NovelToon NovelToon
Please! Don'T Be My Boyfriend

Please! Don'T Be My Boyfriend

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen Angst / Cinta pada Pandangan Pertama / Idola sekolah
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Adzalziaah

"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.

"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.

"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.

"Kita berdua?"

Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.

Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?

Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!

[update setiap hari 1-2 bab/hari]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 | Mau Jalan-jalan Bersamaku?

“Ada apa, Ryan?” tanyaku, berbalik menatapnya dengan kebingungan.

Aku merasa ada yang aneh dengan cara Ryan menatapku, seperti dia sedang menunggu sesuatu yang aku tidak mengerti. Ryan yang tadi tertawa kecil, kini tampak serius dengan ekspresi yang sulit kutebak. Ada sesuatu yang berubah dalam raut wajahnya.

Sekilas, dia terlihat ingin mengatakan sesuatu yang berat, namun sebelum kata-kata itu keluar, dia terkekeh. Tawa yang ringan, tidak mengurangi ketegangan, tetapi cukup membuatku merasa bingung dan canggung.

“Nggak apa kok. Reaksimu lucu juga,” katanya sambil menepuk kepalaku dengan cara yang sama sekali tidak aku duga.

Aku terdiam sejenak, merasa malu karena ternyata reaksiku begitu terlihat canggung di hadapannya. Tangan Ryan yang ringan menepuk kepalaku itu membuatku merasa sedikit tidak nyaman, namun dalam hati, aku juga merasa ada yang hangat, seperti ada sisi lain dari dirinya yang ingin dia tunjukkan.

Tawa itu, meskipun membuatku merasa canggung, juga terasa menyenangkan. Rasanya seperti aku mulai melihat sisi Ryan yang berbeda, lebih manusiawi, lebih dekat.

“Bawa kembali uangmu itu. Anak sepertimu itu tidak akan berani mencuri barang milik orang lain,” tambah Ryan dengan nada ringan, meskipun kata-katanya masih terdengar serius.

Namun, lebih dari itu, ada sesuatu yang lebih dalam di matanya. Sesuatu yang menyiratkan bahwa dia mempercayaiku. Ada secercah harapan di dalam tatapannya, seolah dia ingin aku merasa baik-baik saja.

Namun, anehnya, alih-alih merasa lega, perasaanku malah semakin kacau. Perasaan yang sulit diungkapkan, yang tak kunjung hilang. Itu seperti gelombang yang terus bergulung di dalam dadaku.

“Oh ya, mumpung kamu ada di sini, gimana kalau kita jalan-jalan sore?” Ryan bertanya, wajahnya cerah, seolah menawarkan sesuatu yang biasa.

Suaranya ringan, tapi ada nada yang menggoda. Seperti dia ingin mengajakku keluar dari kebingunganku.

“Jalan-jalan?” tanyaku, sedikit bingung dengan tawarannya.

Aku mengernyitkan dahi, mencoba memahami maksudnya. Bukankah kami sudah cukup lama menghabiskan waktu bersama? Atau … ada sesuatu yang lebih dia ingin lakukan?

“Iya,” jawabnya singkat, tersenyum lebar dengan ekspresi penuh harap.

Aku menatapnya, perasaan ragu tiba-tiba datang begitu saja. “Sudah aku bilang, jangan berharap bisa dekat denganku,” jawabku cepat, seolah-olah kata-kataku bisa menjauhkan kami berdua, memutuskan segala kemungkinan untuk lebih dekat.

Ryan tidak terlihat terkejut. “Tunggu, Aura!”

Ryan memegang lenganku yang hendak kabur darinya. Tangannya yang hangat sedikit menahan pergerakanku, dan aku merasa ada getaran aneh di dalam dada. Rasanya seperti ada ikatan yang tidak terlihat antara kami, sesuatu yang mengikatku untuk tetap tinggal di situ, meski aku ingin melangkah pergi.

“Tolong jelaskan kenapa. Kita bisa bicara sambil jalan-jalan, kan?” tawar Ryan dengan suara lembut namun penuh harap, seperti dia tidak ingin menyerah begitu saja.

Tatapannya menghangatkan jiwaku, meskipun aku tahu dia berharap lebih dari sekadar percakapan biasa. Aku terdiam, ragu. Sebuah pertanyaan besar mengganjal di pikiranku.

Kenapa dia ingin begitu dekat denganku? Kenapa aku malah merasa semakin bingung setiap kali berada di dekatnya? Ada sesuatu yang mengusik perasaanku, sesuatu yang membuatku tidak bisa melihatnya dengan jelas.

“Um … anu …” Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun semuanya terasa terjebak di tenggorokan.

Aku merasa seolah-olah mulutku terkunci dan aku tak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di hatiku.

“Tunggu di sini, jangan pergi.” Ryan menarik tanganku dengan lembut, lalu berjalan ke dalam rumahnya, meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat yang sama.

Aku berdiri di sana, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menatap pintu rumah Ryan yang tertutup, melihatnya bergegas kembali ke dalam rumahnya dengan langkah yang cepat. Tak lama, dia keluar lagi dengan jaket di atas kaos putihnya, menutup pintu dengan hati-hati dan mengunci pagar.

“Ryan …” Aku mencoba mengingatkan, meskipun aku tahu tidak ada gunanya.

Dia sudah menutup pagar dan sekarang berjalan ke arahku, mengulurkan tangannya dengan lembut. Tak ada jalan kembali. Aku merasa langkahku terhenti begitu saja, seolah ada sesuatu yang memaksaku untuk mengikuti langkahnya.

Tanpa berkata apa-apa, Ryan menggandeng tanganku, membawa aku pergi entah ke mana. Aku ingin memberontak, ingin melawan, namun kakiku seolah tidak bisa bergerak. Aku hanya mengikuti langkahnya, entah ke mana tujuannya, seolah tak punya pilihan.

...»»——⍟——««...

Kami berjalan menyusuri trotoar yang mulai sepi, dan meskipun aku merasa canggung, ada sesuatu yang menenangkan dalam kehadirannya. Ketika aku memandangnya, aku bisa melihat ekspresi serius di wajahnya, seolah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi dia memilih untuk diam.

Aku ingin bertanya, tapi aku takut akan jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengendap di antara kami, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan, namun terasa begitu jelas.

Tak lama, kami sampai di kafe yang waktu itu kami datangi bersama Edo untuk kerja kelompok. Begitu kami masuk, suasana yang familiar sedikit menenangkan perasaanku. Aku menghirup udara sejuk yang datang dari AC dan mencoba menenangkan pikiranku.

Ryan memimpin kami ke sudut kafe, menuju balkon yang terletak dekat dengan pepohonan yang rindang. Tempat itu selalu memberi rasa tenang, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.

“Kenapa kita ke sini?” tanyaku saat kami duduk di salah satu bangku yang menghadap ke luar.

Pepohonan di sekitar kami bergoyang pelan tertiup angin sore. Udara yang sejuk membuat perasaanku sedikit lebih ringan. Ditambah dengan daun-daun yang berguguran, pemandangan yang sangat aku sukai, namun kini terasa berbeda. Aku merasa begitu kecil di hadapan semua ini, tapi dalam cara yang aneh, itu membuatku merasa lebih nyaman.

Ryan duduk di hadapanku, matanya tidak lepas dari wajahku. “Tempat ini cocok untuk kita berdua, terutama untukmu. Lagi pula, tempat ini nggak begitu ramai. Justru enak untuk ngobrol,” kata Ryan, sambil tersenyum tipis.

Aku mengangguk perlahan, meski masih banyak yang ingin kutanyakan. Tetapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, Ryan memulai percakapan.

“Aura, aku nggak tahu kenapa kamu merasa harus menjauh dari aku. Tapi ... aku merasa kita bisa lebih dekat, kan? Kenapa kamu selalu menahan diri?” Ryan bertanya, suaranya penuh ketulusan.

Matanya menatapku dengan lembut, seolah dia benar-benar ingin memahami aku lebih dalam. Aku terdiam dan jantungku mulai berdetak lebih cepat. Suasana jadi semakin intim, dan aku merasa seolah-olah aku tidak bisa lagi bersembunyi dari pertanyaan itu.

“Aku takut, Ryan ...” jawabku akhirnya, suaraku lirih. “Aku takut kalau aku terlalu dekat denganmu, aku akan kehilangan semuanya.”

Ryan mendengus pelan, lalu tersenyum, sebuah senyum yang tidak aku duga. Senyum yang penuh pengertian, bukan senyum kemenangan atau kebohongan.

“Aku nggak akan pernah membuatmu kehilangan apa pun, Aura. Aku cuma ingin kita bisa lebih dekat. Tanpa paksaan.”

Aku menatapnya, merasa ada kehangatan yang menyelimuti hatiku. Sesuatu yang selama ini tak pernah aku rasakan dengan orang lain. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Ryan melihatku, sesuatu yang membuatku merasa dihargai, dihormati.

Di antara diam, aku merasa ada sebuah jembatan yang mulai terbentuk. Kami duduk di sana, dalam keheningan yang penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Semua ketegangan, kecemasan, dan kebingunganku mulai menguap perlahan, digantikan dengan rasa aman yang aneh.

Ryan akhirnya membuka mulut. “Aura ...”

...»»——⍟——««...

1
Cevineine
Semangat thorr, mampir2 yaa😁
Zanahhan226: Halo..
Aku membuat sebuah karya berjudul "TRUST ME" di MangaToon, mohon dukungannya ya!
total 1 replies
Anonymous
akhirnya yang ditunggu2
ADZAL ZIAH: iya ❤
total 1 replies
diann
kenapa novelnya selalu dimulai dari penolakan?
ADZAL ZIAH: he he he 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!