Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Turunan Bunglon
" Ann mau ayah ! Telpon ayah, ma ! Bilang sama ayah, Ann mau sekolah ! " Pekikan anak kecil terdengar menggelegar di dalam rumah mewah milik Fikri. Gadis kecil itu sedang mengamuk dan membanting semua barang-barang yang ada di dekatnya. Sedangkan sang ibu malah asik dengan gadget-nya dengan berselonjor santai di atas sofa empuk.
" Prang.. ! " Guci mahal koleksi Dilara hancur karena ditendang oleh anak kecil itu.
" Astaghfirullah dek Ann ! Itu guci kesayangan Ibu Dilara ! " Pekik Mbak Ina melihat guci itu telah hancur berkeping-keping. Mata pelayan itu mendelik kesal. Ditatapnya Maria yang sedang duduk santai memainkan ponselnya di atas sofa tanpa peduli dengan anaknya yang sedang tantrum.
" Huaaahhh....mama ! Mbak Ina memarahiku ! " Pekik Ann mendramatisir lalu berlari mendekat ke arah Maria.
" Astaga ! Ya Gusti ! Ini anak malah playing victim. " Geram Mbak Ina.
" Heh...pelayan ! Kenapa kau memarahi anakku ? Ada hak apa kau memarahi anak majikanmu ? " Bentak Maria mendekati Mbak Ina. Matanya mendelik tajam ke arah art Dilara itu.
" Plaak ! " Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi pelayan itu sampai kepalanya tertoleh kesamping.
" Berani kau memarahi anakku, haah ?! Kau pikir kau siapa ? " Maria menjepit kedua pipi Mbak Ina dengan cengkraman jarinya.
" Itu guci kesayangan Bu Dilara ! Anak ibu memecahkannya ! " Sahut Mbak Ina lalu menepis tangan Maria dengan kasar.
Dia memang hanya seorang pelayan di rumah ini. Tapi dia tidak terima kalau harus diperlakukan dengan semena-mena oleh orang lain, sekalipun itu istri dari majikannya.
" Heeh ! Berani kau ?! " Mata Maria melotot sempurna mendapat perlawanan dari Mbak Ina.
" Tunggu Kak Fikri pulang, aku akan menyuruhnya memecatmu ! " Ancam wanita berkulit putih itu merasa berang.
" Saya tunggu itu, bu. Dan pastikan ibu punya uang banyak untuk mengganti guci mahal ini. " Ancam Mbak Ina balik tanpa rasa takut. Dia jengah melihat sikap Maria dan Anaknya yang seenaknya berlagak nyonya besar di dalam rumah.
" Anda cuma pelakor di sini. Tidak sepantasnya menindas saya. Saya hanya mengabdi pada Bu Dilara bukan pada anda. Jangan pernah bermimpi saya akan tunduk dengan anda ! " Tandas Mbak Ina lalu berbalik meninggalkan Maria yang bertambah geram. Pelayan itu enggan membersihkan kekacauan yang diperbuat oleh Ann.
" Hei ! Mau ke mana kau ? Bersihkan serpihan guci ini ! " Pekik Maria menggelegar.
Mbak Ina tersenyum sinis sambil berlalu dari situ. Dia tidak peduli lagi kalau harus dipecat oleh Fikri. Dia adalah orang yang tidak bisa mentolerir orang yang menimpakan kesalahan yang tidak pernah diperbuatnya.
"Masih pagi sudah bikin kacau. Dasar kampungan ! " Umpat Mbak Ina berjalan ke arah paviliun tempat tinggal para pekerja di rumah itu. Samar makian Maria masih terdengar di telinganya.
" Mbak Ina ! Ada apa ? Kenapa pagi-pagi sudah berisik di dalam ? " Tanya salah satu pelayan, teman Mbak Ina tergopoh keluar dari dalam paviliun.
" Itu si Mak Lampir sama anaknya pagi-pagi sudah bikin kacau. Anaknya tantrum memecahkan guci kesayangan Bu Lara. Si mamanya malah asyik main hp tanpa peduli dengan anaknya. " Gerutu Mbak Ina sesekali mengelus pipinya yang terasa perih.
" Astaga ! Guci ibu pecah ?! " Pekik pelayan itu membulatkan matanya.
" Hmm.. Anaknya yang mecahin, malah saya yang ditampar sama itu mak lampir. " Kesal Mba Ina.
" Ya Allah....itu pipimu merah Mbak.. " Pekik Pelayan berkulit eksotis itu.
" Gara-gara si lampir. Dalam rumah sudah kaya kapal pecah, diberantakin anaknya. Mamanya cuman main hp. " Gerutu Mbak Ina lagi.
" Aahh...aku minta libur saja dulu sama Pak Fikri. Bisa gila aku punya majikan kampungan kaya gitu. " Dilanjutkannya langkah memasuki paviliun.
" Lah..trus tidak ada yang beres beres, mbak ? Soalnya saya sudah minta ijin lebih dulu. Hari ini saya ijin ke nikahan sepupu saya. " Tukas pelayan yang bernama Ipah itu sambil mengejar langkah Mbak Ina.
" Biarin aja. Toh Pak Fikri sama Ibu Lara nggak di rumah, biarin si lampir yang beres-beres sendiri. Masak sendiri. Biar tau rasa pelakor tidak tau diri itu. " Sahut Mba Ina geram sambil menyeret kopernya dari samping lemari untuk mengisi baju-baju yang ingin dibawanya.
" Mbak Ina serius mau pergi ? " Tanya Ipah lagi memastikan.
" Iya ! Kau pikir aku bohong ?! " Sahut Mbak Ina ketus. Dia masih terbawa emosi.
" Janganlah Mbak. Bagaimana kalau Bu Lara pulang. Kasian Ibu kalau rumah bèrantakan. " Ucap Ipah menasehati Mba Ina yang kadung geram.
" Huuff... Mba Ina menghempaskan kopernya ke lantai lalu duduk di tepi ranjang.
" Andai tidak ingat Bu Lara, aku sudah minta berhenti. Kesal aku, Pah. " Keluh Mba Ina dengan medok jawanya.
Ipah tertawa pelan. " Sabar Mbak. Lebih baik Mbak Ina istirahat di kamar saja dulu. Biarkan si lampir yang bereskan kekacauan itu. Saya pulang ke rumah dulu, sebentar lagi kakakku jemput. "
" Mbak istirahatkan badan dan jiwa Mbak. Biarkan saja si lampir mengurus dirinya sendiri. Tidak usah dipeduli kalau dia memanggil mbak. Saya yakin, Bu Lara tidak akan memecat mbak Ina. " ucap Ipah meyakinkan Mbak Ina.
" Berapa hari ijinmu, Pah ? " Tanya Mba Ina menatap Ipah yng ikut duduk di tepi ranjang.
Mbak Ina terdiam sesaat. " Tiga hari mungkin mbak " Jawabnya pasti.
♡♡♡
Dilara menatap kesal ke arah laki-laki yang kini duduk santai di sofa ruang kerjanya. " Abang tidak kerja ? " Ketusnya bertanya pada sang suami. Dia merasa jengah, laki-laki itu terus menguntitnya kemana dia pergi sejak pagi tadi.
Fikri menggedikan bahunya acuh sambil memainkan ponsel di tangannya. " Nanti kamu menghilang lagi. " Jawabnya santai.
" Memangnya saya akan menghilang ke mana ? Saya tidak ke mana-mana selama ini, bang. "
Fikri mengangkat pandangannya. Menatap sang istri yang sedang duduk di meja kerjanya.
" Kenapa merasa risih kalau abang selalu membuntutimu ? Atau kamu punya rencana mau bertemu dengan pria tionghoa itu lagi ? " Ujarnya sambil bangkit dari tempatnya dan duduk tepat di depan meja Dilara.
Dilara mengernyitkan keningnya merasa bingung. " Pria tionghoa ?! " Beonya sambil berpikir.
" Abang melihatmu, Ra sore itu. Abang melihatmu tertawa gembira dengannya. " Ucap Fikri lirih menahan cemburu yang tiba-tiba menyergap ketika mengingat tawa lepas Dilara saat bersama pria lain.
Dilara ngeh. " Deny ! " Gumamnya menebak sendiri. " Itu teman masa kecil saya bang. Abang jangan mengada-ada. Cemburu pada saya seolah saya ini perempuan tukang selingkuh. " Tekan Dilara datar. Sungguh dia tersinggung dengan ucapan Fikri.
" Tapi kenapa harus seakrab itu, Ra. Siapapun akan salah sangka melihat kebersamaan kalian. " Sahut Fikri tidak kalah datar.
Dilara mendengus kasar. " Jangan mulai bang. Saya lagi tidak ingin berdebat. Pekerjaan saya menumpuk dan butuh diselesaikan. Yang pasti saya bukan perempuan murahan. " Tandasnya semakin kesal. Diraihnya cangkir teh melati yang tersisa setengah cangkir dan meneguknya sampai habis. Tenggorokannya jadi kering karena menahan kesal pada sang suami.
" Buat apa abang cemburu tanpa alasan. Toh saya tidak menikah diam-diam. " Sarkas Dilara berhasil memukul telak Fikri.
Suasana kembali hening. Fikri menunduk menyadari kesalahannya.
" Tapi kamu berubah setelah bertemu dengannya, Ra. Abang tidak suka mendengar kamu memakai bahasa formal ketika bicara dengan abang. Kamu tidak lagi manja dengan abang. " Celetuk Fikri setelah sesaat hening.
" Astaga ! " Dilara menekan pelipisnya yang terasa berdenyut. Andai tidak berdosa, dia ingin menendang bokong sang suami keluar dari dalam ruangannya. Pertengkaran tadi pagi saja belum ada penyelesaian, kenapa harus memulai pertengkaran baru lagi.
" Jangan bawa orang lain dalam masalah rumah tangga kita, bang. Seharusnya abang intropeksi diri, bukannya sibuk mencari kambing hitam. " Geram Dilara menatap tajam sang suami yang terlihat memasang wajah tanpa dosa.
" Tapi, okelah. Lara minta maaf kalau hal itu membuat abang tidak nyaman. Tapi, bolehkah abang tinggalin Lara, Lara ingin fokus kerja. " Ujar Dilara dengan suara lembut menekan egonya. Biarlah dia mengalah lagi, dia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya, sebelum dia benar-benar gila dengan sikap suaminya.
Senyum Fikri mengembang sempurna mendengar Dilara kembali lembut padanya.
" Kerja saja, sayang ! Abang tidak akan mengganggumu. Abang cuma duduk di sana. Janji tidak bersuara lagi. Abang akan menunggumu bekerja dan kita pulang sama-sama. Tapi pulangnya ke rumah kita, ya ! " Secepat itu Fikri merubah mimik dan sikapnya. Yang tadinya menatap dengan penuh intimidasi, sekarang memasang wajah imut dan sangat menyebalkan di mata Dilara.
" Ya Allah...dosa apa yang telah kuperbuat hingga mendapat suami modelan seperti ini. Apa suamiku ini turunan bunglon ? " Desah Dilara dalam hati.
" Ddrrtt... "
" Ddrrtt... "
Ponsel Fikri yang di letakannya di atas meja tadi tiba-tiba bergetar. Notifikasi panggilan terlihat di layar datar itu. Sekilas id pemanggil dapat dibaca oleh Dilara.
" Maria "
" Deg.. ! " Ada sisi terdalam di hatinya yang berdenyut nyeri. Dia mengalihkan pandangan, pura-pura fokus dengan layar komputer di depannya.
" Ya Hallo ! Ada apa ? " Tanya Fikri saat mengangkat panggilan dari istri keduanya.
" ------ "
" Apa ?! Kenapa bisa ! Iya, tunggu saya segera ke sana. " Seru Fikri panik dan langsung bangkit dari duduknya.
" Ra ! Abang pulang duluan. Annelies terluka. " ujar Fikri pamit pada Dilara dan langsung pergi tanpa menunggu tanggapan sang istri.
Dilara tersenyum getir. " Itu yang katamu akan menemaniku, bang ? Hah...begitulah manusia bunglon " kekehnya dengan nada getir.
🌹🌹🌹
Hai....selamat membaca yaa 😘😘 jangan ki lupa nah, kasi ka vote ta, kembang ta, like ta atau kopi ta juga boleh 😁 supaya authornya semangat ka nulis...oke 🫰🫰
Jang ki lupa juga subscribe ta...
lanjut thor
..