Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Terdengar suara ketukan halus di pintu sebelum Gerry melangkah masuk.
"Aku ingin bicara denganmu, Nara." katanya begitu ia berhadapan dengan Nara yang sedang memegang dadanya sambil berbaring.
"Non sedang tidak enak badan. Sebaiknya kalau mau bicara nanti saja, Den." ujar si bibik.
"Nara kenapa? Kumat lagi?" tanya Gerry tak sabar.
"Emang Dia habis ngapain?" akhir - akhir ini Nara seringkali kumat. Tapi Gerry tentu saja tidak ambil pusing.
Gerrry bertanya hanya demi etika seorang suami.
"Mungkin kecapekan." sahut si Bibik datar.
"Aku bilang juga Dia nggak usah kerja. Ngapain kerja, sih? Duduk manis di rumah juga nggak akan kekurangan."
Si Bibik mendorong Gerry keluar kamar. Ia kesal atas sikap Gerry. Bukannya membiarkan Nara beristirahat ia justru ngoceh - ngoceh nggak jelas. Itu menurut si Bibik.
"Apaan sih, Bik?" dumel Gerry kesal. Si bibik menutup pintu sambil berbisik dengan ketus,
"Berisik!"
Hah?
"Dasar Babu kurang ajar!" sungutnya. Tapi ia tidak dapat melakukan apa - apa. Si Bibik itu sangat istimewa buat Nara. Jauh lebih istimewa dari suami yang hanya untuk statusnya.
Nara belum sepenuhnya tertidur. Ia masih menyadari keberadaan Gerry di kamarnya.
'Mau ngapain lagi Dia, ya? Udah nggak sabar mau kawin sama perempuan itu?'
Si Bibik kembali duduk di samping Nara.
"Non tidur aja, ya? Selama Bibik di sini, nggak ada yang akan gangguin Non." bisik Bibik lembut.
Bibir Nara menyunggingkan senyum. Obat yang ia minum membuatnya mengantuk. Itulah fungsinya. Agar Nara segera dapat beristirahat.
'Makasih, Bik.' gumam batin Nara sebelum ia benar - benar terlelap.
Handoko tidak mengetahui Nara kumat sesaknya setelah ia kembali dari kamarnya. Ia kembali berkutat dengan berkas laporan keuangan di tangannya.
"Apa ini?" ia menggumam. Catatan angka - angka yang tertera membuatnya menyerah.
"Aku tau ini ada yang salah. Tapi yang mana? Debet dan kredit masih.."
Tapi kenapa bagian keuangan mengatakan budget membengkak? Bagian mananya, ya? Kelihatannya biasa - biasa aja."
Handoko terus berpikir. Akhirnya ia meraih ponselnya dan menghubungi Gerry.
Berdering..
"Iya, Pa?" Gerry langsung menerima panggilan sang mertua.
"Kamu bisa ke kamar Papa? Ada yang mau Papa tanyain."
"Oke, Pa."
Gerry bergegas ke kamar mertuanya itu. Setelah mengetuk pintu ia langsung masuk ke dalam kamar.
"Ada apa, Pa?"
"Ini." Pak Handoko mengacungkan berkas di tangannya.
"Papa udah periksa ini. Papa baru ngeh. Pengeluaran tanggal 14 dan 15. Yang lain - lain itu untuk apa, ya? Kenapa begitu besar? Lalu kenapa nggak dijelaskan di kolom keterangan?" berondong Handoko.
"Eh, itu.. Aku.." Gerry tergagap. Ia yang mengambil uang itu untuk bersenang - senang dengan Maya tanpa memikirkan alibatnya.
Handoko merasa sangat marah melihat reaksi Gerry. Itu sudah menjelaskan semuanya.
"Kamu yang ngambil? Untuk apa?"
Gerry semakin gugup. Mertuanya ini terlihat mengerikan. Matanya melotot. Sebelumnya ia tidak pernah semarah itu. Ia selalu mempercayai Gerry.
"Kamu mulai korupsi, Ger? Kamu tau akibatnya?"
Handoko berjalan maju untuk lebih dekat dengan Gerry.
Gerry kalap. Ia mendorong Papa mertuanya hingga terjatuh.
Brukk! Dug!
Handoko langsung pingsan karena kepalanya langsung membentur lantai.
Gerry panik.
"Kalau ia bangun ia pasti akan memenjarakan Aku!" desisnya sambil berjalan mondar mandir. Apa yang harus ia lakukan?
Gerry lalu duduk di depan Handoko. Pikirannya sudah mampat.
Ketika melihat tubuh Handoko bergerak tanpa pikir panjang ia mengambil bantal dan membekap wajah mertuanya itu.
"Mati aja, Kamu! Mati!"
Tubuh Handoko meronta untuk beberapa saat sebelum akhirnya diam.
****************
"Kamu utang penjelasan sama Aku." Tikno menatap Dirga dengan tatapan menggoda.
"Penjelasan apa?" Dirga menatap lurus ke depan. Ia konsentrasi menyetir. Mereka baru pulang setelah makan siang dengan Nara.
"Sejak kapan Kamu kenal perempuan tajir melintir itu?"
Dirga menoleh sekilas.
"Siapa?" tanyanya. Pertanyaan bodoh menurut Tikno.
"Nara! Naya!" teriak Tikno di telinga sahabat kacaunya ini.
Mobil berayun ke kiri.
"Ga!" teriak Tikno. Mobil terus mengayun ke kiri.
Dirga menepikan mobilnya seraya mengucek
telinganya yang terasa pekak.
"Rese, Lo!" teriaknya pada Tikno.
"Aku baru tau kalau Kamu ini ternyata te o el o el!"
"Apa, tuh?" tuh, kan. Tikno mengangkat kedua tangannya selayaknya berdoa.
"Tolol!" teriaknya lagi.
"Sialan!"
Dirga kembali melajukan mobil.
"Awas kalau teriak - teriak lagi. Mobil ini nanti bisa melewati pagar pembatas itu." ancamnya sambil mendelik.
Tikno menggeleng - gelengkan kepalanya.
"Aku nanya bener - bener, Ga. Sejak kapan Kamu kenal Nara?" suaranya melunak.
"Yang spesifik, dong!" Dirga malah memprotesnya. Tikno langsung menoyor kepala Dirga.
"Emang ada, ya. Perempuan lain selain Nara? Kamu kenal tapi Aku enggak kenal, gitu."
Dirga menggeleng.
"Memang nggak ada."
"Nah, tinggal jawab aja kok susah amat, sih?"
Dirga menarik nafas panjang sebelum memulai ceritanya.
Tikno tertawa.
"Emang jodoh nggak kemana."
"Siapa bilang Dia jodoh Aku? Kita sama - sama udah menikah." keluh Dirga.
"Ako kok punya penampakan, ya. Kalau Kalian akan jadian dan menikah."
"Emang Kamu cenayang?" sungut Dirga. Tikno ini memang seringkali sok tau.
"Dipikir - pikir, Nara itu cantik. Cuma terlalu kurus aja." Dirga memang setuju. Di matanya Nara itu sangat cantik dan bersahaja. Tidak ada yang dapat menduga bila melihat dari penampilannya kalau Nara ini putri tunggal pemilik PT Bintang terang.
"Kata si Bibik, Dia punya penyakit jantung bawaan." entah kenapa, si Bibik ingin memberitahu penyakit Nara pada Dirga.
"Pantes. Tapi Dia kan orang kaya, kenapa nggak berobat aja? Transplatasi jantung, gitu?"
"Nara nggak mau. Nggak tau kenapa." Tikno menatap sahabatnya ini dengan perasaan takjub. Dirga menyadari arti tatapan Tikno.
"Itu juga kata si Bibik." jelasnya sambil menoyor kepala Tikno.
"Kalian emang berjodoh." kata Tikno bersemangat.
"Nara ada masalah dengan kesehatannya, tapi ia menutupinya. Kamu juga ada masalah dengan kehidupanmu, tapi Kamu enggan menceritakannya."
Dirga menghela nafas. Lagipula, untuk apa Nara mengetahui masalahnya?
"Untungnya, ada sahabat seperti Aku dan pembantu seperti si Bibik. Jadi Nara mengetahui semuanya dari Aku dan Kamu mengetahui semuanya dari si Bibik."
"Apa??!" Dirga melotot. Ia kembali menepikan mobilnya.
"Kok berhenti, sih? Satu gang lagi juga Kita sampai?"
"Kamu cerita semua tentang Aku pada Nara?" Tikno mengangguk.
"Itu alasan Aku berhenti di sini." dengus Dirga. Ia melepas seatbeltnya agar lebih leluasa mendekati Tikno.
"Apa?" tanya Tikno mulai waspada.
"Biar istrimu yang tercinta itu nggak ngelihat suaminya Aku bantai!!" teriak Dirga seraya menyerang Tikno dengan gelitikan - gelitikannya. Itu kelemahan Tikno.
"Dirgaa! Stoop! Sialaan!"
"Aku nggak akan stop kalau Kamu belum mati lemas!"
"Dirga! Kasihan istriku kecilku kalau harus menjanda!"
"Lebayy!"
Mobil bergoyang ke kanan kiri ditingkahi teriakan dan tawa mereka berdua.
****************