Tentu,” jawab Pak Chandra, kerigatnya mulai menetes di pelipisnya.
***
Dini hari, jam 2 malam. Aliando pelan-pelan membuka pintu kamar. Larasnya sudah tertidur pulas. Setelah Aliandi ganti baju memakai piyama dan naik ke sisi Laras. Ia menjadi begitu menginginkan istri mungilnya.
Perlahan, tangan itu memeluk pinggul sang Istri. Sepertinya Laras sensitif, wanita itu terbangun, menoleh. “Mas Al?”
“Eh, kamu bangun?” tanyanya pura-pura tolol.
Laras melirik ke arah jam dinding. “Ugh, udah jam 2 lewat dan Mas baru balik?”
“Iya …, banyak kerjaan.”
“Oh.” Laras kembali berbalik memeluk bantalnya.
Aliando yang tidak pandai berbasa-basi langsung menuju intinya. Ia menarik tubuh mungil istrinya semakin dalam ke pelukannya. “Laras ….” Ali mengendus aroma leher istrinya.
“Eh?” kaget Laras, seketika rasa ngantuknya sirna.
“Mas pengen.”
“ …. “ Laras diam membatu.
Karena tidak ada jawaban, itu berarti, istrinya mau. Tanpa perduli rasa malu, Aliando segera mematikan lampu kamar.
Ia mulai menjalankan aksinya. Kali ini, jauh lebih lembut, pelan, dan menikmati karena bekas lebam pada tubuh istrinya masih belum hilang. Ketika tangannya mulai menelusup masuk memegang daging sebesar bola bekel, suara lenguhan Laras terdengar begitu merdu.
Lantas, pria di seberang kamar yang ternyata masih terjaga segera bangkit dari sandarannya. “Uh? Suara apa tuh?” Baskara meletakkan ponselnya lalu menempelkan telinganya ke tembok.
“Hmph, Mas Al ….”
Ketika itu, mata Baskara melebar, kepo bukan main. “Buset, itu mereka …, ya ampun!”
“Mas sayang sama kamu, Laras.” Semakin banyak Aliando bicara, semakin lincah pula jarinya bergerak bebas ke sana ke mari. Ia kecup tanpa henti seluruh bagian tubuh istrinya. Seperti tak pernah puas, ia terus melakukan itu hingga miliknya terasa berkedut, mendesak mencari sarangnya.
Blash!
“Akh,” keluh Laras barang beberapa detik.
Baskara yang masih setia menguping orang berganti oli meremas celananya. Miliknya seperti ikut terbangun. “Si4l!!!”
Karena ia sudah tidak tahan, Baskara segera menuju kamar mandi untuk bermain solo. Jarang sekali ia melakukan hal itu. Namun, apa boleh buat, karena tingkat penasarannya mendengar tetangga kamar berganti oli, adiknya menjadi bangkit dan meminta untuk dielus, disayang-sayang.
Laras sudah mengalami pelepasan berkali-kali sementara Aliando merasa ini baru permulaan.
Disekanya keringat yang membasahi wajah dan tubuh Laras. “Kamu lelah?”
“Hmm, Laras haus, Mas.”
Aliando segera membuka segeal botol air mineral di atas meja. Bukannya langsung membiarkan istrinya menguk dari botol, tapi, ia memberikan air itu dari mulutnya sendiri.
Ali pikir, istri mungilnya akan jijik. Namun, Laras membuka mulutnya menerima perbuatan aneh dari suaminya.
“Sudah lama aku ingin merasakan secara langsung adegan ini bersamamu, Laras,” ujar Ali dengan napas tersengal menahan lonjakan hormon yang tak ada habisnya.
“Mas suka nonton film blue?!”
Aliando segera menggeleng cepat. “Bukan …, bukan begitu, Mas hanya mencari cara untuk melakukan kegiatan romantis kita dengan berbagai cara.”
“Maksud, Mas?” beo Laras, mulut mungilnya kembali disesap dengan intens oleh Ali.
Kemudian, wajah Laras seketika memerah kala ia melihat suaminya mengambil sebuah borgol. “Heh? Mau diapain?”
Tidak menjawab pertanyaan, Aliando segera memborgol ke dua tangan istrinya sambil ia berbisik. “Pencuri harus di tangkap.”
“Ih, apa sih maksudnya? Laras bukan pencuri, loh!”
“Kamu sudah mencuri hatiku, Laras.”
Ali yang dimabuk asmara bersikap tanpa malu dan batas. Toh, Laras istrinya, kenapa musti malu-malu?
“Aku ingin mencintai kamu setiap hari …, tanpa jeda.” Semakin dalam ia menempatkan miliknya ke dalam lingkaran surgawi yang begitu sempit. Kenikmatan yang tiada tara. Seluruh kepusingan di kantornya lenyap begitu saja ketika Ali berada dalam pelukan istri mungilnya.
“Oh, Laras …, Mas sudah gila karena kamu.”