"Anda yakin Mrs. Aquielo?"
"Jangan asal mengubah nama ku seenakmu, aku masih seorang Rainer asal kau tahu saja."
"Ya untuk sekarang kau mang masih seorang Rainer, tapi sebentar lagi kau akan segera mengganti nama belakangmu itu dengan nama keluargaku."
"Seperti aku mau saja dengan dirimu."
"Oh apa kau lupa yang aku katakan dipesawat kemarin Ms. Rainer."
Viona hanya dapat terdiam tentu ia tidak lupa dengan ancaman pria gila ini kemarin. Dan sialnya kalau semua yang dikatakan nya benar adanya maka tidak ada jalan lain lagi bagi Viona untuk menolak semua keinginan pria itu.
Itu buruk....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Panda Merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03
Saat tengah menangis tiba-tiba saja perut Viona berbunyi. Ya, memang sejak kemarin sore Viona tidak sempat makan apapun karena suasana hatinya yang masih kacau.
"Bunyi apa itu? Apa itu berasal dari perut Princess Papa." Goda Jeremy.
"Hm... Ya, sebenarnya sekarang aku sangat lapar. Apa Papa punya makanan yang bisa mengenyangkan perutku ini?" Jawab Viona sambil menatap wajah Jeremy.
"Baiklah ayo kita keruang makan. Aku tentu tidak akan membiarkan Putriku ini kelaparan!" Seru Jeremy sambil merangkul bahu Viona lalu membawanya menuju keruang makan.
Sepeti bagian rumah lainya, ruang makan ini pun tak kalah mewah. Hal itu sukses membuat Viona befikir memangnya seberapa kaya Papa nya sekarang.
Aroma sedap dari makanan yang baru disajikan oleh pelayan membuat rasa lapar Viona semakin menjadi. Dia bahkan tak hentinya menatap para pelayan yang seolah tak ada habisnya menyajikan makanan dihadapan mereka. Yang padahal hanya ada Mereka berdua dimeja itu.
Jeremy pun terkekeh geli meliha ekspresi putrinya itu yang dianggapnya lucu. Dari dahulu memang Viona sangat menyukai dan tidak akan tahan dari godaan makanan.
Sambil memegang sendok dan garpu dikedua tangannya Viona tampak sudah siap untuk menyantap hidangan yang ada dihadapannya sekarang, namun sebelum itu Dia tampak melirik Jeremy sekilas dan tersenyum tipis.
"Papa tidak ikut makan?" Tanya Viona bingung karena melihat Jeremy yang hanya meminum kopi hitamnya saja.
"Papa sudah makan. Kamu makan saja semua ini sendiri." Jawab Jeremy sambil terkekeh.
"Apa Papa fikir Aku ini Babi. mana mungkin Aku memakan semua hidangan ini sendirian!" Seru Viona kesal.
Namun tak lama setelah itu Jeremy kembali tertawa geli melihat begitu lahapnya Viona menyantap hampir semua hidangan yang disediakan. Bahkan dari delapan jenis makanan yang ada Viona hanya menyisakan satu piring yang berisi salad karena sedari dulu Dia memang tidak menyukai sayur.
"Kalau tidak salah tadi ada yang mengatakan dirinya tidak mampu menghabiskan semua makanan ini." Goda Jeremy sambil terus tersenyum menatap wajah Viona.
"Bukan salahku. Salah Papa yang tidak mau membantu Aku menghabiskan semua makanan itu. Tidak baik menyisakan makanan yang sudah disediakan untukmu Ibu akan marah bila_" Tiba-tiba Viona terdiam, raut wajahnya pun langsung berubah murung. Tanpa sadar Dia kembali mengingat sosok Ibunya, membuat Jeremy hanya dapat menghela nafas lelah.
Bukan salah Viona. Mereka berdua memang sangat dekat dari dulu, maka tidak heran kalau Viona selalu memikirkan Ibunya sekarang.
"Kuatkan dirimu Nak, awalnya memang terasa berat namun seiring berjalan waktu Kau akan segera terbiasa. Sama seperti Kakak mu dulu." Ucap Jeremy lalu bangkit dari kursinya menghampiri Viona yang tampak hampir menangis.
Dan saat Jeremy menepuk pelan pundaknya perlahan air mata itupun kembali tumpah, namun segera Viona hapus dengan tangannya, berusaha tetap untuk tersenyum menatap Jeremy.
"Maafkan Aku Papa. Aku akan berusaha. Tapi apa Aku boleh mengunjungi Ibu lagi?" tanya Viona dengan tatapan penuh harap.
"Kau bahkan baru sampai tadi malam dan sudah hendak kembali ke Ibumu lagi. Apa kau sudah tidak mencintai Papa mu ini lagi," jawab Jeremy dengan wajah murung.
Mendengar jawaban itu Viona pun langsung gelagapan dan langsung berdiri memeluk tubuh Jeremy erat.
"Tidak... Bukannya begitu aku hanya bertanya karena aku takut tidak bisa menemuinya lagi, seperti aku yang tidak pernah menemui kalian selama ini!" seru Viona sambil kembali menangis.
"Papa bukan orang yang egois seperti Ibumu Viona. Aku tidak akan melarangmu menemui dirinya tapi tidak dalam waktu dekat ini. Aku masih merindukan Princes kecilku ini sekarang!" Seru Jeremy sambil menyeka air mata dipipi Viona.
"Jelek sekali," candanya sambil tersenyum menatap wajah sembab putrinya itu yang langsung membuat Viona merenggut kesal.
"Papa!" Seru Viona kesal.
"Aku hanya bercanda sayang. Kamu tetap cantik meski dengan wajah sembab seperti ini."
Jeremy pun kembali memeluk tubuh putrinya itu, menyalurkan semua kerinduan yang sudah Dia pendam selama ini. Semua seperti mimpi baginya akhirnya dia dapat kembali memeluk Putri kecilnya ini lagi setelah sekian lama.
Namun getaran ponsel disakunya mengganggu acara melepas rindu diantara Orang tua dan Anak itu.
Dengan perasaan kesal Jeremy mengambil ponsel itu dari sakunya, dan melihat siapa yang memanggilnya. Yang ternyata itu dari Ronald asistennya.
Ronald tidak pernah menghubunginya kalau saja bukan karena hal yang penting, karena itu Jeremy pun langsung meninggalkan Viona setelah mengecup puncak kepalanya penuh cinta.
"Papa bekerja dulu, kalau Kau ingin jalan-jalan tinggal minta sopir untuk mengantarmu berkeliling dan ini_"
Lagi-lagi Viona terkejut saat mendapati black card yang baru diberikan Jeremy padanya, dengan tatapan kagum sekaligus bingung Viona menatap wajah Papanya.
"Bagai mana bisa hanya dalam delapan tahun Papa bisa menjadi sekaya ini?" Tanya Viona pada akhirnya.
"Maafkan Papa sayang, kali ini Papa tidak ada waktu untuk menceritakan semuannya padamu. Tapi Papa berjanji akan menceritakan semuanya nanti atau kau bisa tanyai kakak mu Audrey." Jawab Jeremy cepat dan langsung pergi setelahnya.
Viona masih termenung menatap kepergian Papanya yang perlahan menghilang diujung lorong, lalu setelahnya Dia pun bergegas kembali kekamarnya.
***
Viona duduk termenung diatas sofa yang terletak diujung tempat tidurnya, sudah dua belas kali Dia mencoba menghubungi Ibunya yang berada diIndonesia, namun belum juga mendapat jawaban.
Nyaris putus asa Viona kembali menekan kontak Ibunya dan menunggu jawaban, setelah beberapa detik berdering telpon itu pun akhirnya dijawab oleh Ibunya. Yang membuat Viona senang bukan main.
"Akhirnya... Aku sempat khawatir karena Ibu tidak mengangkat telepon ku beberapa kali!" Seru Viona girang.
"Dasar anak kurang ajar, setelah Putriku jatuh miskin kau malah kembali pada Ayahmu yang biadab itu alih-alih menemani Ibumu disini!"
Senyum diwajah Viona pun luntur ketika Ia menyadari itu bukan sapaan lembut dari suara ibunya. Melainkan makian kasar dari Neneknya. Wanita Tua yang selalu melempar kalimat kebencian padanya sejak lama.
"Apa maksud Nenek? Dimana Ibu Aku ingin berbicara dengannya sekarang," pinta Viona berusaha untuk tetap sopan.
"Untuk apa Kamu mencari Putriku lagi! Bukannya Kamu sudah hidup bahagia disana!" Bentak Neneknya lagi.
Lalu setelah itu terdengar suara Ibunya, yang berseru panik diseberang telepon dan kemudian terdengar pula perdebatan antara Nenek dan Ibunya itu. Dan setelahnya sambungan telepon itu pun terputus.
Seketika itu pula air mata Viona kembali jatuh. Dia sudah tahu kalau dari dulu keluarga Ibunya memang tidak ada yang menyukainya, semenjak Dia ikut pulang bersama Ibunya keIndonesia terutama Neneknya.
Karena itulah Sarah. Ibunya, memutuskan untuk merantau keluar kota jauh dari jangkauan keluarganya lalu membuka usaha sendiri agar dirinya dapat menjalani hidupnya dengan tenang bersama dengan Viona. Namun hal itu malah semakin membuat Neneknya membenci Viona karena beranggapan Viona lah yang membuat Anak Perempuan satu-satunya itu menjauh darinya.
Bahkan selama delapan tahun terakhir tidak pernah sekalipun Viona diajak oleh Sarah untuk menemui keluarganya, karena sudah pasti mereka tidak akan menerima keberadaan Viona disana.
Saat mengingat beberapa kenangan buruk itu Viona segera menjatuhkan kepalanya ketempat tidur lalu kembali menumpahkan air matanya disana.
Setelah lama menangis akhirnya Viona lelah dan terlelap dengan mata yang masih berair.