Pengembaraan seorang pendekar muda yang mencari para pembunuh kedua orang tuanya.Ia berkelana dari satu tempat ketempat lain.Dalam perjalanannya itu ia menemui berbagai masalah hingga membuat dirinya menjadi sasaran pembunuhan dari suatu perguruan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Gunung Gagak
Antasena lalu mendatangi tempat pendaftaran peserta sayembara untuk mendaftarkan dirinya.Di sana sudah ada banyak para pendekar dengan tingkat kekuatan yang bermacam macam.
Mata Antasena menyapu seluruh ruangan, mengamati para pendekar yang telah hadir. Beragam aura kekuatan terpancar dari mereka, beberapa terasa begitu kuat hingga membuat bulu kuduk Antasena berdiri. Ia menyadari bahwa persaingan dalam sayembara ini akan sangat sengit dan kemungkinan akan terjadi sesuatu yang di luar perkiraannya.
Di sudut ruangan, tampak seorang pendekar tua berjubah putih dengan janggut panjang yang menjuntai hingga ke dada. Auranya begitu tenang dan damai, namun Antasena dapat merasakan kekuatan dahsyat yang tersembunyi di baliknya. Di dekatnya, berdiri seorang wanita berpakaian serba hitam dengan tatapan mata tajam seperti elang. Gerakannya begitu lincah dan gesit, menunjukkan keahliannya dalam ilmu silat.
Antasena menghampiri meja pendaftaran, di mana seorang pria paruh baya dengan wajah ramah menyambutnya.
"Selamat datang, Pendekar. Silakan tuliskan nama dan asal perguruanmu," ujar pria tersebut sambil menyodorkan selembar kertas dan pena.
Antasena menerima kertas dan pena tersebut, lalu menuliskan namanya dengan teliti. Di kolom asal perguruan, ia sedikit ragu. Ia tidak memiliki perguruan resmi, karena hanya berguru pada ayah dan ibunya. Akhirnya, Antasena memutuskan untuk mengosongkan kolom tersebut.
Setelah selesai mengisi formulir, Antasena menyerahkannya kembali kepada pria paruh baya tersebut.
"Terima kasih, Pendekar Antasena. Silakan tunggu di ruang sebelah untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dan pengarahan.
Pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Seorang pria berwajah tegas dengan pakaian keprajuritan lengkap memasuki ruangan. Langkahnya mantap dan tatapan matanya tajam, memancarkan aura wibawa yang membuat para pendekar di ruangan itu seketika terdiam. Beberapa di antara mereka bahkan tanpa sadar menegakkan tubuh, memberikan hormat secara naluriah.
"Salam hormat kepada para pendekar," ucapnya dengan suara lantang yang menggema di seluruh ruangan. "Saya adalah Senapati Baladewa, penanggung jawab sayembara ini."
Suasana di ruangan semakin tegang. Para pendekar saling berpandangan, mencoba menebak apa yang akan dikatakan oleh Senapati Baladewa. Beberapa terlihat gugup, sementara yang lain tampak bersemangat dan tidak sabar.
Senapati Baladewa melanjutkan, "Seperti yang kalian ketahui, sayembara ini diadakan untuk membasmi Brajadara dan sekaligus mencari pendekar terkuat yang akan menjadi pengawal pribadi Putri Sekar Arum. Tugas ini bukanlah tugas yang mudah. Kalian akan menghadapi berbagai ujian dan tantangan yang akan menguji kemampuan bertarung, ketahanan fisik, dan juga kecerdasan kalian."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam benak para pendekar. Kemudian, dengan suara yang lebih tegas, ia melanjutkan, "Hanya mereka yang memiliki keberanian, kekuatan, dan kebijaksanaan yang akan berhasil. Apakah kalian siap menghadapi tantangan ini?"
"Siap!" seru para pendekar serempak, suara mereka bergemuruh memenuhi ruangan, menunjukkan semangat dan tekad mereka untuk memenangkan sayembara. Antasena merasakan darahnya berdesir. Ia tahu bahwa perjalanan untuk membunuh Brajadara dan menjadi pengawal Putri Sekar Arum tidak akan mudah, namun ia siap menghadapi segala rintangan yang ada.Tapi tujuan utama Antasena bukanlah menjadi pengawal putri, tapi membunuh Brajadara untuk menguji kekuatannya dan tidak mengejar hadiah apa pun.
Antasena menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam gejolak di hatinya. Kata-kata Senapati Baladewa tentang menjadi pengawal Putri Sekar Arum seakan berlalu begitu saja di telinganya. Tujuannya mengikuti sayembara ini bukanlah untuk mendapatkan posisi, harta, atau wanita. Ia datang untuk satu tujuan: mengalahkan Brajadara itulah yang terbesit dalam benaknya.
"Dengar semua Brajadara bukanlah kepala perampok biasa ia mempunyai kekuatan dan kesaktian ilmu hitam yang sangat tinggi dan tidak mudah untuk di kalahkan.Sudah banyak para prajurit kerajaan Paku Putih yang terbunuh di tangannya, " Selesai berkata seperti itu senopati Baladewa memandang semua peserta yang hadir.
Senapati Baladewa menatap tajam ke arah para peserta sayembara, sorot matanya penuh dengan keseriusan. "Kalian semua adalah pendekar-pendekar pilihan," lanjutnya, suaranya bergema di seluruh ruangan. "Namun, saya tidak ingin ada di antara kalian yang meremehkan Brajadara. Ia bukan lawan yang mudah. Selain kekuatannya jauh melampaui manusia biasa, ia juga memiliki banyak pengikut yang setia."
"Banyak pendekar hebat yang telah gugur di tangannya," Senapati Baladewa menghela napas panjang, "Bahkan pasukan kerajaan pun kesulitan untuk menangkapnya." Ia menatap wajah para pendekar satu persatu, memastikan pesan pentingnya tersampaikan. "Oleh karena itu, saya ingin kalian semua mempersiapkan diri sebaik mungkin, karena aku tidak mau kalian ke gunung Gagak hanya untuk mengantarkan nyawa saja. "
Di antara para peserta, terlihat beragam reaksi. Ada yang tampak gentar mendengar betapa berbahayanya Brajadara. Ada yang termotivasi untuk membuktikan kemampuan mereka. Ada pula yang terlihat tenang, menyembunyikan kegugupan di balik wajah datar.
Antasena semakin tertantang. Peringatan Senapati Baladewa justru semakin membakar semangatnya. Ia datang untuk menghadapi tantangan, dan Brajadara adalah tantangan terbesar yang pernah ia hadapi.
"Brajadara," batin Antasena, "Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu."
Ia mengepalkan tangannya, merasa semakin yakin dengan tujuannya. Ia akan mengalahkan Brajadara, apapun risikonya.
Nama Brajadara membuat Antasena semakin penasaran,bagaimana kekuatan orang itu. Kekuatannya yang luar biasa, kekejamannya yang tak tertandingi, dan ilmu hitam yang dikuasainya telah menebar teror di seluruh penjuru negeri. Antasena yang mendengar cerita dari Senopati Baladewa tentang Brajadara sudah tidak sabar untuk cepat bertarung dengannya.
Bagi Antasena, Brajadara adalah ujian pamungkas. Ia ingin mengukur sejauh mana kekuatan yang telah diwarisinya dari sang ayah, seberapa jauh ia telah menguasai ilmu yang dipelajarinya. Mengalahkan Brajadara akan menjadi bukti bahwa ia telah menjadi pendekar yang sesungguhnya, pendekar yang mampu melindungi yang lemah dan menegakkan keadilan.
Tekadnya membara, semangatnya berkobar. Antasena siap menghadapi segala tantangan, siap mempertaruhkan nyawanya demi mencapai tujuannya. Ia akan bertarung, bukan untuk hadiah atau pujian, melainkan untuk membuktikan kekuatannya untuk jalan kebenaran sesuai pesan Ayah dan Ibunya.
"Sepertinya hanya itu saja sedikit pesan dan arahan ku, sekarang kalian semua boleh berangkat ke gunung Gagak untuk memulai sayembara ini." kata Senopati Baladewa.
Para pendekar dari berbagai perguruan dan aliran saling beradu pandang. Mereka tahu bahwa sayembara ini bukanlah pertandingan persahabatan, melainkan pertarungan hidup dan mati melawan Kelompok Brajadara yang terkenal kejam.
Beberapa pendekar muda terlihat bersemangat, siap membuktikan kemampuan mereka dan meraih gelar Pendekar Sakti sekaligus hadiah yang dijanjikan oleh Kerajaan Paku Putih. Namun, ada juga yang tampak ragu dan khawatir, menyadari betapa berbahayanya misi ini.
Tak lama kemudian, para pendekar mulai bergerak meninggalkan kota Giri wangi. Ada yang langsung melesat dengan ilmu meringankan tubuh, ada yang berjalan berkelompok, dan ada pula yang menyendiri, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Antasena memilih berjalan kaki seorang diri menuju ke gunung Gagak itu. Baginya tidak perlu buru buru karena belum tahu seperti apa medan di sana. Ia tidak perduli melihat yang peserta yang lainnya sudah pergi meninggalkannya.
Setelah lama berjalan Antasena pun memasuki sebuah hutan lebat yang jarang di masuk oleh orang.
Antasena melangkah dengan tenang, matanya mengamati jejak-jejak yang ditinggalkan para pendekar lain. Ia memilih jalan setapak yang jarang dilalui, lebih memilih menyusuri hutan lebat di kaki Gunung Gagak. "Mungkin aku bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan Kelompok Brajadara di sini," pikirnya.
Sinar matahari mulai redup, menembus celah-celah dedaunan dan membentuk bayang-bayang yang menari di tanah. Antasena berhenti sejenak, merasakan ada sesuatu yang mengawasinya. Ia mengedarkan pandangan, namun tak menemukan tanda-tanda keberadaan siapapun. "Mungkin hanya perasaanku saja," gumamnya.
Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat dari balik semak belukar, mengarah ke arahnya! Dengan sigap, Antasena menghindar. Anak panah itu menancap di pohon di belakangnya. Dari balik semak, muncul tiga orang berpakaian serba hitam, wajah mereka tertutup kain.
"Siapa kalian?" tanya Antasena dengan suara lantang, "Kelompok Brajadarakah?"
Salah satu dari mereka tertawa mengejek. "Kau tidak perlu tahu siapa kami,yang jelas tujuan ku adalah membunuh kalian semua"
Tanpa basa-basi, ketiga orang itu menyerang Antasena dengan di sertai niat membunuh yang begitu kuat.Serangan ganas dan mematikan mereka lancarkan pada Antasena. Tapi serangan ketiga orang itu dapat dipatahkan oleh Antasena hanya dengan tangan kosong.Kepiawaian Antasena dalam pertarungan itu langsung membuat ketiga orang itu geram .
"Aku tidak percaya di buat kesulitan oleh pemuda ingusan ini, "ucap salah satu dari orang di sela pertarungan itu.
Hiaat..! Teriakan Antasena menggema di tengah hutan, bagai petir yang membelah langit. Ia bergerak secepat kilat, menghindar dari tebasan pedang, menangkis tusukan tombak, dan menghantam rahang salah satu penyerang dengan sikunya. Tulang retak terdengar, diikuti jeritan kesakitan.
Kedua penyerang lainnya terkejut melihat kecepatan dan kekuatan Antasena. Mereka meningkatkan serangan, pedang dan tombak berputar bagai badai, mencoba menembus pertahanan Antasena. Namun, Antasena bagai batu karang yang tak tergoyahkan.
Aaaak...! Jerit salah satu dari dua orang itu setelah Antasena memukul pundaknya dengan telak. Orang itu pun langsung roboh dengan muntah darah dari mulutnya.Dan dengan gerakan yang sangat cepat Antasena memberikan tendangan pada orang yang satu lagi hingga membuatnya jatuh tersungkur.Ke-tiga orang yang ingin membunuhnya itu pun di buat menderita luka parah dalam waktu singkat.
Antasena menatap tajam ke arah tiga orang yang sedang kesakitan itu.
Keringat dingin membasahi dahi ketiga pendekar bayaran itu. Napas mereka memburu, tenaga mereka mulai terkuras. Mereka saling berpandangan, isyarat ketakutan terlihat di mata mereka.
"Kita harus menyingkir dari sini!" desis salah satu dari mereka dengan suara menahan sakit.
Namun, Antasena tidak memberi mereka kesempatan. Ia bergerak secepat kilat, pedangnya menebas udara dengan siulan yang mematikan. Salah satu pendekar bayaran terlambat menghindar, pedang Antasena menancap di bahunya. Aaaak..! orang itu menjerit kesakitan dan jatuh tersungkur.
Melihat kawannya terluka parah, dua pendekar bayaran lainnya semakin panik. Dua orang lainnya berusaha melarikan diri dengan tertatih, namun Antasena mengejar mereka dengan gesit. Dalam sekejap saja, ia berhasil menjatuhkan kembali keduanya.
Ketiga pendekar bayaran itu terkapar di tanah, tak berdaya. Antasena berdiri di hadapan mereka, pedangnya yang berlumuran darah masih menyala merah. Ia menatap mereka dengan tajam, namun ia tidak menghilangkan nyawa mereka.
"Kalian beruntung aku tidak membunuh kalian," kata Antasena dingin. "Sekarang, katakan padaku siapa yang menyuruh kalian menyerangku!"
Ketiga pendekar bayaran itu saling berpandangan. Mereka ragu untuk menjawab, takut akan pembalasan dari orang yang menyewa mereka. Namun, mereka juga takut pada Antasena yang jelas memiliki kekuatan yang melebihi mereka.
Akhirnya, salah satu dari mereka berbicara dengan terbata-bata. "Kami... kami disewa oleh seorang laki-laki berjubah hitam. Ia memberi kami banyak uang untuk menghabisi para peserta sayembara."
"Laki-laki berjubah hitam?" Antasena mengerutkan keningnya. "Apakah kau tahu siapa dia?"
"Tidak, Tuan. Kami tidak pernah melihat wajahnya. Ia selalu menutupi wajahnya dengan tudung jubahnya."
Antasena mendesah kecewa. Ia tidak mendapatkan informasi yang ia harapkan. Namun, ia yakin bahwa laki-laki berjubah hitam itulah dalang di balik semua ini.
"Oh jadi begitu" kata Antasena. "Sekarang, pergilah dari sini dan jangan pernah menampakkan diri di hadapanku lagi!"
Ketiga pendekar bayaran itu segera bangkit dan melarikan diri dengan terpincang-pincang. Antasena memperhatikan mereka pergi, kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju puncak Gunung Gagak. Ia semakin penasaran dengan apa yang menunggunya di sana, dan siapa sebenarnya laki-laki berjubah hitam itu.
Matahari telah terbenam sepenuhnya saat Antasena tiba di kaki Gunung Gagak. Hutan di sekitarnya menjadi gelap dan sunyi, hanya suara serangga malam dan angin yang berembus di antara pepohonan yang terdengar. Antasena memutuskan untuk beristirahat sejenak, memulihkan tenaganya.
Ia menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun. Setelah memastikan gua itu aman, Antasena menyalakan api unggun kecil untuk menghangatkan.
"Ketiga orang itu jelas bukan pendekar biasa," pikirnya. "Gerakan mereka terlatih dan mereka mengincarku dengan niat membunuh. Siapa yang mengirim mereka? Apakah Kelompok Brajadara sudah mengetahui tentang sayembara ini?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya tanpa jawaban. Antasena merasa ada sesuatu yang janggal dalam sayembara ini. Ia merasa diperalat, namun ia tidak tahu oleh siapa dan untuk tujuan apa.
Keesokan harinya, Antasena melanjutkan perjalanannya mendaki Gunung Gagak. Medan yang terjal dan berliku tidak menyurutkan semangatnya. Ia terus bergerak, matanya waspada terhadap setiap gerakan dan suara di sekitarnya.
...----------------...