Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : MENYUSUL?
"Kamu sudah nggak waras, By?" lirih Vania. Tanpa dapat dikendalikan kristal bening telah meleleh di pipi. "Jangan bilang kamu memilih perempuan ini!" Menunjuk ke arah belakang punggung Aby.
"Ini bukan tentang aku memilih siapa, Van. Memang tidak seharusnya kita masih menjalin hubungan. Ini nggak baik untuk kita bertiga."
Tentu saja Vania tidak akan menerima keputusan sepihak dari Aby. Wanita itu menyeka air mata yang membasahi pipi dengan bonus tatapan yang begitu menuntut kepada Aby. "Jadi kamu mau meninggalkan aku begitu saja?"
"Maaf, Van. Aku rasa ini keputusan terbaik."
"Aku nggak terima!" Vania hampir berteriak.
Sementara Embun yang masih berdiri di belakang punggung menarik tangannya dari genggaman Aby. Ia perlahan mundur. "Kalian selesaikan masalah kalian sendiri. Aku nggak mau ikut campur."
Tanpa memerdulikan Aby dan Vania, Embun segera beranjak menuju bus meninggalkan pasangan kekasih itu. Untuk sekedar menoleh ke belakang pun sama sekali tidak dilakukannya.
Embun memilih duduk di salah satu kursi di dekat jendela. Setelah menunggu hampir setengah jam, rombongan mahasiswa itu akhirnya berangkat. Embun merasa beruntung karena tidak perlu satu bus dengan Vania. Setidaknya menghindari masalah baru dengan wanita itu.
Seharusnya, Embun merasa senang mendengar keputusan Aby tadi. Tetapi, entah mengapa yang ia rasakan tetaplah hampa. Pengkhianatan Aby di malam pertama pernikahan mereka telah menorehkan luka tak berdarah yang menyakitinya lebih dari apapun.
Luka di fisik mungkin akan sembuh tanpa meninggalkan jejak. Namun, tidak dengan luka hati.
Embun menyeka kristal bening yang tiba-tiba meleleh di pipi.
.
.
.
Hari ini Aby memanfaatkan waktu luangnya untuk menyelesaikan beberapa laporan yang tertunda. Setelah mengantar Embun pagi tadi, ia sama sekali belum keluar kamar hingga menjelang siang. Sejenak Aby menyandarkan punggung. Kemudian melirik ke arah tempat tidur.
"Kok rasanya sepi nggak ada Embun di kamar."
Aby meninggalkan tempat duduknya. Menuju sisi kiri tempat tidur dan berbaring di tempat biasanya Embun tidur. Ia membenamkan hidungnya di bantal. Aroma lembut dari parfum Embun yang masih tertinggal memanjakan indera penciumannya. Memberikan rasa yang begitu sulit dipahami. Apakah itu bentuk kerinduan? Aby tak tahu.
"Embun lagi ngapain di sana, ya?"
Menatap langit-langit kamar, imajinasi Aby sudah terbang jauh. Membayangkan sedang apa istrinya di perkemahan. Apakah sedang menikmati pemandangan indah sambil tertawa dengan teman-temannya, atau ... sedang menghabiskan waktu bersama Dewa.
"Sialan! Kenapa juga harus ada Dewa di sana?!"
Ia mendengkus kesal. Tangannya yang lebar mencengkeram bantal guling. Keinginan menggebu untuk menyusul tiba-tiba merasuk tanpa izin.
"Kalau nyusul pake alasan apa coba?"
Aby benar-benar tidak bisa tenang. Terlebih karena di sana ada Vania.
"Bagaimana kalau Embun diapa-apain sama Vania?"
.
.
.
Di perkemahan.
Embun sedang bersusah payah mendirikan tenda. Ia tampak kepayahan dengan napas terengah-engah. Udara sejuk pegunungan seakan tak cukup mampu untuk menahan keringat jatuh di kening. Hampir satu jam ia habiskan untuk mendirikan tenda, namun usahanya sia-sia.
"Mau aku bantu?" Sapaan dari belakang mengalihkan perhatian wanita itu. Ia menoleh.
"Kak Dewa ... boleh, Kak."
Ah, akhirnya penolong datang. Embun bangkit dari posisi berjongkok, sehingga Dewa dapat membantu. Mendirikan tenda seorang diri sudah pasti tak dapat Embun lakukan.
"Buat tenda itu susah juga, ya?" ujar Embun. Sambil membersihkan tangannya dari sisa tanah yang melekat.
Dewa terkekeh. "Nggak susah kalau kamu sudah terbiasa."
Embun memperhatikan Dewa yang sangat cekatan melakukan pekerjaan yang baginya sangat sulit. Namun, tentu saja bagi Dewa mendirikan tenda adalah sesuatu yang terlalu mudah. Terbukti, hanya dalam beberapa menit, tenda milik Embun sudah jadi.
"Wah makasih, Kak." Embun tersenyum cerah. Bantuan dari Dewa sangat menghemat tenaganya.
"Sama-sama, Embun. Habis ini kumpul, ya. Ada pengumuman."
"Baik, Kak." Embun mengangguk diiringi senyum. Tanpa disadari olehnya, sepasang mata sejak tadi memperhatikan.
Vania tersenyum penuh makna, wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan mengarahkan kamera kepada Embun dan Dewa. Hingga beberapa gambar yang menunjukkan interaksi antara Embun dan Dewa berhasil ia abadikan.
"Aku akan tunjukkan ini ke Aby. Kita lihat saja bagaimana reaksinya kalau tahu kamu dekat sama laki-laki lain."
Seraya memulas senyum, wanita yang mendadak culas karena cinta itu membuka galeri ponsel miliknya. Menandai beberapa foto hasil jepretan tadi, lalu mengirimkan kepada Aby melalui aplikasi WhatsApp.
"Aby pasti akan marah," ujarnya kemudian.
Di tempat lain, lamunan Aby membuyar tatkala mendengar deringan ponsel yang menandai adanya pesan masuk beruntun. Melawan rasa malas, pria itu bangkit dengan tubuh lemas. Meraih ponsel yang tadi ia tinggalkan di sofa dekat laptop dan menghempas tubuhnya yang hari ini terasa berat.
Ia memutar bola mata ketika melihat nama yang tertera pada layar. "Apa lagi sih, Van?" gerutunya, sambil membuka pesan yang baru saja dikirim Vania.
Seketika kelopak mata Aby melebar setelah melihat gambar di layar ponsel. Embun tampak cukup dekat dengan Dewa di samping tenda dan saling melempar senyum. Sebelah tangan Aby sudah terkepal sempurna. Napasnya menjadi lebih cepat.
"Br3ngsek si Dewa!"
...........
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭