Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bosan
Beberapa menit yang lalu seharusnya jam perkuliahan sudah dimulai, dan dosen yang masuk adalah pak Dani. Bahkan hampir 20 menit berlalu pak Dani masih belum menampakkan batang hidungnya di kelas, tak seperti biasanya beliau terlambat seperti ini.
Ditambah lagi hari ini adalah pengumpulan tugas yang diminta pak Dani, tidak mungkin beliau akan lupa jika sudah menyangkut pengumpulan tugas. Tidak pernah sekali pun terlupakan olehnya.
Beralih dari itu semua, mungkin ada beberapa hal yang sangat membosankan di dunia ini, salah satunya ada pada Lauren. Gadis itu tengah melamun di bangkunya, kedua matanya tak lepas dari Eliza yang tengah sibuk menyempurnakan tugasnya. Padahal jika dilihat-lihat tugas Eliza sudah sangat bagus dan mendekati sempurna, tetapi tetap saja gadis itu seperti tidak puas dengan hasil tugasnya.
Sangat berbeda sekali dengan seorang Lauren. Dia sama sekali tidak mempedulikan bagaimana hasil tugasnya, bagus atau tidak, sempurna atau tidak. Satu hal yang dipikirkannya adalah asalkan tugasnya selesai tepat waktu dan mendapat nilai, Lauren sudah puas akan hal itu. Tidak ingin repot dan mendapatkan apa yang diinginkan, selesai. Begitu prinsip seorang Lauren Winata.
“Apa lo nggak muak Za, sama tu tugas? Dari tadi gue liatin, lo bolak balik ngerjain.” Lauren yang tak tahan dengan apa yang dilakukan Eliza akhirnya bersuara.
Sedangkan gadis itu hanya menggelengkan kepalanya pelan, perhatiannya sama sekali tak teralihkan dari lembar tugasnya. “Menurutku hasilnya belum sesuai sama yang aku ekspetasikan, jadi perlu diperbaiki lagi. Mumpung pak Dani belum masuk, kesempatan lah.”
Mendengar jawaban Eliza, Lauren tak lagi menanggapi dengan ucapan, melainkan hanya memutar bola matanya malas. Sebenarnya dia sudah tahu persis seperti apa keperfeksionisan sahabatnya itu, hanya saja tadi dia iseng untuk bertanya, dan ternyata jawaban Eliza hampir mendekati perkiraannya.
“Ini pak Dani kapan masuk kelas sih?” Yara yang berada di depan bangku Lauren berteriak. Dia juga sama bosannya seperti Lauren, sedari tadi gadis itu mengobati kebosanannya dengan bermain game di ponselnya, tapi lama kelamaan perasaan bosan itu kembali menghampirinya. “Nathan!”
“APA?”
“Dih, curut ngegas. Gue manggil baik-baik lo.”
“Baik-baik pala lo, minimal ngaca,” sahut Nathan emosi. Jika sudah menyangkut Yara, laki-laki itu akan bereaksi layaknya seorang gadis yang tengah datang bulan. Entah kenapa, jika dengan Yara hawanya selalu saja panas layaknya setumpuk sampah yang terbakar oleh kobaran api. Bisa jadi bawaan gadis yang selalu berbicara dengan nada tidak ramah itu, membuat Nathan selalu terbawa suasana.
“Chakra mana?”
Mendengar pertanyaan Yara, laki-laki itu seketika tersadar kalau sahabatnya itu sudah tak ada lagi di bangkunya. Bisa-bisanya dia tidak menyadari Chakra pergi, padahal sedari tadi laki-laki di sampingnya itu tengah disibukkan dengan tugasnya, tetapi setelah beberapa saat tak diperhatikan rupanya dia sudah menghilang begitu saja. Apakah Chakra memiliki kekuatan teleportasi?
“Woy! Gue nanya peak, Chakra mana? Malah bengong ae.”
“Ya gue juga nggak tau dia ada di mana. Dari tadi dia duduk di sini, sekarang udah nggak ada,” jawab Nathan masih dengan nada emosinya
Sedangkan Yara, dia tidak mempermasalahkan nada bicara laki-laki itu. Toh, dia memang sudah terbiasa dengan orang yang berbicara dengannya menggunakan nada seperti itu. Dia tak sepenuhnya menyalahkan orang lain, sebab dia sendiri yang memulai berbicara dengan orang lain dengan nada yang tidak ramah. Yara sangat memaklumi akan hal itu.
“Tumben lo nyari ketua kelas?” kali ini bukan Nathan yang bertanya, tetapi Niken yang duduk di sampingnya.
“Ya nggak apa sih, gue cuma mau nanya ke dia, nih pak Dani beneran masuk atau nggak. Kalo nggak, gue mau cabut dari kelas,” kemudian dia berbalik menatap orang yang nampaknya tengah melamun. “Lo ikut cabut nggak?”
“Ngikut lah, asem banget dah gue,” orang itu menjawab, sudah pasti dia sangat menyetujui sahabatnya itu. Salah satu dari banyak hal yang dia pikirkan adalah ingin segera keluar dari kelas, sebab sekarang dia sudah tak tahan untuk segera mengisap rokok elektriknya.
“Pak Dani nggak bisa masuk kelas, karena ada kesibukan dadakan. Lalu untuk tugas, kalian bisa meletakkannya di atas meja,” orang yang dicari-cari akhirnya memunculkan dirinya.
Sebagian dari penghuni kelas bersorak bahagia setelah mendengar pernyataan itu, namun ada sebagian juga yang mengeluh, sebab kenapa baru sekarang hal itu diberitahukan. Coba saja Chakra lebih cepat memberitahukannya, mereka semua di kelas tidak akan luntang lantung menunggu dosen itu masuk ke kelas.
“Kalo gitu kita gas lah, Ren,” ucap Yara seraya bangkit dari kursinya.
Hal itu ditanggapi anggukan kepala oleh Lauren, diikuti dia yang juga ikut bangkit. Namun sebelum dia benar-benar meninggalkan kelas, Chakra sudah lebih dahulu mencegahnya.
“Lauren. Lo jangan pergi dulu!”
Langkah gadis itu terhenti, dia menatap wajah Chakra dengan kedua alis yang terangkat. Tangannya bergerak menunjuk dirinya sendiri, bermaksud bertanya kepada laki-laki itu dengan isyarat.
Chakra yang mengerti akan hal itu menganggukkan kepalanya. “Lo dipanggil pak Dani ke ruangannya, kayaknya pengen ngebahas tentang proyek kemarin.”
Ah, proyek itu. Lauren seperti baru saja mengingat kalau dia terpilih sebagai asisten pak Dani untuk mengurus proyek itu. Tak heran jika gadis itu sedikit melupakan tentang proyek, sebab sudah seminggu berlalu pak Dani sama sekali belum menghubunginya atau bahkan menghubungi ketua kelasnya untuk membahas tentang proyek.
Lauren jadi berpikir, apakah dia benar-benar dipilih menjadi asisten dosen itu untuk membantu mengurus proyek? Atau lebih parahnya lagi proyek itu batal dilaksanakan. Jika benar proyek itu batal dilaksanakan, bukankah Lauren harus senang akan hal itu?
Sebab dia tidak akan dibuat pusing untuk menghadapi Ethan yang selalu menghantui pikirannya itu. Persetan dengan perjuangan yang sempat dia bahas dengan Nathan, setidaknya dia bisa merasa lega dan bisa lebih mempersiapkan dirinya untuk menghadapi laki-laki itu.
“Lo ikut?”
“Ya nggak lah, Ren. Secara yang asistennya lo, masa gue ikut juga,” jawab Chakra dengan kekehan kecilnya.
Lauren ikut tersenyum saat melihat wajah Chakra, laki-laki dengan eye smile nya itu spontan membuatnya sedikit meleleh. Jika boleh jujur, ketua kelasnya itu adalah sosok yang begitu manis menurutnya. "Kalo gitu gue pergi dulu.”
Setelah dibalas anggukan kepala dari Chakra, gadis yang mengenakan kemeja oversize itu melenggang keluar kelas. Baru saja kakinya selangkah keluar dari kelas, ada sosok yang sudah menunggunya di samping pintu, yang tak lain adalah Yara.
“Lama banget nunggu lo.”
Lauren tersenyum kecil. “Sorry bestie, gue ada urusan tadi. Sekarang pun gue nggak bisa ikut lo.”
“Loh, loh, kok bisa gitu? Tadi katanya mau ikut gue cabut.”
“Tadi emang gitu. Sekarang nggak lagi, soalnya gue dipanggil pak Dani buat ke ruangannya.”
Mendengar kata pak Dani dan ruangan, seketika Yara membulatkan kedua matanya. Tentu saja dia terkejut, sebab kedua kata tersebut terdengar sedikit horor di telinganya. Apakah sahabatnya itu telah melakukan kesalahan, sehingga harus dipanggil ke ruangan pak Dani. Tidak mungkin kan sahabatnya itu berulah tak senonoh di kampus, secara gadis itu hari ini terlihat banyak diam saat sampai di kelas.
“Lo jangan berpikir yang nggak nggak lah, Ra,” Lauren paham akan tatapan gadis di hadapannya itu. “Apa lo lupa, kalo gue ditunjuk pak Dani sebagai asisten yang bakal bantuin beliau ngurusin proyeknya nanti. Jadi udah pasti, gue dipanggil ke ruangannya buat ngebahas ini.”
Seketika Yara ingin membenturkan kepalanya sendiri ke dinding kampus, bisa-bisanya dia melupakan satu fakta bahwa seminggu yang lalu pak Dani menunjuk seorang Lauren untuk menjadi asistennya. Senyuman aneh pun muncul dari raut wajahnya. “Lupa gue, Ren. Gue udah gugup duluan, takut lo berbuat aneh sampai-sampai harus dipanggil ke ruangan pak Dani.”
“Lo kira gue mahasiswa pembangkang yang bakal dipanggil ke ruang dosen karena udah ngelakuin hal yang di luar nalar?” Lauren menatap tak percaya sahabatnya itu, kenapa bisa dia berpikir demikian. “Nggak lah, anjir. Ibaratnya gini, senakal-nakalnya gue di luaran. Gue nggak akan berani berbuat hal yang merugikan gue di kampus. Gue masih mau punya nama baik ya, peak.”
“Iya deh, iya. Si penjunjung nama baik.”
Selanjutnya kedua gadis itu tertawa secara bersamaan, sampai akhirnya keduanya pun berpisah menuju tempat tujuannya masing-masing. Tentu dengan Lauren yang berucap akan segera menyusul Yara jika urusannya sudah selesai, dan pastinya disetujui gadis itu dengan perasaan senang.