Sekuel SEKRETARIS KESAYANGAN
~
Meira pikir, setelah direktur marketing di perusahaan tempat dia bekerja digantikan oleh orang lain, hidupnya bisa aman. Meira tak lagi harus berhadapan dengan lelaki tua yang cerewet dan suka berbicara dengan nada tinggi.
Kabar baik datang, ketika bos baru ternyata masih sangat muda, dan tampan. Tapi kenyataannya, lelaki bernama Darel Arsenio itu lebih menyebalkan, ditambah pelit kata-kata. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan. Entah punya masalah hidup apa direktur baru mereka saat ini. Hingga Meira harus melebarkan rasa sabarnya seluas mungkin ketika menghadapinya.
Semakin hari, Meira semakin kewalahan menghadapi sikap El yang cukup aneh dan arogan. Saat mengetahui ternyata El adalah pria single, terlintas ide gila di kepala gadis itu untuk mencoba menggoda bos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belum membuka hati untuk siapapun
“Jangan keras kepala, ini mendung, dan sebentar lagi malam, tinggalin motormu di sini! biar aku antar kamu pulang!” titah Darel, saat mereka sudah tiba di kantor, mereka baru kembali dari KUA untuk mengurus segala berkas pengajuan pernikahan.
Meira menggeleng, “Aku nggak rela ninggalin motor aku, selama beberapa hari di sini, belinya susah, pakai hasil keringat sendiri. Kalau hilang gimana?” tolak Meira.
“Terserah, dasar payah!” Darel menggerutu, lalu masuk ke mobilnya tanpa peduli lagi dengan Meira. Begitupun dengan gadis itu, dia langsung memakai helm dan bersiap mengendarai motornya, tak peduli angin pertanda akan hujan sudah berhembus kencang.
Meria pikir, mobil Darel sudah berlalu meninggalkan gerbang perusahaan, tapi ternyata tidak. Lelaki itu masih di sana, entah apa yang di nantinya. Meira tetap tak peduli dan dia melintasi gerbang meninggalkan Darel.
Setengah perjalanan, saat lampu lalu lintas menunjukkan para pengendara harus berhenti, Meira baru menyadari sesuatu. Melalui kaca spion di motornya, dia melihat mobil si bos ternyata berada tepat di belakangnya. Tak mau ambil pusing, Meira menganggap mungkin tempat tinggal mereka searah.
Hujan rintik-rintik mulai terasa, langit jingga kini berganti gelap. Malam sudah tiba. Saat Meira akan memasuki gerbang komplek kos-kosan tempat tinggalnya, tiba-tiba hujan mengguyur sangat deras, membasahi tubuhnya seketika. Meira langsung memberhentikan motornya di garasi. Dia tertawa geli melihat kondisinya saat ini, basah kuyup. Andai dia mendengar ucapan lelaki itu tadi, mungkin tak akan seperti ini.
Hari yang benar-benar melelahkan, Meira harus meluangkan waktu untuk menemani Darel mengurus ini dan itu di KUA. Tak pernah Meira pikirkan sebelumnya akan dia lalui secepat ini. Meski berulang kali, dia berkata pada Darel bahwa belum siap menikah, lelaki itu terus saja meyakinkan, dan berjanji akan merahasiakan pernikahan sampai waktu yang belum bisa mereka tentukan. Tak ada pilihan lain sejauh ini, selain menurut. Semua Meira lakukan demi ibu dan adiknya, demi menyelamatkan mereka dari jeratan utang. Berulang kali Meira berpikir, haruskah dia mengorbankan diri sampai sejauh ini? Tapi, setidaknya menikah dengan Darel, dia masih tetap bisa bekerja dan memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adiknya. Terlepas dia sendiri masih belum mengerti apa tujuan Darel terlalu memaksa ingin menikahinya. Entahlah, semoga Meira kuat menjalaninya.
Malam ini, Meira tak bisa tidur nyenyak, setelah melewati hari yang sangat panjang, seharian bersama Darel, mengurus surat menyurat untuk pernikahan. Apalagi, tadi saat di mobil, mereka benar-benar banyak diam dan hanya berbicara seperlunya saja.
“Arrggh…” Meira mengacak-ngacak rambutnya sendiri persis seperti orang stress yang banyak pikiran. Dia merindukan hidupnya dua minggu lalu, yang tanpa masalah.
Meira meraih ponselnya, dia baru saja menerima sebuah pesan singkat.
Gimana? enak nggak mandi hujan?
Mengabaikan pesan iseng dari lelaki bernama Darel, dia memikirkan ada yang lebih penting lagi saat ini. Soal rencana pernikahan ini, dia belum mengabari ibunya sama sekali. Ini adalah tugas terberat bagi Meira, dia hanya takut ibunya syok karena selama ini Meira tak pernah bercerita tentang laki-laki yang pernah dekat dengannya. Bukankah akan menjadi kabar yang mengejutkan ketika dia berkata tiba-tiba akan menikah?
Menempelkan ponsel pada telinganya, Meira menunggu dengan resah, ibunya belum menjawab sama sekali, bahkan sampai pada panggilan ke tiga. Meira tidak menghubungi ibunya lagi sejak kemarin pagi.
“Ibu angkat dong…” lirih Meira, dia menyerah sampai panggilan ke lima, dan memutuskan menghubungi adiknya, namun hasilnya tetap sama.
Sementara besok pagi, Meira, Darel dan ke dua orang tuanya akan berangkat ke kampung Meira untuk melakukan lamaran, sekaligus akad nikah. Ya, dalam beberapa hari ini, Meira akan menjadi seorang istri. Memang terkesan mendadak, jujur hati dan mentalnya belum siap. Tapi, dia harus siap.
Meira mencoba berpikir positif, mungkin ibu dan adiknya, Laras, sudah tidur. Mengalihkan pikiranya agar tak terlalu cemas, Meira memilih berkemas untuk persiapan berangkat, dia sama sekali belum melakukan persiapan apapun.
🌸🌸🌸
“Bunda dan ayah, tolong beri satu alasan kenapa bunda dan ayah, sangat mendukung dan terlalu memaksa aku menikahi Meira?” pertanyaan yang Darel lontarkan ketika mereka sedang dalam perjalanan menjemput Meira untuk menuju ke Bandara.
“Demi kemajuan perusahaan kita,” sahut Ibra. Jelas saja dia tidak mau kehilangan aset seperti Meira, karena kemampuanya sudah banyak menghasilkan kontrak kerja sama bahkan itu tidak sedikit.
“Karena bunda takut kalian khilaf, dan akhirnya berzina.” tegas Inayah. “Walau sebenarnya bunda bersyukur sih, kamu bisa kembali membuka hati untuk perempuan, setelah Kanaya pergi ninggalin kamu—“
“Nggak usah bahas itu lagi, bunda!” Darel mengingatkan. “Aku belum membuka hati untuk siapapun. Karena bunda memaksa, aku turutin permintaan bunda.” sangkal Darel.
Ya, dia masih terlalu bingung mengartikan perasaannya, yang dia tahu, Meira cantik dan itu yang membuatnya tertarik sebagai laki-laki. Tapi, Darel masih sulit untuk mengartikannya dalam sebuah rasa. Darel akui, dia membutuhkan Meira untuk bisa melampiaskan ***** terpendamnya selama ini. Sebenarnya, dia bisa saja melakukan hal itu, bersenang-senang dengan banyak wanita, namun dia tidak bodohh untuk menggunakan ‘aset’ berharganya sebagai laki-laki, pada sembarang wanita. Selain memikirkan dosanya, Darel juga memikirkan banyak kemungkinan yang bisa diakibatkan jika lelaki suka ‘jajan’ sembarangan.
“Jadi, kamu nggak suka sama Meira? bukannya waktu itu kamu bilang—“
“Aku hanya perlu meyakinkan dia, kalau nggak begitu, dia pasti nggak akan mau menerima pernikahan ini.” Darel masih mempertahankan argumennya bahwa dia tidak memiliki perasaan terhadap Meira.
“Sebenarnya, ada satu alasan lagi yang membuat Meira nggak bisa menolak pernikahan ini…”
“Apa itu?” tanya Ibra dan Inayah bersamaan.
“Orang tuanya terjerat utang sejumlah dua ratus juta dengan tuan tanah, orang terkaya di kampungnya. Kalau mereka nggak melunasi utang itu, dalam tempo beberapa hari ini, maka Meira harus rela menikah dengan anak si tuan tanah,” jelas Darel.
Inayah tercengang, “Terus gimana? kamu ambil keputusan untuk membantunya kan? cuma dua ratus juta, El.”
“Iya bunda, pasti. Kalau enggak, mana mungkin kita berangkat ke sana hari ini.” jawab lelaki itu.
“Jadi, kamu beneran nggak punya perasaan apapun ke Meira?” tanya sang ayah sekali lagi.
Darel diam, tak menanggapi, rasanya ini terlalu membingungkan untuk dijawab.
🌸🌸🌸