"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Aku tak tahu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku selalu menghitung hari-hari yang berlalu demi untuk menemuinya. Tak apa dia menghilang karena ponselnya disita. Tak apa dia pindah sekolah dan pindah rumah. Tak apa dia kuliah ke luar negeri. Tak apa dia pindah ke benua lain. Tapi ....
"Tapi jangan menghilang untuk selamanya," gumamku membuka kotak kenangan.
Apa memang benar? Seharusnya aku tidak memaksakan ini semua. Seharusnya aku melupakan Dani sejak pertama kali dia pergi. Bukankah itu suatu pertanda bahwa dia akan pergi? Bukankah itu pertanda bahwa dia tidak akan menjadi milikku?
Arzio masuk kamarku dan aku biarkan saja. Aku masih termenung menatap semua isi kotak memori itu. Foto-fotoku bersama Dani. Semua hal yang pernah Dani berikan untukku. Aku menyimpannya.
"Mau nangis?" tanya Arzio membuatku menoleh.
Aku menghela napas dan menggeleng. Tak ada rasa sedih di dadaku. Aku hanya bingung. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Apa aku harus menunggu sesuatu lagi? Atau hanya menghitung hari hingga ajalku sampai?
"Nangis aja kalo mau nangis, jangan pura-pura kuat," ucapnya.
"Gue udah biasa tanpa Dani. Tapi, gue bingung mau ngapain sekarang," balasku.
"Lo mau ke laut tempat pesawatnya jatuh?" tanya Arzio.
Aku menggeleng.
"Untung gue ga ikut dalam pesawat itu. Mungkin gue bakalan ngerasa bersalah seumur hidup," balasku.
Arzio mendekat dan memelukku. Dia juga membuat kepalaku bersandar pada dadanya. Sambil terus membelai rambutku yang panjang tergerai. Arzio ikut melihat isi dari kotak memori tersebut.
Melihat foto pria yang sangat spesial di hatiku. Entahlah. Mungkin ini bucin atau apa. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Dia memang masih yang teristimewa.
"Gue nungguin dia 8 tahun," ucapku pelan.
"Ga ada ruginya lo nungguin dia. Meskipun dia ga ada sekarang. Itu bukti bahwa setia itu ada. Bukti lo se-setia itu sama dia," jelas Arzio.
Ya aku setia. Tapi aneh. Aku tidak menangisi kepergiannya yang kali ini. Hanya ada rasa bingung.
Arzio memegang kedua pipiku memaksa untuk tidak lagi memandangi kotak memori tersebut. "Lo mau nunggu gue?" tanyanya.
~Deg! Dadaku terasa disetrum sesuatu. Kupandangi wajah Arzio dengan sangat dekat.
"Ga mau?" tanyanya lagi.
Berangsur-angsur dadaku merasa sempit. Air mata menetes tanpa perintah. Kupeluk dia dengan erat. Untuk pertama kalinya aku menangis tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir dengan mulut terkatup rapat.
"Kalo lo ga mau, ga apa-apa. Gue cuma mau mastiin aja," ucapnya.
"Lo bisa dapet cewek yang lebih dari gue," balasku.
"Meskipun ada seribu cewek yang lebih dari lo, kalo gue maunya itu lo, ya gue maunya lo, Ta," balasnya membuatku melepaskan pelukan itu.
Kutatap lekat wajah Arzio yang kini wajahnya terlihat murung. Mungkin ini saatnya aku melupakan Dani. Aku ....
~Cup! Kukecup bibir Arzio seperti yang biasa dia lakukan terhadapku. Kulihat wajahnya memerah dalam hitungan detik. Mata Arzio membulat sempurna.
"Berapa lama?" tanyaku.
Dia masih terdiam.
"Arzio!" panggilku. "Lo mau gue nunggu berapa lama?" tanyaku lagi.
Arzio memegangi bibirnya. Padahal ini bukan yang pertama kali, tapi kenapa dia bertingkah seperti itu?
"Sayang," panggilku seperti yang biasa dia lakukan saat aku tidak menyahut.
Geli rasanya melakukan hal yang aku benci sedari dulu.
"Hm," responsnya masih tak percaya akan apa yang aku lakukan.
Dia memelukku lebih erat dari sebelumnya.
"Sampe wisuda," bisiknya yang terdengar di telingaku.
Kulepas pelukan itu sebab ingin melihat wajah bahagianya. Namun yang kudapati adalah Arzio menyeka air mata.
"Kok nangis?" tanyaku. Ini kali pertama aku melihatnya menangis.
Dia menggeleng.
***
Kubakar kotak memori bersama sejuta kenangan bersama Dani. Seharusnya aku melakukan ini sejak pertama kali Dani pindah sekolah.
Sekarang aku bukan gadis kecil yang menangis karena Dani. Aku akan memulai hidupku yang baru.
Baru selesai aku membakar kotak memori, tiba-tiba hujan turun. Aku berlari masuk ke rumah. Tiba-tiba kakiku melemas begitu melihat mama Dani duduk di ruang tamu. Beliau menangis di hadapan ibuku.
Dadaku mendadak sempit. Sakit. Takut. Marah. Kesal. Berkecamuk di dalam dada. Rahangku mengeras. Aku ingin menangis. Napasku tersendat, membuatku kehabisan oksigen beberapa detik. Bahkan untuk menelan air liur pun kerongkonganku tak sanggup.
"Arlita," ucap mama Dani yang menyadari keberadaanku.
Bersamaan dengan itu, mobil orang tua Arzio berhenti di depan rumah. Aku memutar tubuh menatap mereka yang turun dari mobil. Air mataku menepik dengan napas yang agak sulit.
"Lita! Kenapa nangis?" pekik mama Arzio yang langsung memelukku.
Aku takut dihina lagi. Itu yang aku sadari.