Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal dari Akhir
Altar Langit Terbalik berdiri megah di puncak Gunung Yin Lu, sembilan pilar obsidian menjulang menembus awan rendah. Liu Wei, Guru Feng, dan Biksu Hui Chen mengamati dari balik selubung qi yang menyembunyikan kehadiran mereka.
"Tujuh belas pengawal," Hui Chen berbisik. "Semua setidaknya di tingkat Core Formation."
"Dan itu belum termasuk Ketua Sekte," Guru Feng menambahkan, matanya menyipit menatap sosok berjubah hitam yang berdiri di tengah altar. "Qi-nya... bahkan dari sini terasa tidak natural."
Liu Wei tidak berkomentar. Perhatiannya terfokus pada dua hal: Lin Xiao Mei yang berlutut di altar, dikelilingi formasi segel rumit, dan Pedang Pembakar Surga yang melayang di atasnya, memancarkan aura merah darah yang tampak... menderita.
"Waktunya hampir tiba," suara Ketua Sekte bergema, serak dan dalam. "Saat bulan mencapai zenit, kita akan memulai Ritual Pembalikan Surga dan Bumi."
"Kita harus bergerak sekarang," Liu Wei akhirnya berkata. "Begitu ritual dimulai..."
"Tapi formasi pertahanan mereka terlalu kuat," Hui Chen memperingatkan. "Bahkan dengan kekuatan kita bertiga..."
"Kalian tidak perlu melawan mereka semua," Liu Wei memotong. "Aku hanya butuh kalian membuka celah kecil. Sisanya..." dia mengeluarkan Pedang Penyerap Jiwa yang berdenyut semakin kuat, "...serahkan padaku dan dia."
Guru Feng menatap muridnya lekat-lekat. Di matanya yang biasanya penuh kehangatan, kini ada kesedihan yang dalam. "Wei'er... kau tahu resikonya, bukan? Menggunakan segel ketiga..."
Liu Wei tersenyum tipis. "Guru, apakah kau ingat apa yang kau katakan padaku saat pertama kali kita berlatih pedang?"
Guru Feng mengangguk perlahan. "'Pedang sejati tidak takut patah demi melindungi apa yang berharga.'"
"Dan sekarang," Liu Wei menatap Xiao Mei di kejauhan, "aku mengerti maksudnya."
Tanpa menunggu lebih lama, mereka bergerak sesuai rencana. Hui Chen memulai dengan merapal Sutra Pengacau Indra, menciptakan ilusi yang membuat para penjaga melihat ancaman dari arah yang salah. Guru Feng mengikuti dengan Teknik Sepuluh Ribu Daun, mengirim ribuan daun qi yang mengacaukan formasi pertahanan Sekte Awan Hitam.
Di tengah kekacauan itu, Liu Wei melesat maju dengan Sayap Transenden, terbang rendah dan cepat menuju altar. Tapi sebelum dia bisa mencapai Xiao Mei...
"Akhirnya," suara Ketua Sekte terdengar hampir gembira. "Kau datang juga... Liu Wei."
Udara di sekitar altar bergetar saat Ketua Sekte menghilangkan penyamarannya. Di balik jubah hitam itu berdiri sosok yang membuat darah Liu Wei membeku - wajah yang dia kenal dari pecahan-pecahan ingatannya yang tersisa.
"Paman... Chen?"
Paman Chen - adik dari ayahnya, orang yang dulu selalu memberinya permen dan mengajarinya teknik pedang dasar - tersenyum. Tapi senyum itu tidak mencapai matanya yang sedingin es.
"Kau tumbuh menjadi kultivator yang hebat, keponakanku," dia berkata. "Tapi sayang... kau terlalu mirip ayahmu. Terlalu naif, terlalu percaya pada 'kebenaran' dan 'keadilan'."
"Kau..." Liu Wei mencengkeram Pedang Penyerap Jiwa lebih erat. "Kau yang merencanakan pembantaian klan kita?"
"Merencanakan? Oh, Wei'er... aku yang melaksanakannya." Paman Chen mengangkat tangannya, dan Liu Wei melihat bekas luka berbentuk petir di telapak tangannya. "Dengan tanganku sendiri, aku membunuh kakakku - ayahmu yang terhormat. Dan sekarang..." dia melirik Xiao Mei, "...aku akan menyelesaikan apa yang kumulai."
Liu Wei bisa merasakan Pedang Penyerap Jiwa bergetar marah dalam genggamannya. Dan untuk pertama kalinya sejak dia kehilangan ingatannya, dia merasakan sesuatu menembus kabut yang menyelimuti masa lalunya - kemarahan yang murni dan membara.
"Xiao Mei tidak ada hubungannya dengan semua ini," Liu Wei berkata, suaranya tenang meski qi di sekitarnya bergolak. "Lepaskan dia."
Paman Chen tertawa. "Oh, tapi dia punya hubungan yang sangat penting. Lihat..." dia menunjuk Pedang Pembakar Surga yang masih melayang di atas Xiao Mei. "Pedang itu menolaknya, sama seperti dulu Pedang Penyerap Jiwa menolakku. Tapi dengan ritual ini, aku akan memaksakan takdir itu sendiri untuk tunduk pada kehendakku!"
Tanpa peringatan, Paman Chen melancarkan serangan - cambuk qi hitam yang melesat secepat kilat. Liu Wei nyaris tidak sempat menghindar, merasakan panas membakar saat ujung cambuk itu menggores pipinya.
"Wei'er!" di kejauhan, Guru Feng berteriak, tapi dia dan Hui Chen masih sibuk menahan para pengawal elit.
Liu Wei mengabaikan rasa sakit di pipinya, fokusnya hanya pada satu hal. "Xiao Mei," dia memanggil. "Bertahanlah... aku akan menyelamatkanmu."
Gadis itu mengangkat wajahnya yang pucat, matanya melebar saat mengenali suara itu. "Liu... Wei? Kenapa... rambutmu putih?"
Sebelum Liu Wei bisa menjawab, Paman Chen melancarkan serangan berikutnya - kali ini lebih kuat, lebih mematikan. "Cukup basa-basinya. Mari kita selesaikan ini... sebelum bulan mencapai titik tertingginya."
Dan di puncak Gunung Yin Lu, di bawah langit yang perlahan menggelap, dimulailah pertarungan yang akan menentukan tidak hanya nasib Liu Wei dan Xiao Mei, tapi juga takdir dari dua pedang kembar yang telah terlalu lama terpisah.
Karena terkadang, untuk mengakhiri lingkaran dendam... seseorang harus berani memutusnya, bahkan jika itu berarti mengorbankan ikatan darah itu sendiri.