"Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota" peribahasa ini tidak tepat bagi seorang Arini, karena baginya yang benar adalah "kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu mertua" kalimat inilah yang cocok untuk menggambarkan kehidupan rumah tangga Arini, yang harus hancur akibat keegoisan mertuanya.
Tidak semua mertua itu jahat, hanya saja mungkin Arini kurang beruntung, karena mendapatkan mertua yang kurang baik.
*Note: Cerita ini tidak bermaksud menyudutkan atau menjelekan siapapun. Tidak semua ibu mertua itu jahat, dan tidak semua menantu itu baik. Harap bijak menanggapi ataupun mengomentari cerita ini ya guys☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom's chaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH DUA
"Baiklah kalau kamu ingin berpisah denganku. Aku harap kamu tidak menyesal." Kata Alfian.
"Rasanya aku tidak akan menyesal." Balas Arini dengan wajah datar, membuat Alfian kembali menoleh dan menatapnya. Lalu dia pergi.
Arini menghela nafas panjang, merasa lega setelah mengatakan unek-unek dalam hatinya. Dia tidak peduli, jika Alfian tersinggung dengan ucapannya tentang bu Ratih. Dia sama sekali sudah tidak peduli.
Alfian kembali ke rumah bu Ratih dengan perasaan tak menentu. Entah mengapa hatinya seakan tidak mau bercerai dengan Arini, padahal selama ini dia pernah mengatakan akan menceraikannya, jika dia yang meminta. Tapi sekarang, setelah Arini memintanya, kenapa dia merasa tidak mau. Bukankah seharusnya dia senang?.
"Ya sudah kalau memang dia mau pisah sama kamu, yang penting bukan kamu yang mengajaknya berpisah. Emang dia pikir jadi janda itu enak apa. siapa yang mau nafkahi dia kalau dia pisah sama kamu. Harusnya dia bersyukur masih ada yang menafkahi, bukannya minta cerai." Ucap bu Ratih, saat Alfian mengatakan tentang keinginan Arini.
"Apa nggak bisa dibicarakan lagi Alfian. Bapak nggak mau kalian sampai berpisah. Bagaimanapun juga Arini sudah banyak berjasa pada kita." Timpal pak Hardiman.
"Berjasa apa?. Toh kamu dikeluarin dari penjara bukan karena dia. Tapi karena Alfian sudah mau menikahi Sandra." Sanggah bu Ratih, yang seolah lupa kalau dirinya pernah memohon pada Arini untuk menyetujui pernikahan itu.
"Dia bodoh kalau meminta bercerai sama kamu. Karena yang rugi itu dia, bukan kamu Alfian. Kalau kalian bercerai, kamu nggak akan rugi apa-apa. Kamu masih punya istri yang jauh lebih segalanya dari dia. Tapi dia....hehh." Kata bu Ratih sambil tersenyum mengejek.
"Jaga ucapanmu. Jangan bicara seperti itu. Kamu itu perempuan, sama seperti Arini. Apa kamu tidak punya rasa empati sedikitpun?." Hardik pak Hardiman. Bu Ratih diam, karena sedikit terkejut melihat raut wajah pak Hardiman yang sepertinya marah kepadanya.
"Bapak minta sama kamu, sebisa mungkin kamu pertahankan rumah tangga kamu dan Arini. Bapak nggak mau kalian sampai berpisah." Ucap pak Hardiman lalu pergi dari sana.
Alfian merasa apa yang dikatakan pak Hardiman memang benar. Dia merasa harus mempertahankan rumah tangganya dengan Arini. Dia akan mencoba bicara sekali lagi pada Arini. Alfian berjanji dalam hati, akan bersikap lebih baik dan adil, jika seandainya Arini mau mengurungkan niatnya untuk bercerai.
"Sayang.....dimana kamu?. Sayang." Suara Sandra menyadarkan Alfian dari lamunannya.
"Sayang!! Panggilnya lagi.
"Iya sayang." Sahut Alfian.
"Kamu dimana?." Tanya Sandra yang baru bangun dari tidurnya.
"Aku disini, di ruang tamu." Jawab Alfian.
Sandra menghampiri Alfian dan duduk disebelahnya.
"Sarapan aku mana sayang?." Tanya Sandra yang tidak menyadari kehadiran bu Ratih.
" Maaf sayang. Aku belum sempet siapin sarapan kamu. Aku baru pulang dari rumah Arini." Jelas Alfian.
"Hah...ngapain kamu dari rumah dia?." Tanya Sandra yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Padahal semalam Sandra tahu apa maksud Alfian mendatangi Arini, dan tadi Alfian pun sempat pamit padanya.
Alfian mengatakan dengan tidak bersemangat.
"Ohh iya maaf...aku lupa. Terus gimana jadinya sayang?. Dia beneran ngajak pisah?." Tanya Sandra. Alfian mengangguk mengiyakan.
"Oh ya!! Bagus dong kalau gitu. Aku seneng dengernya." Sahut Sandra senang. Lalu dia meminta Alfian mengambilkan sarapan untuknya. Baru saja Alfian hendak berdiri, suara bu Ratih menghentikannya.
"Biar ibu saja yang ambilkan."
Sandra terkejut, dan refleks menoleh ke arah suara. "Ibu." Ucapnya.
Bu Ratih tersenyum. "Mau sarapan apa?. Biar ibu ambilkan?." Tanya bu Ratih.
"Nggak usah bu. Biar nanti mas Alfian aja yang ambilkan."
"Gapapa. ibu aja yang ambilkan." Balas bu Ratih, lalu ke dapur mengambil sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Lauk sisa syukuran kemarin yang baru dia hangatkan.
Sandra mengernyit, melihat nasi dan lauk yang dibawa bu Ratih. Dia langsung mual melihatnya.
Gila...gue di suruh makan makanan sisa. Yang bener aja. Batin Sandra.
"Maaf bu!! Tapi saya nggak biasa sarapan nasi pagi-pagi." Ucap Sandra beralasan.
"Ohh gitu...maaf ibu nggak tahu. Bawaan bayi mungkin ya." Kata bu Ratih. Sandra hanya memaksakan senyumnya.
Alfian beranjak dari duduknya, melangkahkan kaki menuju dapur. Dia membuatkan sarapan untuk Sandra. Sarapan yang setiap hari dia buat untuk istri keduanya itu.
"Apa tiap hari kamu membuatkan sarapan untuknya?." Tanya bu Ratih, yang tiba-tiba ada di dapur.
"Iya. Kenapa gitu bu?." Tanya balik Alfian.
"gak apa-apa. Cuma nanya. Oh ya ngomong-ngomong, kandungan istri kamu udah berapa bulan?. Kok belum kelihatan?." Tanya bu Ratih.
"Aku nggak tahu bu. Aku nggak pernah nanya." Jawab Alfian yang memang baru menyadari hal itu. Menurutnya, apa yang dikatakan bu Ratih benar. Kenapa kehamilan Sandra belum terlihat, padahal seharusnya sudah. Perutnya bahkan masih sangat rata.
......................
.
.
.
Bersambung🌿
follow me ya thx all