Pernikahan Serena dan Sabir terjalin karena keduanya sepakat untuk pulih bersama setelah dikhianati kekasih masing-masing. Terbiasa berteman selama ini membuat perasaan cinta tumbuh serta-merta. Namun, di saat semua nyaris sempurna, Tuhan memberikan Sabir cobaan dalam urusan kerja. Di mulai dari sini, akan mereka temukan arti cinta, pertemanan dan keluarga yang sebenarnya.
Mari, ikuti lika-liku perjalanan Bapak Masinis dan Ibu Baker yang ingin menjadi pasutri apa adanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redchoco, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Kebahagiaan mempunyai Awahita
Terlambat. Rumah mereka sudah mau tenggelam —oke, hiperbola lagi.
Air menggenang sedikit di rerumputan, Sabir meminta istrinya lebih dulu masuk rumah membawa Daniel, biar ia yang mengangkat jemuran.
"Daniel tunggu sebentar, ya." Bocah itu telah dibungkus handuk oleh Serena, pakaiannya yang lembab telah ditanggalkan.
"Sab,"
Sabir yang baru meletakkan hanger pakaian basah di tiang jemuran dalam rumah, menoleh.
"Buka baju, cepat. Nanti masuk angin."
Tanpa pikir lama, Sabir melepas kaos yang dipakainya, tak lupa singlet, kemudian celana panjang, meninggalkan bokser di badan.
Eh, sebentar… ini kenapa Serena kesannya mesum memerhatikan suaminya melepas pakaian?!
Tergugu, ia menyerahkan handuk kering.
"Buruan mandi, ya. Di kamar aja, kamar mandi belakang mau aku pakai buat bantu Daniel bersih-bersih." Pakaian Sabir ia ambil alih, mau direndam.
"Er," langkah Serena terhenti. "Kamu jangan lama-lama, ya. Pakaian kamu udah lembab itu," buktinya dalaman Serena sedikit menjiplak. "Segera mandi juga. Aku tunggu di kamar, eh, a-aku bakal siapin baju kamu di kamar."
"Ah, iya, ma-makasih. Mandi sana."
Sabir mengangguk dan berlalu. Tidak tahu saja Serena bahwa suaminya itu sedang menepuk-nepuk pipi yang mendadak panas.
Serena menghempaskan pakaian Sabir dalam ember di kamar mandi. "Tenang jantung… jangan bikin aku mati berdiri, dong."
"Ibu kenapa?" Daniel heran.
"Enggak apa-apa." Serena memegang bahu anak itu. "Sebentar ibu hangatkan air, ya."
Tidak lama setelah ketiganya selesai membersihkan diri, Umin tiba untuk menjemput Daniel. Memberi kabar bahagia bahwa istrinya melahirkan dengan selamat, anak mereka sehat, dan lahir sebagai perempuan.
"Daniel, kapan-kapan main ke sini lagi, ya," pinta Serena saat akan berpisah. Hujan sudah reda, semua perlengkapan anak itu telah dikembalikan ke Papinya.
"Oke, ibu!"
Umin sedikit bingung.
"Bro, sori banget, anak kamu kami minta buat anggap aku sama Serena orang-tuanya, sesaat," bisik Sabir ke rekannya itu.
"Oalah, enggak apa-apa, dong. Mana tau kalian nanti jadi orang tuanya beneran."
"Eh?" Serena kini yang bingung.
"Ya kan siapa tahu anak kita jodoh di masa depan. Takdir kan kehendak Tuhan, ya."
Sabir terkekeh. "Bisa jadi, ya. Boleh juga, tuh."
Giliran Serena yang menempelkan pipinya ke Daniel, menyembunyikan salah tingkahnya. Sabir yang benar saja, mereka belum apa-apa sudah memikirkan jodoh anak. Kan, Serena makin ketar-ketir sama jantungnya.
"Eh, ini kok tasnya makin berat aja?"
"Kami belikan Daniel hadiah, tadi. Baju-baju lucu yang dia pilih sendiri."
"Ya ampun, Sab, repot-repot. Nanti hitung-hitungan sama aku, ya."
"Apaan! Kayak sama siapa aja. Enggak usah diganti uangnya, aku sama Eren ikhlas."
"Iya, Masnya santai aja," ucap Serena pula, menegaskan.
"Aduh, jadi enggak enak, aku. Udah nitipin anak, malah anaknya dikasih hadiah."
"Enggak apa-apa, lho. Daniel-nya juga suka main di sini, ya?" Serena tersenyum lebar pada anak itu.
"Suka."
"Tuh, Masnya. Anak masnya juga enggak apa-apa."
Sabir terkekeh melihat Umin meringis. "Maaf sedikit, bro. Tadi sempat kena hujan, mudah-mudahan Daniel enggak meriang."
"Yaelah, santai! Anak aku kebal, kok." Umin menggendong anaknya setelah meletakkan tas ke mobil. "Pamit ya, sekali lagi makasih, Sab, Mbak…."
"Dadah, Ibu, Ayah!" Anak itu melambaikan tangan.
Kedua pasangan suami istri ini dengan ramah menanggapi, kemudian masuk ke rumah setelah mobil mereka pergi.
"Jadi sepi, ya," cetus Sabir saat malamnya tiba. Mereka berbaring di ranjang menatap langit-langit.
"Iya, nih. Hari ini seru banget main sama Daniel."
"Nanti kita juga bisa begitu lagi, sama anak sendiri."
Serena mencubit pelan samping perut suaminya itu. Sabir mengaduh.
"Besok sudah dinas lagi, ya?"
"Iya, pisah lagi dua hari."
Serena terkekeh.
"Mau dibuatkan bekal apa, besok?"
"Apa pun yang penting masakan kamu."
"Yeuu, apaan banget bahasanya."
Giliran Sabir yang terkekeh.
"Nanti waktu aku selesai dinas, mau jalan-jalan lagi, enggak?"
"Boleh."
"Ngomong-ngomong, kamu tadi enggak ke toko, ya."
"Iya, enggak apa-apa. Ada Ningsih yang jagain. Udah aku WA juga buat bolehin dia gunain dapur."
"Biasanya emang enggak boleh?"
"Bukan enggak boleh, tapi dia itu masih belajar, kan. Kalau aku bikin roti, dia pasti merhatiin, terus bantu-bantu aku. Sekarang udah mau tiga tahun sama dia, jadi mau percayain dia buat ikut pegang dapur juga."
"Dia waktu itu kerja karena kamu yang nawarin, kan, ya? Yang katamu ketemu lagi nangis-nangis di peron stasiun karena enggak dapat kerja."
Serena tersenyum. Menerawang hari-hari lalu. "Bener. Kasian dia. Luntang-lantung di ibukota dengan bawa harapan besar keluarganya yang di kampung. Untung kita ketemu hari itu. Aku lagi butuh tenaga kerja di bakery, dan Tuhan kasih dia."
Sabir ikut tersenyum, lalu memiringkan tubuh menghadap istrinya.
"Aku pernah lihat dia nangis di depan toko waktu awal-awal dia kerja."
"Kamu?" Serena bingung. "Kamu lihat Ningsih?"
Sabir mengangguk.
"Dia insecure dan apalah aku lupa, terus aku semangatin aja."
"Luluh dia?"
"Luluh lah, Sabir gitu lho!"
"Pede gila."
Sabir tertawa melihat Serena mendengus.
"Tapi serius, Er. Habis itu dia minta nomor aku, katanya kalau aku butuh bantuan dia, bisa hubungi dia."
"Terus kamu kasih nomornya?" Serena penasaran.
"Kasih, nambah temen juga. Toh, dia karyawan kamu. Asisten kamu, kan."
"Iya, sih…." Tapi untuk apa juga Ningsih butuh nomor Sabir? Ah, Serena menggelengkan kepala. Tidak usah berpikir berlebihan. Ningsih itu anak baik yang nasibnya kurang beruntung selama ini. Mungkin dia juga mau nambah teman seperti Sabir.
"Er,"
"Ya?"
"Kok, tiba-tiba kepala aku pusing, ya?"
Serena berkedip beberapa sekon, langsung bangkit untuk duduk.
"Pusing?" Wajah suaminya nampak agak pucat, Serena baru menyadari itu. "Sab, kamu demam!"
Serena mengecek lehernya, hangat. Lengan atas dan telapak tangan juga sama. Kemudian meraba telapak kaki —yang sukses membuat Sabir terkekeh karena geli.
"Kaki kamu dingin. Pusing, ya? Mau dikompres aja?"
"Iya."
"Aku buatkan bubur hangat, mau?"
"Enggak, kan tadi udah makan malam."
"Badan kamu rasanya gimana? Sakit?"
"Enggak, cuma dingin, pengin dikelonin."
"Sempat-sempatnya kamu, ya…."
Sabir tertawa-tawa.
"Aku enggak apa-apa, Er. Cuma butuh tidur aja."
"Iya, tapi sambil aku kompres, deh. Kamu kayaknya tumbang karena hujan tadi."
"Enggak, lho. Aku pernah baca di jurnal gitu, mandi hujan sebenarnya nggak bikin demam. Cuma kebetulan kondisi tubuh lagi nggak fit, ada kuman yang lebih dulu bersarang, jadinya sakit, deh. Demam. Hujan cuma alasan."
"Jawab aja terus, Sab. Orang lagi sakit, juga! Banyak omong, deh."
Sabir puas menertawakan raut kesal istrinya. Serena pergi sesaat, lalu kembali dengan kompres.
Selagi suaminya terbaring menelentang, Serena duduk bersandar di headboard, dengan tangan yang sesekali memijat pergelangan tangan Sabir.
"Kamu sakit masih bisa ganteng, ya."
"Masa'?"
Mata Sabir terbuka, melirik ke samping, agak ke atas untuk menemukan wajah Serena.
"Hm, aku biasanya sakit udah kayak temennya Dora."
"Diego?"
"Monyetnya! Diego mah sepupu Dora."
"Oh iya, lupa." Sabir kemudian duduk, sembari memegangi kompres di kening agar tidak jatuh.
"Eh, eh, siapa suruh kamu bangun? Tidur! Nanti enggak sembuh-sembuh."
"Mana ada duduk doang bikin tambah sakit, Er." Dia ikut bersandar, lalu merebahkan kepala ke bahu istrinya. "Numpang tidur di sini ajalah. Lebih nyaman."
Serena menahan napas.
"Boleh enggak, sih? Kok, kamu enggak nyaut?"
"Enggak aku bolehin pun kamu udah terlanjur rebah di situ, Sab," geram Serena, Sabir lagi-lagi tertawa.
"Ngomong-ngomong, Er. Kamu cantik di segala situasi, sakit pun bakalan tetap jadi Serena, bukan monyetnya Dora."
Serena berdeham saja, malas menanggapi.
"Kamu tahu alasan kenapa aku bisa tetap ganteng walaupun sakit?"
"Enggak tahu, dan enggak mau tahu."
Sabir tersenyum, dengan manja memeluk lengan Serena. Lantas bertutur, "Karena aku punya Awahita dalam hidupku."
"Awahita?"
"Nama kamu. Awahita. Perempuan yang penuh perhatian, kan, artinya? Sebab aku punya kamu—yang penuh perhatian ini—aku tetap ganteng walaupun sakit. Terimakasih, Serena Awahita."
Jantung Serena terjun bebas. Perutnya bergejolak geli, namun juga hangat di waktu yang sama. Entah apa yang terjadi, Serena tidak bisa berpikir dan sekadar menyahut singkat, "Sama-sama, Bapak Sabir. Semoga besok demamnya udah pergi."
—dan perasaan aneh ini lekas sirna, semoga.
Tidak ada lagi percakapan. Sabir setia bersandar di istrinya, dengan tangan yang ia peluk. Serena pun lambat-laun memejamkan mata, meski sulit karena debarnya tidak terkendalikan.
***
sehat selalu ya othor biar bisa update tiap hari 😍
Sabir kecelakaan kereta dahlah gabisa dilanjutkaaah selallu menunggu lho update mu🤦♀️
jadinya berkhayal kan akunya🤣
eh btw thor km nulisnya di PF mana nih aku mau baca karya2 mu nih masha allah 😍
maapkeun ya Ning ternyata km anak baik2 weei 🤣🔨
akankah terjadi huru hara.. semoga tyduuck😂
good job thor sukses selalu yaaakk🤗
beruntung nya kamu Serena dapet Sabir duuuuh pak suami idaman istri dan menantu idaman mertua weeeiii 🤣
𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒈 𝒃𝒂𝒄𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒋𝒂 𝒎𝒍𝒆𝒚𝒐𝒐𝒐𝒕𝒕... 𝒂𝒑𝒂𝒍𝒈𝒊 𝑺𝒆𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒉𝒊𝒉𝒊 😂
𝒃𝒂𝒊𝒌𝟐 𝒚𝒂 𝒉𝒖𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒂𝒏.. 𝑺𝒖𝒌𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊 𝒘𝒂𝒍𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒏𝒐𝒗𝒆𝒍 𝒕𝒑 𝒌𝒆𝒌 𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒂𝒔𝒕𝒂𝒈𝒂𝒂𝒂 🥰
𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒐𝒕𝒉𝒐𝒐𝒓 𝒖𝒑𝒅𝒂𝒕𝒆𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 ❤