NovelToon NovelToon
AZKAN THE GUARDIAN

AZKAN THE GUARDIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Kehidupan alternatif / Kontras Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: BERNADETH SIA

Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TANPA WAKTU MENYELESAIKAN

Suasana makan malam kali ini, jauh berbeda dibanding makan bersama mereka sebelum-sebelumnya. Pikiran keduanya tenggelam dalam lautan kekhawatiran masing-masing. Berbagai macam spekulasi dan perkiraan menyibukkan pikiran mereka hingga tak sanggup untuk saling berbincang. Bahkan bertatapan mata saja tak bisa. Karena tiap kali mata mereka bertemu, seluruh perasaan terdalam mereka langsung terlihat jelas. Dan kali ini, perasaan terdalam mereka adalah ketakutan. Dalam hubungan yang baru berjalan, ketakutan di dalam hubungan, adalah sesuatu yang tak diharapkan. Seharusnya sekarang ini mereka sibuk saling mencintai. Sibuk menghabiskan waktu bersama, sibuk melakukan banyak hal bersama-sama, bukannya sibuk memperkirakan kemungkinan-kemungkinan buruk. 

“Selamat malam, Azkan. Maaf mengganggu makan malammu.” akhirnya suara Ardoz, sang Jenderal, yang memecahkan kesunyian ruang makan pribadi Azkan. 

“Ada apa Ardoz?” Ardoz melangkah masuk. Mimik wajahnya lebih serius dari biasanya. Laina pun memperhatikan hal itu. 

“Ada jiwa langka yang datang ke Pulau Asa. Saat ini sedang dirawat di rumah sakit.” 

“Benarkah?” Azkan pun terkejut mendengar laporan Ardoz.

“Bagaimana kondisinya?” Azkan meletakkan alat makannya.

“Cukup buruk. Tubuhnya dipenuhi bekas luka dan ada luka baru yang perlu segera diobati.” 

“Jadi, itu adalah luka terakhirnya sebelum meninggal?” Ardoz menangguk, merasa pilu ketika mengingat kembali bagaimana kondisi jiwa itu ketika datang dengan diantar oleh Bara, paus besar hitam yang dulu pernah mengantar Perempuan Pilihan kedua. 

“Apa maksudnya jiwa langka?” suara Laina mengalihkan perhatian Azkan dan Ardoz.

“Seorang anak kecil.” Ardoz yang menjawab lebih dulu, “Jarang sekali ada jiwa seorang anak kecil yang datang ke Pulau Asa. Jadi, kami menyebutnya jiwa langka.”

“Kenapa?”

“Karena kebanyakan dari anak kecil yang meninggal, mereka tidak menuntut keadilan.” kali ini suara rendah Azkan yang terdengar. Laina menatap Azkan sambil memiringkan kepala, menuntut penjelasan lebih.

“Anak-anak yang meninggal, biasanya karena sakit atau kecelakaan. Atau bisa juga karena bencana alam. Jiwa anak-anak itu, biasanya langsung kembali bersama Dewa. Namun ada sebagian kecil kasus, dimana anak-anak meninggal karena disiksa hingga meninggal. Anak-anak seperti itu pun, jika usia mereka masih terlalu kecil, mereka langsung kembali ke tempat Dewa karena mereka belum punya pemahaman tentang menuntut keadilan dari Dewa. Jadi, kalau ada anak yang datang ke Pulau Asa, itu berarti, dia telah mengalami hal yang sangat buruk ketika hidup dan sebelum meninggal, dia meminta keadilan dari Dewa.” penjelasan panjang Azkan membuat hati Laina pilu. 

“Lalu, dimana anak itu akan tinggal nanti? Apa bersama penduduk yang lain?” Laina menjadi lebih penasaran pada keadaan anak yang dikabarkan baru datang itu. 

“Ada panti asuhan untuk anak-anak yang datang ke Pulau Asa. Panti asuhan itu ada di bawah pengawasan para Perempuan Pilihan. Biasanya mereka bergantian mengurus panti asuhan. Setiap bulan, mereka bergantian untuk bertanggung jawab mengurus keseharian panti. Sambil memberikan laporan menyeluruh setiap bulannya.” Laina berharap dia juga dilibatkan dalam pengurusan panti asuhan itu. Dia mengingatkan diri untuk meminta Azkan membawanya menemui para Perempuan Pilihan yang lain supaya bisa belajar dari mereka tentang caranya mengurus panti asuhan di sini. Setelah itu, dia akan minta kesempatan yang sama untuk bisa mengurus panti dan anak-anak di sana. Sebagai anak yang tumbuh besar di dalam panti asuhan, Laina merasa lebih terhubung dengan tempat itu daripada tempat lainnya di seluruh pulau ini. 

“Jadi, apakah anak yang baru datang itu nanti langsung kubawa ke panti asuhan?” Ardoz berusaha menyimpulkan langkah selanjutnya yang harus dia ambil setelah perawatan anak itu selesai. 

“Kalau tidak ada keluarga yang ingin mengadopsinya, maka dia harus dibawa ke panti asuhan. Seperti anak-anak lainnya.” keputusan Azkan sama seperti biasanya.

“Tunggu,” Laina menyela. “Apa anak itu bisa langsung diadopsi?” Azkan menatap Laina dan menyadari kalau kekasihnya itu sudah memiliki tekad tersendiri.

“Iya. Ada orang-orang yang memulai kehidupan baru mereka sebagai manusia biasa di sini. Mereka memutuskan untuk melanjutkan hidup mereka sampai akhir di Pulau Asa. Merekalah orang-orang yang boleh untuk memulai keluarga baru dan memiliki anak. Salah satunya dengan cara mengadopsi anak yang datang.” Azkan merasa was-was dengan keinginan Laina. 

“Apa aku boleh menemui anak itu di rumah sakit?” kedua mata Laina berbinar. Perasaan buruknya mengenai mimpi dan spekulasi buruk, menguap begitu saja. 

“Tentu. Tapi, …” Azkan memikirkan ulang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. 

“Apa?” Laina mengantisipasi ucapan Azkan.

“Apa kau berniat untuk mengadopsinya?” Azkan menyuarakan niat Laina dengan lantang. Ardoz yang terkejut pun langsung menatap Laina. Wajah Laina terlihat gugup. 

“Apa tidak boleh?”

“Kan sudah kujelaskan tadi, kalau yang boleh mengadopsi anak adalah mereka yang sudah memutuskan kehidupan kedua mereka sebagai penduduk pulau Asa. Mereka yang waktu hidupnya, berputar lagi. Mereka bukan lagi jiwa yang sedang dipulihkan, tapi murni manusia yang menjalani hidup baru.”

“Tapi kan, kalau aku yang mengadopsinya, bukankah itu jauh lebih baik? Aku akan berada di sini jauh lebih lama dari mereka yang waktu hidupnya berputar lagi. Mereka bisa meninggal nanti dan meninggalkan anak yang mereka adopsi. Sedangkan aku, aku bisa terus bersamanya sampai jiwanya pulih dan dia bisa memulai kehidupan barunya.”

“Lai, …”

“Lagipula aku tidak berkata pasti akan mengadopsinya. Kita lihat saja dulu. Kalau aku memang merasa sanggup mengadopsinya, maka aku akan bicara padamu lagi. Bagaimana?” Azkan tidak punya kesempatan untuk mengatakan tidak. 

Ardoz, yang berada di antara pembicaraan itu, hanya diam mendengarkan. Belum pernah ada Perempuan Pilihan yang mengadopsi seorang anak. Para penduduk pun tidak pernah mempertimbangkan untuk mengadopsi seorang anak yang datang ke Pulau Asa karena mereka takut tidak bisa bertanggung jawab pada jiwa lain yang juga sedang terluka. Di mata Ardoz sekarang, Laina adalah orang yang tidak masuk akal. Bukankah dia juga punya lukanya sendiri yang harus dipulihkan? Karena itulah dia ada di sini, di Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa manusia yang penuh luka, datang untuk dipulihkan.

Setelah menghela nafas panjang, Azkan hanya bisa menjawab, “Baiklkah. Ayo kita lihat kondisi anak itu dulu.” Ardoz menganggukkan kepala singkat, lalu berjalan keluar lebih dulu. Di belakangnya, Laina dan Azkan berjalan beriringan mengikutinya. Azkan ingin sekali melingkarkan lengannya di pinggang Laina seperti biasanya. Tapi bayangan tentang masa lalu yang mungkin sedang terulang, mengurungkan niatnya. 

Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit pun, mereka tak banyak bicara. Laina hanya bertanya tentang luka yang dimiliki anak itu. Azkan hanya menjelaskan tentang kondisi terakhir anak itu sebelum meninggal, yang masih ada ketika dia datang ke Pulau Asa. Luka fisik yang terlihat itu, adalah langkah pertama bagi Azkan dan orang-orangnya untuk memulihkan anak itu. Dimulai dari luka fisik yang terlihat, lalu luka di dalam jiwanya. Itulah kenapa, luka anak itu masih ada meski sudah meninggal dan datang ke Pulau Asa. 

Berbeda dengan orang dewasa yang sudah bisa menceritakan sendiri masa lalu mereka, perasaan mereka, dan kemampuan Azkan untuk melihat masa lalu mereka. Pada anak-anak, Azkan tidak bisa menembus masa lalu mereka karena sudut pandang seorang anak, masih begitu polos dan murni. Tidak ada sudut pandang yang pasti. Otaknya masih dalam proses bertumbuh dan dia menerima semua yang dia lihat dan dengar sebagai sebuah kebenaran. Kemurnian anak-anak juga membuat Azkan tidak bisa menembus masa lalu mereka karena jiwa Azkan yang penuh dengan kisah dan warna. 

Menangani jiwa anak-anak yang datang, membutuhkan usaha dan waktu yang lebih. 

“Azkan, Laina, kalian sudah datang. Kemarilah.” Nico, dokter penanggung jawab rumah sakit, menyambut kedatangan keduanya dengan ekspresi wajah yang buruk. 

“Kondisinya sangat buruk.” Nico menyibak tirai yang mengelilingi salah satu tempat tidur di ruang gawat darurat. Di atas tempat tidur itu, berbaring tubuh seorang anak laki-laki berusia empat tahun, yang dipenuhi luka. Nico menunjukkan bekas luka lama yang mewarnai kulit putih mulus anak itu. Lalu dia menunjukkan sebuah luka tusukan di dada dan luka sobek di kepala yang mengakibatkan kematiannya. 

Laina menutup mulut, air matanya mengalir begitu saja, merasakan betapa kejam hidupnya, sampai dia bisa ada di sini, di tempat jiwa-jiwa menuntut keadilan. 

“Aku sudah menutup luka-lukanya. Dia sedang dalam pengaruh obat bius karena kesakitan. Sebentar lagi, dia akan sadar.” Nico menyelesaikan laporannya, lalu beranjak pergi, pada pasien lain yang harus dia periksa. 

Azkan membiarkan Laina mendekati anak kecil itu. Dia melihat betapa lembut Laina mengelus kepala anak itu yang tak terluka, lalu meraih tangan kecilnya ke dalam genggaman sambil mengusap-usapnya penuh kasih sayang. Laina tak lagi memedulikan Azkan dan Ardoz yang menatapnya dengan was-was. Pikiran mereka berdua sama, bagaimana kalau Laina memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki itu? Apa tidak masalah mengiyakan keputusan Laina? Bagaimana dengan kebiasaan yang sudah berubah menjadi aturan tak tertulis di Pulau Asa tentang hak mengadopsi anak?

“Hai, anak kecil, sekarang kau baik-baik saja.” bisikan Laina bisa didengar oleh Azkan dan Ardoz yang masih berdiri di belakangnya. “Sekarang, kau tidak akan disakiti lagi. Mulai sekarang, kau akan menjalani kehidupan yang baik. Kau akan bahagia. Jadi, bangunlah. Aku akan menemanimu. Hm?” 

Azkan menatap Ardoz. Mereka bertukar tatapan dan isi pikiran yang sama. “Ardoz, tolong diskusikan hal ini dengan Sophia. Apakah mungkin bagi Laina untuk mengadopsinya?” 

“Baik, Azkan.” kepergian Ardoz, membawa harapan Azkan akan sebuah jawaban yang tidak mengecewakan Laina. Semoga. 

1
anggita
like👍☝iklan. moga novelnya lancar jaya
anggita
Azkan..😘 Laina.
SammFlynn
Gak kecewa!
Eirlys
Aku bisa baca terus sampe malem nih, gak bosan sama sekali!
SIA: Terima kasih sudah mau membaca :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!