NovelToon NovelToon
Dear, Anak Tetangga

Dear, Anak Tetangga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / One Night Stand / Crazy Rich/Konglomerat / Teen Angst / Teen School/College
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?

Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.

Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.

Bukan karena gue pelit, ya.

Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.

Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dora The Explorer

Anoi dan kebiasaannya menjilat tangan gue kalau lagi lapar bikin gue ke bangun. Matahari sudah terik, masuk dari jendela dan bikin kamar gue hangat. Mata gue perih, muka gue sakit, dan butuh beberapa detik buat ingat kejadian semalam.

Anan...

Gue langsung bangkit duduk, lihat sebelah ranjang gue.

Kosong.

Jantung gue langsung mencelus. Dia pergi?

Berharap banget, sih gue, dia bakal tidur sambil peluk gue sampai pagi?

Cuma mimpi kali.

Perlahan, gue jalan ke kamar mandi buat sikat gigi, tapi pas lihat diri gue di kaca, gue langsung teriak.

"Ya ampun, muka gue biru lebam!"

Muka gue parah banget. Sebelah kanan bengkak, lebam ungu dari pipi sampai ke mata kanan. Sudut bibir gue ada luka kecil. Gue enggak menyangka banget bisa dipukul sampai separah ini.

Pas lagi memperhatikan muka gue, kelihatan juga memar-memar di pergelangan tangan sama lengan. Kayaknya gara-gara dicengkeram sama orang-orang itu.

Merinding kalau ingat kejadian semalam. Habis mandi dan sikat gigi, gue keluar kamar mandi cuma pakai pakaian dalam, sambil mengelap rambut pakai handuk.

"Serius, celana dalam lo Dora The Explorer?"

Gue langsung teriak kaget pas lihat Anan duduk santai di ranjang gue, bawa kantong makanan dan dua kopi di meja samping tempat tidur.

Gue langsung tutupin badan pakai handuk. "Gue pikir lo udah cabut."

Dia senyum, senyum yang bikin hati gue meleleh dalam hitungan detik. "Gue cuma keluar beli sarapan. Gimana lo sekarang?"

"Gue oke, makasih."

"Buruan, deh, pakai baju dan makan sini, kecuali lo mau makan kayak gitu, gak pakai baju, gue sih gak masalah."

Gue kasih tatapan tajam.

"Bentar."

Sudah rapi dan kita lagi melahap makanan, gue berusaha banget melirik ke arah lain biar enggak terganggu sama makhluk ganteng di depan gue, karena kalau enggak, gue enggak bakal bisa makan dengan tenang.

Anan menyeruput kopinya. "Gue harus ngomong nih, enggak bakal tenang kalau enggak gue keluarin."

"Apa?"

"Celana dalam Dora lo? Sumpah, serius? Gue bahkan enggak tahu ada yang jualan beginian."

Gue puter mata gue. "Namanya juga celana dalam, harusnya enggak buat dilihat."

"Eh, tapi gue udah lihat." Matanya mengunci mata gue. "Gue juga udah sempat pegang."

Hampir saja gue keselak sarapan gue.

"Anan..."

"Apa?" Dia menyengir jahil. "Oh, lo ingat, ya?"

"Enggak, lah."

"Terus, kenapa lo merah?"

"Gerah aja."

Dia senyum iseng, tapi enggak ngomong apa-apa lagi. Gue akhirnya kelar makan dan menyeruput kopi sambil mencoba fokus ke mana saja asal enggak ke dia. Tapi gue tahu dia lagi memperhatikan gue, dan itu bikin gue gugup.

Gue jadi merasa sadar sama penampilan gue, yang mungkin dia lihat dan enggak suka, kayak rambut gue yang masih basah dan berantakan.

Anan mengeluh pelan. "Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"

Gue angkat kepala dan lihat mata biru gelapnya yang bikin gue lemah, dan entah kenapa gue merasa bisa cerita semuanya ke dia.

Kenapa gue masih percaya sama dia padahal dia bikin hati gue hancur?

Gue enggak akan pernah mengerti.

Gue elus rambut gue pelan. "Gue abis kerja dan malah lewat jalan tembus yang gelap."

Anan kasih gue tatapan enggak setuju. "Kenapa lewat situ?”

“Gue capek dan gue kira enggak bakal terjadi apa-apa."

"Jalan pintas yang kemarin itu bahaya, apalagi tengah malam."

"Sekarang gue tahu." Gue ambil napas sebentar. "Jadi, gue lewat bawah jembatan dan ketemu tiga cowok di situ." Tangan gue menggenggam erat di pangkuan. "Mereka ngambil HP gue, terus salah satu dari mereka..."

Cantik banget, jangan nangis, ya.

Kata-kata itu masih menghantui gue.

Anan taruh tangan dia di atas tangan gue. "Sekarang lo udah aman."

"Dua orang lainnya pergi dan ninggalin gue sama satu orang. Dia narik gue ke tempat gelap dan nyuruh gue buat gak teriak, tapi gue tetap teriak dan dia mukul gue. Untungnya, anak yang nelpon lo dengar teriakan gue, dan cowok itu langsung kabur."

"Dia ngapa-ngapain lo gak?" Mata Anan terlihat menyala. "Dia sempat nyentuh lo?"

Gue geleng kepala. "Enggak."

Dia genggam tangan gue lebih erat, dan telapak tangannya terasa hangat. "Semuanya udah lewat, lo bakal baik-baik aja." Dan dia senyum. Kali ini senyumnya beda, bukan senyum sombong atau jahil, tapi senyum yang tulus.

Gue belum pernah lihat dia senyum kayak begitu, dan hati gue langsung kayak diremukkan. Anan Batari benar-benar kelihatan lega dan bersyukur gue selamat, sampai-sampai ada hasrat bodoh dalam diri gue buat cium dia.

Dan di detik itu juga gue sadar, gue sama dia enggak pernah ciuman satu sama lain meskipun sudah melakukan hal-hal yang lebih intim.

Kenapa lo enggak pernah cium gue?

Pertanyaan itu ingin banget keluar, tapi gue enggak punya nyali buat tanya sekarang.

Lagian, buat apa juga gue tanya begitu?

Punya hubungan sama dia enggak pernah jadi bagian dari rencana gue.

Dia masih lembut, penuh perhatian, dan sekarang malah berperan kayak tim SAR, tapi itu bukan berarti cara dia melihat hubungan ini sudah berubah.

Begitu juga gue.

Anan mengelus bagian belakang tangan gue pakai ibu jarinya.

"Makasih, serius, lo gak harus repot-repot kayak gini. Beneran, makasih, Anan."

"Gue selalu siap bantuin lo, penyihir."

Selalu...

Kata itu bikin perut gue berasa kayak dipenuhi bunga-bunga, dan jantung gue makin cepat.

Dia maju dan pegang dagu gue.

"Lo ngapain?"

Dia memperhatikan bagian muka gue yang lebam. "Gue rasa lo enggak perlu minum apa-apa sih, tapi kalau sakit banget, mending lo minum parasetamol aja. Lo bakal mendingan."

"Sejak kapan lo jadi dokter?"

Anan ketawa kecil. "Belum jadi sih."

"Belum?"

"Gue mau ambil jurusan Kedokteran pas lulus SMA nanti."

Gue melongo kaget. "Serius?"

"Kenapa kaget gitu?"

"Gue kira lo bakal ambil Manajemen atau Hukum kayak bokap sama abang lo."

"Buat kerja di perusahaan bokap?"

"Gue enggak pernah kepikiran lo bakal jadi dokter."

"Itu yang semua orang pikir," dia senyum miring. "Gue yakin bokap, nyokap, sama Antari juga mikirnya begitu."

"Mereka enggak tahu lo pingin jadi dokter?"

"Enggak, lo orang pertama yang gue kasih tahu."

"Kenapa? Kenapa gue?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja sebelum gue bisa tahan, dan Anan melihat ke arah lain. "Gue juga gak tau."

Gue gigit lidah supaya enggak tanya yang aneh-aneh lagi.

Dia berdiri. "Gue harus cabut, udah janji buat anterin Asta ke penampungan anjing."

"Penampungan anjing?"

"Lo banyak tanya, sih, Zielle." Nadanya agak nyebelin. "Asta suka ngadopsi anak anjing kalau nyokap lagi baik hati dan ngijinin. Gara-gara Asta rumah gue  dipenuhi anjing-anjing, sampai lusinan.”

"Asta emang anak yang baik."

Raut wajah Anan jadi serius. "Iya, memang."

"Lo bisa sampai in salam gue buat dia?"

"Apa lo? Kangen tidur bareng dia?"

Nah, ini dia.

Si moody mulai lagi.

"Anan, gue bakal lupain lo pernah ngomong begitu karena lo udah bersikap baik sejauh ini. Pergi deh, sebelum lo rusak momen ini."

Anan buka mulut kayak mau ngomong sesuatu, tapi akhirnya dia tutup lagi dan cuma bilang, "Baiklah, semoga lo cepet sehat. Kalau butuh apa-apa, kabarin gue."

"Gue bakal baik-baik aja."

Gue sebenarnya ingin bilang, 'Gue enggak punya HP buat kabarin lo,' tapi gue enggak mau kelihatan matre. Lagian, mungkin dia ngomong begitu cuma buat basa-basi doang, bukan benar-benar mengharapkan gue bakal hubungi dia.

Anan keluar lewat jendela, dan gue jatuhkan badan ke kasur. Gue tatap langit-langit kamar sambil hembuskan napas panjang.

...***...

Niria melongo.

Dia enggak berkedip, enggak gerak, enggak ngomong.

Gue sampai mikir, dia masih napas atau enggak.

Sampai akhirnya dia meledak, tanya gue bagaimana, kejadian apa, dan mengotot kalau kita harus bikin laporan.

Pas gue bilang enggak, dia malah ceramahi gue, bilang kalau kita melapor, mungkin saja bisa cegah cowok-cowok itu menyerang cewek lain.

Gue enggak mau orang lain mengalami  hal yang sama kayak gue, jadi akhirnya gue, nyokap, dan Niria pergi ke kantor polisi buat laporan.

Gue pastikan sebut jembatan itu ,yang sering mereka datangi, berharap polisi bisa tangkap mereka di sana pas mereka lagi beraksi mencari korban lain.

Setelah urusan di kantor polisi kelar, nyokap antar kita ke rumah Niria. Dia harus kerja shift malam dan enggak mau gue sendirian di rumah.

Di kamar Niria yang nyaman, gue ceritakan semuanya tentang Anan. Dia butuh beberapa menit buat mencerna semua itu. Bagi Niria, gue lagi naik level dari status nge-stalk Anan dari jauh, terus berantem sama dia gara-gara Wi-Fi, tiba-tiba jadi punya hubungan aneh sama dia.

Muka gue langsung panas pas ingat apa yang pernah gue lakukan sama Anan. Gue dan Niria duduk di kasurnya, pakai piama dengam kaki menyilang.

Di tengah-tengah kita ada mangkuk Popcorn. Kita  putuskan buat adakan pesta terakhir sebelum masuk sekolah lagi.

"Napas dulu, Nir," kata gue.

Dia akhirnya keluarkan napas panjang, membetulkan rambut hitamnya ke belakang telinga. "Gue harus akui, gue salut."

"Salut?"

"Ya, lo benar-benar bisa ngelawan dia pas dibutuhin, lo berani, gue bangga sama lo."

"Enggak segitunya, ah."

"Ya iyalah, segitunya. Gue gak pernah nyangka lo bakal punya urusan apa-apa sama dia, apalagi bisa ngelawan dia. Keren, bro!" Dia kasih gue reward, dan gue balas ragu-ragu.

"Gak gampang, Niria. Lo tahu gue demen banget sama dia."

"Gue tahu, makanya gue salut banget, dasar bego."

Gue ambil segenggam popcorn. "Kadang gue gak percaya aja bisa ada apa-apa sama dia, rasanya dia selalu jauh dari jangkauan gue." Gue lempar semua popcorn ke mulut gue.

"Gue juga gak nyangka sih. Siapa sangka? Hidup emang gak bisa ditebak." Niria makan popcorn pelan-pelan.

"Tapi kayaknya dia masih di luar jangkauan gue." Gue ambil napas berat. "Dia enggak pernah serius, Nir, cuma buat seneng-seneng doang. Gue bahkan gak tahu apa dia benar-benar suka sama gue."

Niria mendecap. "Lo pasti disukain lah, minimal secara fisik dia tertarik. Cowok gak bakal main-main sama cewek kalau dia enggak ada rasa suka. Itu gak masuk akal."

"Tapi dia udah bilang, pakai muka gantengnya yang nyebelin itu: ‘lo suka gue, tapi gue enggak.’" Gue mencoba meniru suaranya sambil menelan pahit.

"Kalau dia gak suka sama lo, dia gak bakal coba dekat sama lo. Gak bakal."

"Udah, Niria."

"Udah kenapa?"

"Jangan ngomong kayak gitu. Lo bikin gue berharap lagi sama dia."

Niria lipat jari-jari tangannya dan tutup mulutnya. "Oke, gue diam deh."

Gue lempar popcorn ke dia.

"Jangan marah dong." Niria enggak ngomong dan bikin gerakan kayak orang bisu. “Serius nih, Niria?"

Gue lempar popcorn lagi, dan dia tangkap terus dimakan, tapi tetap diam.

"Nir, Niria ngomong, dong."

Dia silangkan tangan di dada. "Gue cuma ngomong jujur, dan lo kesel. Anan itu cakep parah Njir, udah tajir, pinter, bisa dapetin cewek mana pun yang dia mau. Dan sekarang lo bilang dia bakal bareng sama orang yang dia gak suka? Oke, mungkin dia gak mau yang serius, tapi dia jelas suka sama lo, Zielle."

"Yaudah! Lo bener."

Niria melipat rambutnya ke bahu dengan sombong.

"Pasti, dong, sekarang tidur yuk. Gak mau kan besok pagi kelihatan kayak zombie di hari pertama sekolah. Ini tahun terakhir kita, loh, harus cantik, lah."

Kita mencari posisi enak di kasur dan masuk ke selimut. Gue matikan lampu meja samping tempat tidur, kita mengambil napas panjang.

Beberapa saat hening, terus senyum manisnya Anan muncul di kepala gue.

"Stop mikirin dia, Zielle."

"Gak pernah ada yang bikin gue ngerasa kayak gini."

"Gue tahu."

"Dan sakit, sakit banget karena dia gak mau serius sama gue. Rasanya kayak gue gak cukup buat dia."

"Tapi lo pantas kok, jangan biarin dia bikin lo ragu sama diri lo sendiri. Lo udah bener ngejauh, Zielle, bakal lebih nyesek kalau diterusin."

Gue mainkan ujung rambut gue sambil melamun. Niria balik badan dan kita saling tatap, rebahan.

"Nir, gue suka banget sama dia."

Dia senyum ke gue. "Gak usah ngomong, gue udah tau."

"Rasanya bikin gue semangat buat nyari harapan sekecil apa pun..."

"Jangan bikin hidup lo ribet mikirin hal-hal kayak gitu, lo masih muda. Kalau dia gak bisa nge-hargain lo, tenang aja, masih banyak cowok cakep yang lain."

"Lo serius? Kayaknya gak mungkin banget nemuin orang kayak Anan."

"Mungkin gak ada yang persis kayak dia, tapi pasti ada yang bisa bikin lo merasa kayak dia."

Gue ragu banget sama itu.

"Yaudah deh, tidur."

"Selamat malam, pendek."

Dia selalu panggil gue begitu soalnya dia lebih tinggi dari gue.

"Selamat malam, gila."

1
Muhammad Habibi
Luar biasa
nuna
bwa sini bwt ak ja/Grin/
Delita bae
👍👍💚🙏
nuna
pulang!!!!!/Awkward/
Delita bae
💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪💪👍👍🙏
Delita bae
💪💪💪💪💪🙏
Delita bae
👍👍👍💚🙏
Delita bae
💪💪💪💪👍👍🙏
nuna
ko bisa?/Hey/
Delita bae
👍👍💪💪😇🙏
🌟~Emp🌾
/CoolGuy//CoolGuy//CoolGuy/ wah si anan liat
🌟~Emp🌾
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
🌟~Emp🌾
ya iya lah tremor 🤦
putri cobain 347
di tunggu updatenya kak
nuna
nmbjir, ngkak/Facepalm/
Delita bae
💪💪💪💪💪💪🙏
Azmori
di tunggu upnya kk
putri cobain 347
absen kk
putri cobain 347
Semangat up kak
putri cobain 347
absen kk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!